Hasan Nasbi: Dari Survei 2023 Saya Sudah Tahu Pak Prabowo akan Menang Pilpres

Selain pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Hasan memainkan peran strategis dalam dua kali kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019.

oleh Rinaldo diperbarui 10 Okt 2024, 17:03 WIB
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2024 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2024 dan langsung diundangkan pada hari yang sama, Kantor Komunikasi Kepresidenan pun terbentuk. Berselang empat hari kemudian, Senin 19 Agustus 2024, Presiden Jokowi melantik Hasan Nasbi menjadi Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) di Istana Negara, Jakarta.

Lahir pada 11 Oktober 1979 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, pria bernama lengkap Hasan Nasbi Batupahat ini dikenal sebagai konsultan politik yang dekat dengan Jokowi. Menggandeng lembaga survei yang didirikannya, Cyrus Network, Hasan jauh-jauh hari sudah menggadang-gadang Jokowi untuk ikut dalam kontestasi Pilkada Jakarta 2012.

Sejak awal, kemenakan dari ulama dan cendekiawan Ahmad Syafii Maarif (alm) ini agaknya memang sudah tertarik ke bidang politik. Lulus dari SMA Negeri 2 Bukittinggi, Hasan melanjutkan ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) dan meraih gelar Sarjana Ilmu Politik pada 2004.

Di kampus UI pula Hasan mulai berorganisasi dan menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat UI pada Oktober 2000. Ia juga merupakan salah satu pendiri Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tan Malaka pada Juni 2002. Pada Oktober 2004, dia juga menjadi redaktur Buletin Madilog: Media Pembelajaran Masyarakat yang terbit dan beredar di kampus UI.

Lulus dari UI, Hasan sempat sebentar menjadi wartawan Kompas (2005-2006). Pada 2006, ia menjadi peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia hingga 2008. Setelah itu, dia mendirikan Cyrus Network, sebuah lembaga survei yang kemudian sangat identik dengan Hasan.

Pada Desember 2011, penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (2004) dan buku Mewarisi Gagasan Tan Malaka (2006) ini berkenalan dengan Wali Kota Surakarta Joko Widodo. Berdasarkan hasil survei Cyrus Network, Jokowi didorong menjadi calon Gubernur DKI Jakarta.

Setahun berselang, Hasan menjadi Koordinator Tim Relawan Joko Widodo–Basuki Tjahaja Purnama pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Hasan pun sukses membantu mengantarkan Jokowi-Ahok menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Pada 2016, nama Hasan juga menjadi perbincangan saat menjadi salah seorang inisiator berdirinya Teman Ahok, organisasi relawan Ahok pada Pilkada Jakarta 2017 yang maju secara independen. Ia juga menjadi pemodal awal organisasi ini dengan merogoh kocek pribadi sebesar Rp500 juta.

Kedekatan Hasan dengan Jokowi tidak hanya bersifat publik, tetapi juga secara personal dan terus berlanjut di mana Hasan memainkan peran strategis dalam dua kali kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019.

Peran Hasan dalam kemenangan Jokowi tidak hanya diakui kalangan internal, tetapi juga Prabowo Subianto. Pada Desember 2023, Prabowo mengungkapkan dalam sebuah kesempatan bahwa Hasan merupakan salah satu operator politik kunci yang turut berkontribusi besar terhadap kesuksesan Jokowi di panggung politik nasional.

Tak heran kalau kemudian Hasan tergabung dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Bidang Komunikasi pada Pilpres 2024 lalu. Di TKN, Hasan bertugas sebagai juru bicara yang aktif tampil di berbagai media nasional untuk menyampaikan ide, gagasan, maupun program dari pasangan Prabowo-Gibran.

Usai Pilpres 2024, Hasan ditugaskan menjadi anggota Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan pasangan Presiden dan Wapres Terpilih. Puncaknya adalah ketika dia dilantik sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan oleh Presiden Jokowi di Istana Negara dan mendapatkan hak keuangan serta fasilitas setingkat menteri.

Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan membawahi empat deputi, meliputi Deputi Bidang Materi Komunikasi dan Informasi, Deputi Bidang Diseminasi dan Media Informasi, Deputi Bidang Koordinasi Informasi dan Evaluasi Komunikasi, serta Juru Bicara Presiden.

Menurut Hasan, salah satu fokus utamanya adalah mengorkestrasi informasi hasil capaian dan program-program prioritas pemerintah dengan jelas kepada masyarakat. Dia menekankan bahwa kantor ini bertanggung jawab untuk memastikan bahwa informasi yang diterima masyarakat adalah informasi yang jelas, akurat, dan benar.

Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat memahami dengan baik kebijakan dan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah, serta dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari mereka.

Berikut petikan wawancara Hasan Nasbi dengan Sheila Octarina dalam program Bincang Liputan6.

 


Tugas Utama Memerangi DFK

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Disebutkan kalau tugas dari Presidential Communication Office (PCO) atau Kantor Komunikasi Kepresidenan adalah menjaga komunikasi antara Istana dan masyarakat, konkretnyan seperti apa?

Kalau disederhanakan, kantor kita ini nanti tugasnya menyampaikan progres pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ke masyarakat. Makanya dalam Perpres-nya, tugas utama itu mengkomunikasikan kebijakan strategis dan program prioritas Presiden.

Jadi ini kan kayak kantor kejurubicaraan, kantor yang mengorkestrasi juru bicara-juru bicara yang menyampaikan berita baik kepada masyarakat. Pemerintah sudah mengerjakan ini lho, progresnya sudah sekian persen lho, pemerintah sudah melakukan ini di sekian tempat, sekian wilayah, pemerintah melaksanakan program ini yang dikover misalnya sekian puluh juta orang.

Ya kantor kejurubicaraan itu kayak gitu. Jadi tugas utamanya menyampaikan berita baik kepada masyarakat tentang apa yang dilakukan oleh pemerintah.

