Liputan6.com, Kabul - Sejak Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan, terjadi lonjakan signifikan dalam jumlah madrasah atau sekolah keagamaan di negara tersebut.
Data terbaru menunjukkan bahwa jumlah madrasah kini telah meningkat empat kali lipat dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini dianggap oleh sebagian pihak memicu kekhawatiran di kalangan pakar mengenai potensi penyebaran ekstremisme dan pembatasan akses pendidikan, terutama bagi anak-anak perempuan.
Advertisement
Wakil Menteri Pendidikan Afghanistan Karamatullah Akhundzada mengungkapkan bahwa pada tahun lalu, setidaknya satu juta anak telah terdaftar di madrasah untuk menerima pendidikan agama.
"Tahun lalu, setidaknya 1 juta anak terdaftar di madrasah untuk pendidikan agama," kata dia, seperti dilansir VOA Indonesia, Kamis (10/10/2024).
Pada tahun ini, jumlah tersebut melonjak menjadi 3,6 juta siswa yang tersebar di lebih dari 21.000 madrasah yang terdaftar di seluruh negeri. Perubahan ini menandakan pergeseran besar dalam lanskap pendidikan di Afghanistan, di mana jumlah madrasah kini melampaui 18.000 sekolah negeri dan swasta.
Direktur Pendiri Center for Governance and Markets di University of Pittsburgh Jennifer Brick Murtazashvili menyatakan bahwa peningkatan jumlah madrasah adalah bagian dari strategi Taliban untuk memperkuat kendali mereka.
"Penting untuk memahami bahwa madrasah kini berfungsi sejalan dengan pemerintahan lokal," ujar Murtazashvili.
Di bawah pemerintahan sebelumnya, tidak ada struktur pemerintahan desa yang resmi, tetapi Taliban menggantinya dengan pemimpin agama yang kini memiliki otoritas lokal.
Perubahan Sistem Pendidikan Usai Taliban Berkuasa
Sebelum Taliban berkuasa pada tahun 2021, Afghanistan memiliki sekitar 5.000 madrasah yang terdaftar. Namun, setelah Taliban kembali berkuasa, mereka berencana mengubah sistem pendidikan secara menyeluruh.
Pejabat di Kementerian Pendidikan Taliban mengungkapkan bahwa mereka telah melakukan upaya untuk mengubah dan memperbarui buku pelajaran dan kurikulum selama tiga tahun terakhir.
Sebelum perubahan kekuasaan, lebih dari sembilan juta siswa terdaftar di berbagai jenis sekolah, dengan 39 persen di antaranya adalah anak perempuan. Namun, setelah Taliban mengambil alih, mereka memberlakukan larangan pendidikan menengah bagi anak perempuan, menjadikan Afghanistan satu-satunya negara di dunia yang melarang anak perempuan bersekolah di tingkat menengah.
Larangan ini mengakibatkan sekitar 1,5 juta anak perempuan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka.
Murtazashvili menilai larangan tersebut sebagai indikasi jelas dari ekstremisme. Dengan mencabut hak pendidikan dari anak perempuan, mereka merampas masa depan negara, tegasnya. Tanpa pendidikan, kita tidak akan memiliki tenaga medis perempuan, dan angka kematian bisa meningkat.
Advertisement
Bukan Sistem Pendidikan pada Umumnya
Seorang anak perempuan, yang enggan disebutkan namanya, mengisahkan pengalamannya kepada VOA.
Dia berada di kelas 11 ketika Taliban kembali berkuasa pada 2021 dan melarang pendidikan menengah bagi anak perempuan. Berharap bisa melanjutkan pendidikannya, dia mendaftar di sebuah madrasah di Kota Herat, tetapi hanya menemukan kekecewaan.
"Awalnya, saya berpikir bisa belajar dan bertemu teman-teman lagi, tetapi ternyata lebih seperti cuci otak," katanya.
"Kami diberitahu bahwa pendidikan bukan untuk kami [anak perempuan]. Kami harus menjadi ibu rumah tangga yang baik dan melahirkan pemimpin Islam masa depan," lanjut dia.
Setelah tiga bulan, dia memutuskan keluar dari madrasah karena kecewa dengan lingkungan yang terbatas.
Perubahan drastis dalam sistem pendidikan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan generasi muda Afghanistan dan bagaimana mereka dapat berkontribusi terhadap pembangunan negara di masa depan.