Apa perbedaan antara PCO, KSP dan Stafsus, apakah ada tumpang tindih pekerjaan?

Sebenarnya enggak. Kalau dengan KSP itu ada hubungan sedikit, tapi begitu PCO ini berdiri, ada satu kedeputian di KSP yang hilang, Kedeputian IV yang Kedeputian Diseminasi Informasi. Nah kedeputian itu saja yang hilang. Tapi kedeputian yang lain Kedeputian I, II, III, V itu tetap menjalankan fungsinya karena enggak ada irisan dengan tugas-tugas dari PCO.

Kalau Staf Khusus sebenarnya beririsan dengan juru bicara saja, staf khusus bidang komunikasi saja, juru bicara. Dan itu nanti kan juru bicara-juru bicara Presiden akan ditaruh di kantor ini. Presiden nanti akan menunjuk juru bicara spesifik, bisa satu, bisa dua, bisa tiga, bisa lebih. Tapi nanti itu akan ditaruh di Kantor Komunikasi Kepresidenan.

Jadi kepala kantor ini membawahi tiga deputi, plus membawahi juru bicara-juru bicara Presiden. Jadi kira-kira begitu, enggak tumpang tindih kok.

Tetap ada tupoksinya masing-masing ya?

Iya. Staf Khusus Presiden yang tugasnya di luar komunikasi enggak terpengaruh apa-apa. Jadi sama kayak KSP, deputi-deputi yang di luar diseminasi mereka enggak terpengaruh sama sekali. InsyaAllah enggak tumpang tindih.

Terus dari PCO sendiri bagaimana cara menangani disinformasi atau hoaks yang menyasar kebijakan pemerintah?

Memang itu menjadi salah satu KPI kita. Makanya kita rumuskan itu dengan istilah DFK. Salah satu KPI yang mau kita capai itu adalah meminimalisir DFK, kalau perlu sampai ke titik nol. Apa itu DFK? DFK itu disinformasi, fitnah, kebencian.

Kita yakin bukan kritik yang merusak bangsa, yang menghambat kemajuan itu bukan kritik tapi DFK ini, disinformasi, fitnah, kebencian. Dan orang tiba-tiba bilang, wah kalau begitu kita akan dibungkam. Enggak, pemerintah enggak akan membungkam siapa-siapa, karena kebebasan berbicara itu bagian dari hak asasi manusia, bagian dari demokrasi.

Tapi kalau fitnah enggak bisa bilang itu bagian dari kebebasan berbicara. Mengutarakan kebencian itu enggak bisa mengaku bagian dari kebebasan bicara. Disinformasi itu juga bukan bagian dari kebebasan berbicara.

Kita ingin nanti kebebasan bicara itu bisa jadi konsensus. Kebebasan bicara itu sesuatu yang bertanggung jawab, kalau DFK ya harus diperangi. Jadi selain kita menyampaikan kabar baik nanti salah satu KPI dari kantor ini adalah memerangi DFK, disinformasi, fitnah, kebencian.

Bagaimana membedakan DFK dengan kebebasan berbicara?

Bagaimana membedakannya? Membedakannya gampang kok. Membedakan DFK dengan kritik itu semudah membedakan makanan Padang dengan salad. Sangat jelas bedanya, tinggal yang susah itu memilihnya, iya kan?

Karena DFK ini kadang-kadang enak nih. Enak, terus kemudian membuat adrenalin kita naik. Kalau ada orang yang punya uneg-uneg banyak, dia ingin melampiaskan kemarahan, DFK ini enak banget, santapan lezat banget.

Tapi kalau kritik itu belum tentu enak, ya kayak tadi salad itu. Tapi kritik itu sehat buat kita. Membedakannya gampang, memilihnya yang enggak gampang.

Tapi cara memberantasnya bagaimana?

Ya tentu enggak bisa sendirian. Jadi kantor PCO ini juga enggak cukup muscle, ototnya untuk menangani itu semua. Harus kerja sama dengan lintas kementerian, lintas lembaga. Kalau yang melanggar hukum ya kasih ke penegak hukum, iya dong. Tapi kalau yang tugasnya meluruskan, tugasnya mengklarifikasi tugasnya menyampaikan mana yang benar mana yang salah, itu bisa menjadi bagian dari kita.

Dan memang ini mungkin enggak bisa dalam jangka waktu yang pendek. Pasti ini dalam jangka waktu yang panjang, kita berpacu saja. Kita harus membangun mengejar bonus demografi, kita mau melompat keluar dari middle income trap, tapi kita enggak akan bisa sampai ke sana kalau negara kita masih dikurung oleh DFK tadi.

Nah, kita berpacu dengan waktu nih untuk sampai ke sana, DFK-DFK juga harus mulai kita minimalkan. Supaya apa? Supaya arah pembangunan kita tuh enggak terhambat, enggak kesandung. Yang harusnya kita bisa lari 100 kilometer per jam, tapi gara-gara DFK banyak berhentinya, banyak istirahatnya, banyak mampir ke rest area-nya gitu, jadi enggak nyampe-nyampe kita di situ.

Jadi memerangi DFK itu juga bagian yang penting. Tapi menurut saya nanti orang akan sadar kok negara-negara yang bisa bergerak begitu cepat maju itu bukan negara yang mudah terpengaruh oleh DFK, bukan negara yang diisi oleh orang-orang yang gemar menyebarluaskan DFK. Bahkan ada negara yang kampiun demokrasi, sekarang mau pemilu, pilpres, isinya DFK semua.

Nah negara ini pasti declining nih, pasti turun nih. Coba lihat pertarungan di salah satu negara besar demokrasi yang menurut saya sudah enggak bisa dijembatani lagi perbedaannya. Dan kita enggak tahu nih ujungnya kayak apa.

Nah, kalau negara kita yang maju juga belum ya kan, kita masih mau mengejar pembangunan tapi sudah sibuk dengan DFK-DFK ini lebih banyak kita mampir ke rest area nih. Nambal ban bocor, ngisi BBM, enggak nyampe-nyampe kita di tujuan yang kita inginkan. Banyak ke distract kita, banyak ngantuknya kita, harus masuk ke rest area.


PCO Tidak Mengurusi Jadwal Presiden

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Beberapa kali PCO ikut mensosialisasikan program Presiden terpilih Prabowo Subianto, apakah berarti PCO akan bergabung dengan pemerintahan baru nantinya?

Nah begini, kalau kita mungkin bukan mensosialisasikan program pemerintahan berikutnya hari ini, tapi menunjukkan komitmen dari pemerintahan yang sekarang, pemerintahannya Pak Jokowi, terutama komitmen anggaran terhadap program-program berikutnya.

Di zamannya Pak Jokowi ini mungkin baru pertama kali, presiden sebelumnya menyiapkan anggaran untuk program prioritas presiden berikutnya. Untuk program makan bergizi gratis sudah disiapkan, untuk medical check up sudah disiapkan, untuk perbaikan ruang sekolah sudah disiapkan.

Jadi semua program prioritasnya, program hasil terbaik cepatnya Pak Prabowo nanti, hari ini komitmen anggarannya sudah disiapkan oleh pemerintahan Pak Jokowi. Jadi ini yang kita sebutkan, bukan berarti pemerintah hari ini sudah mempromosikan pekerjaan pemerintahan berikutnya, enggak.

Tapi menyebutkan komitmen pemerintah untuk tahun depan itu Pak Prabowo bisa langsung tancap gas. Kenapa? Karena hari ini sudah disiapkan alas anggarannya.

Nah, apakah PCO akan lanjut? Kalau lembaganya tentu akan lanjut, karena PCO hari ini digunakan oleh Pak Jokowi itu enggak banyak. Pak Jokowi menggunakan badan kantor ini kan cuma dua bulan paling. Itu pun juga enggak optimal karena sambil menyusun organisasi. Kita saja baru punya kantor ini baru 10 hari.

Maksudnya, sebelum yang definitif begini kan dari awal dimulai dari nol, itu enggak simsalabim. Ada persiapan, ada proses, ini diperbaiki dulu, kemudian orang-orangnya direkrut dulu, sistem kerjanya dibikin dulu. Struktur organisasinya harus disetujui dulu oleh MenPAN-RB, enggak gampang.

Ada tahapan-tahapan yang dilalui ya?

Banyak tahapan yang harus dilalui. Anggaran harus diajukan. Nah, Pak Jokowi tentu enggak bisa optimal menggunakan ini dalam dua bulan kan? Kalau saya masa jabatannya hanya dua bulan sampai 19 atau sampai 18 Oktober saja. Nah, berikutnya tentu ada Kepala PCO yang baru, tapi minimal embrionya kita sudah siapkan.

Kantornya tentu akan lanjut karena ini kebutuhannya Pak Prabowo nanti. Tapi kalau orang-orangnya nanti itu terserah Pak Prabowo.

Lantas bagaimana sistem koordinasi PCO dengan kementerian ataupun lembaga dalam Waktu yang singkat ini?

Sejauh ini semua kementerian sangat kooperatif ya. Apalagi ketika kita juga mendapatkan tugas dari Pak Presiden melalui Pak Menteri Sekretariat Negara, Menteri Sekretaris Negara untuk juga ikut terlibat dalam mendiseminasi dan menyiapkan legacy 10 tahun Pak Jokowi.

Jadi kantor kita ini juga sudah ikut dilibatkan dan sejauh ini kementerian dan lembaga kooperatif sekali, diundang ke sini datang. Mereka menyebut ini pencapaian selama 10 tahun terakhir, ini champion-champion-nya dan ini yang bisa kita sampaikan kepada masyarakat nanti.

Ini yang mau kita desiminasi kepada masyarakat supaya mereka paham 10 tahun ini apa saja yang sudah dikerjakan oleh masing-masing kementerian, masing-masing lembaga, masing-masing badan. Dan ini semuanya dirangkum menjadi legacy-nya Pak Jokowi.

Jadi menurut saya dalam waktu yang sangat pendek kemarin itu komunikasinya sangat baik dan dapat dukungan yang luar biasa juga dari masing-masing kementerian dan lembaga.

Lantas, apakah PCO juga mengatur komunikasi Wapres?

Ini kan lembaga kepresidenan. Jadi kalau kegiatan rutin, kegiatan rutin presiden, kegiatan rutin wapres itu seperti sediakala. Kegiatan rutin presiden termasuk liputan-liputan rutin itu tetap dikerjakan oleh Setpres melalui Deputi PMI. Begitu juga Wapres, kalau kegiatan rutin, komunikasi harian itu tetap di-handle oleh Setwapres.

Jadi kita enggak meng-handle kerjaan-kerjaan rutin itu. Yang kita handle adalah komunikasi program pemerintah, program pemerintahnya apa? Jadi bukan hari ini presiden ke mana? Jadwal presiden apa? Kita tahu, tapi bukan itu bagian dari ranah komunikasi kita. Kalau itu ranah komunikasinya Biro Deputi PMI, Protokol, Media dan Informasi.

Kalau di Setwapres juga begitu, hariannya tetap di-handle oleh Setwapres. Misalnya mau blusukan, mau pergi ke mana? Mau mengajak wartawan, terus ngerjain apa di sana? Itu tetap di-handle oleh Setwapres. Tapi kalau misalnya teman-teman media ingin tahu progres makan bergizi gratis sudah sejauh mana? Itu kantor sini enggak apa-apa?

Oke, jadi untuk program-program pemerintah ya?

Ya, program-program pemerintah, jadi kita menyampaikan. Juru bicara itu sebenarnya menyampaikan program-program dan progres yang sudah dikerjakan oleh pemerintah. Kapan mulainya nih makan bergizi gratis? Boleh tanya sini. Itu beberapa daerah yang dapat? Boleh tanya sini. Berapa siswa nanti yang dikover? Boleh tanya sini.

Dalam menyampaikan semua informasi tersebut ke masyarakat, apakah ada hambatan?

Bahkan di negara maju pun begitu kan? Maksudnya kalau kita menyerah gara-gara masalah itu kita enggak maju-maju. Masalah pasti ada, orang yang salah paham pasti ada, orang yang nyinyir dan negatif pasti ada. Tapi kalau kita mundur gara-gara keadaannya kayak gitu, ya kita enggak bisa maju.

Nah, diadakannya kantor ini salah satunya adalah itu, meng-handle edukasi juga terhadap masyarakat supaya bisa menerima berita yang benar. Tidak salah dapat informasi sehingga tidak salah paham. Kadang-kadang kan salah baca, judulnya salah nih atau disinformasi, kemudian masyarakat salah paham. Mereka salah bertindak, salah terima gitu.

Yang kadang-kadang kita lupa itu multiplier effect-nya ke belakang. Ah ini kan cuma salah judul, kalau gitu kami minta maaf saja. Iya, kadang-kadang cuma salah judul, tapi efeknya kadang-kadang sudah ke mana-mana.

Kadang publik tidak berpikir tentang efeknya ya?

Iya, ini kan cuma salah ngomong. Iya, mungkin cuma salah ngomong, tapi efeknya sudah dihitung belum seberapa jauh? Tinggal minta maaf saja. Kadang-kadang kita memudahkan itu, lebih baik minta maaf daripada minta izin kan? Kadang-kadang kita menggampangkan. Kita lupa efeknya sudah sampai di mana gitu.

Kalau hanya hubungan dua individu misalnya, ya sudah orangnya enggak ada di rumah, saya perlu minjam pulpen atau minjam laptop, itu minta maaf enggak apa-apa. Tapi urusan berbangsa dan bernegara kemudian disampaikan informasinya enggak tepat, ketika sudah minta maaf mungkin orang-orang yang sudah marah itu sudah enggak bisa dijelasin lagi. Sudah enggak bisa diklarifikasi lagi ke mereka karena sudah saking banyaknya orang yang marah.

Adakah kesulitan saat berkomunikasi dengan masyarakat?

Sebenarnya enggak ya, cuma kadang-kadang ada yang ditanya yang baru rencana. Atau baru isu atau kita belum firm itu ditanya, itu susah jawabnya. Kayak sekarang misalnya ditanya siapa-siapa saja yang sudah hampir pasti jadi menteri?

Pertama, spekulasinya kita enggak punya level informasi itu, ya kan? Yang kedua, itu mungkin masih digodok oleh presiden elect oleh presiden terpilih dan kita pasti enggak punya itu. Bener enggak ini yang mau jadi menteri? Ya, saya enggak bisa jawab. Jadi enggak semuanya juga kita bisa jawab, apalagi belum final.

Kalau sudah final, kita bisa jawab oh ternyata ini yang jadi menteri. Atau ada yang baru rencana, bahkan dibahas saja belum. Kadang-kadang baru kepikiran saja ngomong, terus kita diminta tanggapannya soal ini, ya itu kan bikin repot gitu lho. Padahal bisa jadi nanti setelah dibahas malah berubah.

Kadang-kadang ada rumor saja kemudian diverifikasi ke kita. Jadi sekarang ada gugatan di pengadilan, beberapa tokoh menggugat Presiden Jokowi. Terus tiba-tiba ditanya, kira-kira Presiden Jokowi akan hadir apa enggak? Apa sikapnya? Belum tahu itu, masih panjang, kayak gitu-gitu, masih panjang gitu.

Jadi buat saya, saya belum bisa jawab yang kayak gitu-gitu, apalagi itu bukan program pemerintah. Kalau program pemerintah di sini gudang informasinya, kita bisa cari. Tapi banyak yang ditanya-tanya itu kadang-kadang enggak berhubungan dengan program pemerintah.

Semuanya ditanyakan, padahal enggak sesuai dengan tupoksinya?

Iya, kemarin waktu Sri Paus datang, media asing itu ada yang nanya gini, apa komentar Istana soal keberatan tokoh Papua? Karena dua anak kecil yang menyambut Sri Paus itu bukan orang Papua, tapi menggunakan baju adat Papua.

Terus saya bilang, lho apa salahnya pakai baju Papua? Kalaupun saya orang Padang juga boleh pakai baju Papua, anak saya boleh pakai baju Papua. Anak Papua juga boleh pakai baju Padang, baju Jawa. Jadi kadang-kadang itu ditanyakan, nah kebayang enggak itu efek yang ditimbulkan oleh niat itu?

Saya merasa niatnya bertanya itu, mohon maaf, niat bertanya itu enggak baik menurut saya. Mengadu etnis, mengadu domba, dan itu juga dikerjakan oleh media. Itu medianya media terkenal, media besar dari luar negeri.

 


Awal Perkenalan dengan Jokowi

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menurut Abang, apa perbedaan pola komunikasi Pak Jokowi dan Pak Prabowo?

Kalau dalam praktiknya sebagai presiden nanti wallahualam ya, kita kan enggak tahu. Tapi masing-masing orang kan punya style yang berbeda. Cuma dulu saya pikir Pak Prabowo serius-serius sekali jadi orang, tapi terakhir-terakhir ini sudah banyak bercanda. Pidatonya juga sudah banyak bercanda.

Pak Jokowi juga kan kalau pidato banyak humornya, banyak jokes-nya, Pak Prabowo ternyata juga humor dan jokes-nya banyak. Tapi kalau yang saya lihat, Pak Jokowi kan sering bicara yang detail soal pembangunan, soal ekonomi atau segala macam.

Pak Prabowo lebih ke makro dan membuat kita menyamakan cara berpikir kita sebagai sebuah bangsa. Menyamakan cara berpikir kita untuk mencapai target kemajuan, menyamakan cara berpikir kita supaya kita bangga sebagai bangsa Indonesia. Meyakinkan kita, kita bisa kok melakukan ini, ayo kita sama-sama, kayak gitu-gitu.

Sejauh ini kan itu yang kita lihat, tapi ke depan kita enggak tahu nih. Setelah jadi presiden, Pak Prabowo bisa saja bicara soal teknis, soal mikro, soal ekonomi. Bisa saja begitu.

Kalau awal perkenalan dengan Pak Jokowi bisa diceritakan, Bang?

Ya saya kenal cukup lama dengan Pak Jokowi. Saya kenal Pak Jokowi akhir 2011. Sekarang sudah 13 tahun dan hubungan itu tidak pernah putus dan saya selalu membantu Beliau di setiap kontestasi sejak 2012. Jadi Pilkada DKI, 2014 Pilpres, 2019 Pilpres, 2024 juga ada Pak Jokowi di situ kan, ada di barisan itu juga kan.

Jadi bersama-sama Beliau sudah 13 tahun. Jadi menurut saya Beliau orang yang ingat dengan orang-orang yang selalu bersama Beliau. Jadi tidak gampang lupa ya, kecuali orang itu memilih jalan yang berbeda. Tapi kalau enggak memilih jalan yang berbeda, Pak Jokowi akan selalu ingat dan memperhatikan orang-orang itu.

Apa yang membuat Abang yakin di 2012 Pak Jokowi bakal menang di Pilkada DKI Jakarta?

Sebenarnya waktu awal-awal itu bukan yakin Pak Jokowi akan menang, tapi waktu itu kita punya hasil riset bahwa secara kapasitas, kapabilitas menurut para pakar, ada 160 pakar waktu itu yang kita suruh kasih skor. Yang mendapatkan skor tertinggi untuk bisa mengubah Jakarta itu Pak Jokowi.

Ini keyakinan soal kapasitas dan kemampuan, bukan soal elektabilitas. Kalau elektabilitas kan mungkin waktu itu orang enggak kenal sama Pak Jokowi. Kita lempar survei juga Pak Jokowi mungkin 5% 6% waktu itu. Tapi waktu itu kita yakin bahwa kalau mau berubah, Jakarta mau berubah, ya kita harus cari orang yang dianggap oleh para ahli paling mampu untuk mengubahnya.

Jadi Pak Jokowi harus kita bujuk dong untuk mau jadi Gubernur Jakarta. Karena bagaimanapun Beliau masih wali kota waktu itu. Masih punya jabatan disuruh gambling di Jakarta itu kan enggak mudah. Dan akhirnya banyak tokoh yang akhirnya membujuk Beliau untuk mau ke Jakarta gitu lho.

Jadi apakah sudah yakin waktu itu Pak Jokowi bisa menang? Belum yakin. Tapi semangatnya waktu itu ya kalau Jakarta ingin berubah, ya kita cari orang yang paling mampu mengubahnya. Versi siapa? Ini versi para expert? Karena waktu itu ada 160 expert yang kasih penilaian dan Pak Jokowi dapat nilai paling tinggi sebagai orang yang paling mampu untuk mengubah Jakarta.

Kalau surveinya wallahualam, pasti surveinya masih kecil waktu itu. Yang penting ada niat dulu. Dan alhamdulillah akhirnya waktu itu survei ahlinya mengatakan Pak Jokowi paling mampu. Ketika sudah di pilkada, akhirnya masyarakat DKI memilih Pak Jokowi.

Jadi keyakinan itu bukan datang di awal, keyakinan itu sudah di akhir-akhir datangnya. Keyakinan bakal menang itu pas sudah mau akhir-akhir, karena itu pun dua putaran kan? Dua putaran itu, enggak gampang itu. Pilkada DKI zamannya Pak Jokowi itu dua putaran.

Kalau kedekatan atau pertemanan Abang dengan Pak Jokowi seperti apa?

Kualat kita kalau ngomongin pertemanan sama Pak Jokowi, kan dia bos kita. Menurut saya Pak Jokowi itu sangat perhatianlah, maksudnya saya sampai di titik ini kan enggak lepas dari peran Beliau dan enggak bisa cuma bilang, wah saya hebat-hebat sendiri saja sampai di sini, enggak. Ini banyak peran Beliau, banyaklah.

Dan Beliau itu kan memang enggak lupa orang. Jadi bisa saja sudah lama tak bertemu, tak ada pertemuan rutin, tiba-tiba saja ada panggilan, diminta Bapak ke Istana, bisa ke Bogor, bisa di Istana Merdeka. Kita bicara banyak hal, bicara apa saja. Bicara mulai dari yang santai sampai yang serius, berbagi informasi, sharing informasi.

Dan Pak Jokowi kan tipikalnya memang mau menampung informasi dari banyak pihak. Jadi misalnya saya bicara dengan saya, kemudian saya menyampaikan sesuatu, itu disaring dulu, enggak langsung percaya. Sehingga mungkin setelah memanggil dua tiga pihak kemudian, oh iya yang benar itu yang ini. Jadi selalu mencari konfirmasi.

Melihat dari perspektif orang lain ya?

Iya, perspektif orang lain. Ini makanya kadang-kadang orang geer kan? Wah, tadi saya habis dipanggil Presiden, saya sudah jelaskan ini-ini sama Presiden, pasti Presiden sudah tahu nih apa yang harus dilakukan. Itu namanya geer, kadang mungkin di hari itu kita bukan satu-satunya yang dipanggil.

Habis kita itu ada orang lain juga yang dipanggil dan ditanyakan hal yang sama lho. Beliau jagolah. Jadi ketika kita bertemu dengan Beliau, kita pasti merasa orang paling penting di dunia, karena ditanyai oleh Presiden, pendapatnya tentang ini dan itu, gitu kan?

Dipanggil sama Presiden saja sudah merasa jadi orang penting ya?

Orang penting, apalagi ditanya pendapatnya bagaimana? Sebaiknya bagaimana? Itu apa? Masalahnya apa? Sebaiknya gini? Oh iya. Tapi kalau masuk akal buat Beliau, ya Beliau memang akan terima ide itu. Tapi Beliau menyaring semua informasi.

Habis kita dipanggil, pasti ada orang lain juga yang dipanggil. Atau sebelum kita juga ada orang lain yang dipanggil. Jadi kita dipanggil untuk mengonfirmasi info dari orang lain kan? Jadi, makanya Pak Jokowi itu jago dalam mengambil keputusan. Jadi ketika mengambil keputusan itu dia sudah dapat informasi yang cukup.

Termasuk juga dingin melihat hasil survei, enggak emosional, enggak reaktif melihat hasil survei. Hasil survei kalau lagi turun, oh ya masalahnya di mana nih? Apa yang harus dilakukan? Kalau orang lain, banyak orang-orang politik yang di survei kalau turun marah-marah, ini salah nih survei katanya, bisa begitu.

Tapi Pak Jokowi enggak, dia resapi itu angka, dia lihat masalahnya. Apa yang kurang kita lakukan? Apa yang kita harus lakukan supaya kepercayaan masyarakat balik lagi? Jadi enggak reaktif dan enggak emosional melihat data-data.

Kalau turun ya turun. Kalau lagi naik enggak langsung geer juga. Oh, ini gara-gara apa? Kalau naik itu gara-gara apa? Dicari tahu. Oh, berarti masyarakat senang dengan ini atau masyarakat bahagia dengan yang ini? Oh ya, oke teruskan ini, bisa begitu, dingin.

Jadi cara mengambil keputusannya menurut saya itu bisa lebih banyak yang tepat daripada yang kurang tepat gara-gara melihat datanya dengan dingin, tidak reaktif. Informasinya enggak cuma dari satu orang, kemudian bersikap reaktif. Jadi view-nya ada second opinion, ada the third opinion, mungkin fourth opinion gitu, sehingga bisa mengambil keputusan dengan jauh lebih jernih.

 


Hubungan Pertemanan dengan Ahok

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kalau kita flashback, Abang juga dikenal sebagai inisiator berdirinya Teman Ahok, apakah sampai sekarang masih berkomunikasi dengan Pak Ahok?

Hubungan saya sangat baik dengan Pak Ahok. Sampai Beliau di tahanan pun saya beberapa kali datang. Bahkan Beliau ulang tahun di tahanan saya dari Lampung naik mobil untuk bisa ngejar momen supaya bisa ngucapin selamat ulang tahun ke Pak Ahok.

Terus setelah Beliau keluar dari tahanan pun masih berhubungan baik. Saya sempat silaturahmi ke Beliau sehari sebelum diangkat jadi Komut Pertamina waktu itu.

Dan waktu anak saya terbakar tangannya, Pak Ahok yang membantu untuk bisa mendapatkan fasilitas perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Jadi hubungan sangat baiklah ya. Mungkin politik kita enggak banyak lagi ngomongin, tapi urusan personal hubungan tetap baik.

Hubungan pertemanan masih baik ya?

Pertemanan tetap baik. Dan yang terakhir itu Beliau bantu saya, Beliau kirim ajudan-ajudannya untuk mengurus ruangan buat bisa tampung anak saya di rumah sakit, itu di zaman Covid, enggak gampang dapat ruang rumah sakit waktu itu untuk perawatan.

Apalagi perawatan luka bakar dan luka bakarnya kan banyak, enggak cuma di telapak tangan luka bakarnya. Kalau enggak ada Beliau, saya enggak tahu mau bawa kemana waktu itu karena dalam keadaan panik kan.

Jadi ya itu kebaikan-kebaikannyalah. Ajudannya standby sampai kita masuk, mungkin jam 12 malam atau jam setengah satu. Itu ajudannya tetap di sana, baru pulang setelah memastikan anak saya dapat ruangan dan dapat pelayanan yang baik, baru ajudannya pulang.

Kalau pertemanan jalan terus. Politik kan enggak harus sama-sama, tapi pertemanan jalan terus.

 


Pensiun Muda dan Keliling Dunia

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kalau melihat di media sosial, Abang sepertinya sangat ahli di bidang komunikasi, apakah latar belakang Pendidikan Abang memang komunikasi?

Nah itu, saya enggak pernah kuliah komunikasi. Tapi itu persepsi orang ya, karena saya merasa saya enggak punya expertise. Terus terang saya enggak punya expertise di dalam bidang komunikasi sebenarnya, karena pendidikannya ilmu politik, kuliahnya ilmu politik.

Kalaupun ada yang berurusan dengan komunikasi, ya saya pernah jadi wartawan memang, wartawan 1 tahun lah, enggak lama. Junior pula waktu itu kan, kalau ada pengalaman sedikit ada, tapi enggak sampai di level expert.

Kalau untuk punya strategi-strategi komunikasi, pasti saya dibantu orang lain, dibantu oleh orang-orang yang jauh lebih punya skill, yang saya itu soal wisdom-nya saja. Apa yang harus kita lakukan? Mana yang harus kita ambil? Mana yang harus kita pilih?

Kalau yang lain-lain itu kan ada expert yang bisa bantu. Kalau saya itu lebih ke manajerial. Kalau manajerial bukan hal yang asing buat saya. Kan saya pimpin perusahaan 14 tahun, jadi soal manajerial lumayan khatam gitu.

Kalau soal politik seumur-umur hidup saya dalam soal politik. Tapi yang lain-lainnya, soal komunikasi, soal strategi, soal diseminasi saya harus dibantu oleh expert.

Kalau soal bicara-bicara begini ya karena sudah terbiasa saja. Karena dulu kan jadi trainer, di HMI saya jadi trainer, jadi lama saya jadi trainer. Kalau untuk bicara, ya insyaAllah enggak gagaplah. Kadang-kadang hilang juga pikiran, tapi sebagian besar enggak gagaplah.

Kalau menulis buku?

Bukan penulis buku sebenarnya, jadi itu skripsi. Saya bikin skripsi, kemudian skripsinya dijadikan buku oleh sebuah yayasan. Katanya, karena jarang tulisan kayak gini dan jarang ada orang yang mau meneliti detail soal ini, kemudian mereka ambil. Mereka minta naskahnya untuk dijadikan buku. Jadi bukan penulis bukulah.

Kalau boleh tahu tentang apa skripsinya?

Tentang Tan Malaka. Memang topik yang jarang waktu itu, jarang orang yang menulis soal itu, apalagi yang menulis soal yang levelnya itu. Jadi di politik itu ada yang orang comparative politics, jadi dia membandingkan antara politik Indonesia dengan politik negara lain.

Ada yang studi politik Indonesia, tapi biasanya dia menulis soal sistem politik, sistem politik di Indonesia. Nah, yang menulis soal pemikiran politik hampir enggak ada di level skripsi. Saya mengambil tema itu pemikiran politik, jadi political thought. Jadi political thinking, nah itu jarang yang mau menulis itu di level skripsi.

Kalau di tesis, di disertasi banyak, tapi di level skripsi karena itu rumit, kita harus baca buku semua gitu. Kayak Tan Malaka itu menulis lebih dari 20 buku, mungkin brosur dan artikel kalau ditotal-total mungkin 40-an, harus kita baca semua dan kita carikan benang merahnya dia bicara soal apa.

Kemudian dirangkum menjadi sebuah pemikiran soal negara. Jadi kalau itu kan kata teman-teman saya, lu cari-cari kerjaan, bikin skripsi soal itu cari-cari kerjaan katanya, lebih baik faktor-faktor saja. Biasanya kan judul skripsi itu faktor-faktor penyebab, misalnya runtuhnya rezim apa di negara mana. Faktor-faktor saja semua, kualitatif gitu. Kalau pemikiran kan harus baca semua bukunya.

Berarti dari dulu memang sudah tertarik sama dunia politik ya?

Kan kuliahnya politik.

Pernah bercita-cita selain di dunia politik?

Nah, justru sebenarnya politik itu bukan bagian dari cita-cita. Itu bagian dari gaya hidup saja. Dari hidup yang harus dilalui saja. Karena sebenarnya saya dulu punya teman di SMA. Cita-cita kita tuh sama, kita tuh pengen pensiun di usia muda, habis itu keliling dunia, itu saja.

Tapi ya susah kan? Saya sudah mencoba berkali-kali untuk pensiun. Saya 2019 itu mundur dari perusahaan dan hanya jadi komisaris saja. Jadi CEO-nya saya lempar ke orang lain. Saya pikir, ah sudah bisa santailah, ternyata enggak santai juga.

2024 begitu selesai pilpres, saya betul-betul mundur dari semua perusahaan. Mundur dari komisaris, termasuk juga mundur dari kepemilikan biar bisa santai-santai. Jadi saya jalan-jalan, habis Februari itu isinya hidup saya jalan-jalan. Februari 2024, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, semuanya saya jalan-jalan.

Terus tiba-tiba dapat amanah. Tapi kan ini harus disyukuri juga, artinya ini kepercayaan. Ini kan kepercayaan dan kepercayaan itu harus dikerjakan sebaik-baiknya. Kemarin sudah sempat menikmati, mungkin 5 bulan 6 bulan saya menikmati. Lima bulanlah jalan-jalan. Hampir setiap bulan saya ke luar negeri. Ya lumayanlah buat healing.

 

 


Mayor Teddy Mempertemukan dengan Prabowo

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bagaimana ceritanya Abang bisa bergabung dengan TKN Prabowo-Gibran?

Saya kan sudah enggak memimpin perusahaan konsultan politik lagi waktu itu, kan yang ngerjain sudah orang lain. Nah, waktu itu saya lupa, mungkin bulan Oktober ya, diumumkanlah daftar orang-orang yang mengisi Tim Kampanye Nasional. Terus saya lihat namanya banyak kan?

Terus saya telepon Bang Dasco, Bang saya ingin masuk jadi Tim Kampanye Nasional. Jadi saya mengajukan diri. Mau jadi apa? Kata Bang Dasco. Saya mau jadi jubir. Memang saya minta spesifik jadi juru bicara walaupun sudah tahu di dalam itu sudah ada jubir-jubir sebelumnya. Mungkin sudah puluhan jubir waktu itu.

Terus saya minta, saya minta jadi jubir saya bilang, saya mau masuk Tim Bravo dan saya mau jadi juru bicara. Malam itu juga nama saya dimasukin sama Bang Dasco. Bang Dasco kayaknya juga enggak percaya waktu itu. Ini beneran katanya mau jadi jubir?

Mungkin enggak menyangka saya pengen masuk langsung jadi tim kampanye, kan belum pernah jadi tim kampanye. Biasanya kan jadi konsultan politik di balik layar. Dan hari ini memaksakan diri, bukan memaksakan diri tapi maksa. Saya ngotot mau jadi jubir memang atas permintaan saya sendiri.

Kalau awal pertemuan dengan Pak Prabowo bagaimana?

Kalau sama Pak Prabowo jauh sebelumnya. Jadi saya ketemu Pak Prabowo itu mungkin Februari atau Maret 2023 yang setelah sekian lama. Dulu saya pernah ketemu tahun 2012 selama Pilkada DKI, tapi mungkin Beliau enggak notice. Nah, pertemuan yang intensif itu Februari atau Maret 2023. Itu yang fasilitasi ya mayor yang punya banyak fans itu.

Mayor Teddy?

Iya. Nah, dia tanya Abang mau enggak ketemu dengan Pak Prabowo? Saya waktu itu juga agak kaget karena selama ini kan saya enggak punya ekspektasi apa-apa karena rekam jejak kan? Rekam jejak kita kan melawan Pak Prabowo selama ini. Entah apa-apa yang kita pernah tulis soal Pak Prabowo, yang kita pernah katakan soal Pak Prabowo, pokoknya banyak yang negatiflah.

Tapi Pak Prabowo berkenan ketemu. Terus saya bilang sama Mayor Teddy, kalau Bapak mau ketemu saya, saya dengan senang hati mau ketemu. Dan setelah itu kan beberapa kali ketemu, mungkin tiga atau empat kali ketemu sampai saya memutuskan untuk mendukung Pak Prabowo di bulan Agustus itu.

Mungkin 4 kali ketemulah dan semua pertanyaan yang jadi uneg-uneg saya, saya sampaikan ke Beliau dan saya pikir Beliau akan marah kan? Saya pikir kita bakal kena timpuk seperti gambaran orang-orang itu kan? Kalau orang menggambarkan Pak Prabowo kan kayak begitu.

Ternyata enggak. Beliau santai sekali, Beliau jelaskan dengan baik. Jadi semua prasangka-prasangka buruk saya soal Pak Prabowo hilang sirna semua. Dan karena Beliau itu wawasannya sangat luas, bacaannya sangat variatif. Beliau banyak tahu soal dunia, soal Indonesia, soal perkembangan peradaban, soal teknologi, soal pembangunan, ya saya pikir ya kayaknya ini yang cocok nih untuk didukung.

Bahkan saya sudah tahu dia akan jadi pemenang pilpres itu Januari 2023 dari survei kita, kita sudah tahu. Karena setiap head to head dia selalu menang. Kalau 3 nama dia nomor 2, tapi begitu diadu head to head dia selalu menang.

Head to head sama Ganjar maupun head to head sama Mas Anies, Pak Prabowo selalu menang. Jadi saya bilang sama anak kantor ini pasti akan jadi pemenang nanti. Saya enggak tahu mau satu putaran dua putaran itu urusan lain. Tapi itu kan hanya kita simpan dalam hati.

Kita enggak punya ekspektasi ketemu dengan Pak Prabowo waktu itu. Karena kita tahu dirilah, entah apa-apa yang pernah kita omongin soal Pak Prabowo waktu itu kan? Kita tahu dirilah. Tapi ternyata enggak ada tuh menyisakan sedikit saja soal sakit hati atau segala macam, enggak. Semua dirangkul saja sama dia.

Lupakanlah kalau mau maju, yang lalu biarlah berlalu, kita mau lihat ke depan. Cut off, yang lalu kita cut off, kita lihat yang ke depan. Buat saya itu sebuah jiwa yang besar, habis itu buat saya ya sudahlah menetapkan diri buat ini. Tapi waktu itu juga enggak ada ekspektasi sebenarnya bakal jadi tim kampanye segala macam.


Pulang Kampung dan Makan Nasi Padang

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dengan semua kesibukan yang ada masih sempat pulang kampung?

Kalau sebelum 2024 itu saya paling sedikit dua kali setahun pulang kampung.

Kampung Abang di mana?

Saya kan besar di Bukittinggi, tapi kampung orangtua di Sijunjung, di Tanjung Ampalu, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Jadi biasanya saya pergi dua kota ini, dua daerah ini, kalau dari Bukittinggi kemudian ke Sijunjung atau sebaliknya begitu.

Tapi tahun 2024 ini baru sekali pulang. Habis Lebaran saya pulang, tiga hari atau empat hari. Tapi enggak ke Bukittinggi, tapi di Sijunjung, karena kampung orangtua kan di sana, nengok orangtua sekalian di Sijunjung. Enggak tahu tahun ini bisa dua kali pulang apa enggak. Tapi sebelum-sebelumnya paling sedikit dua kali setahun pulang kampung.

Tapi kalau makan nasi Padang sering kan?

Iya, kalau di sini sekali seminggu minimal. Kalau tiap hari itu kayaknya berdosa, berdosa sama tubuh, sama berat badan. Tapi sekali seminggu haruslah. Kalau level stres agak tinggi ya sudah kita makan Padang saja.

Lauk favoritnya apa, Bang?

Kalau saya tunjang. Tahu tunjang enggak? Tunjang itu kikil, sama satu lagi tambunsu atau usus, ini yang saya paling suka, tapi di sini jarang. Tambunsu itu diisi sama telur sama kelapa. Kalau di sini banyak diisi sama tahu saja kayaknya. Kalau di rumah makan di Sumatera Barat itu isinya sama telur sama kelapa. Usus itu jeroan ya.

Dan itu cukup untuk mengobati rasa rindu pulang kampung?

Oh enggak juga. Kalau di sini bukan rasanya yang beda, tapi suasananya yang beda. Kalau benar-benar pengen, pulang kampung itu kan suasananya dapat. Alamnya dapat, musiknya, jadi komplet. Jadi ada musiknya, kalau kita mau makan di tempat-tempat makan biasa juga ada musiknya.

Kalau makan di pasar musiknya satu pasar ada musik. Kalau di Pasar Atas Bukittinggi tiap toko biasanya ada musiknya. Di tempat makan lainnya juga ada musiknya. Itu musiknya musik Minang, lagu-lagu Minang semua. Jadi dapat feel-nya, kalau di sini cuma sekadar makan saja, untuk relaksasi makan enaklah.

Kalau mau merasakan feel suasana kampung, ya kita harus pulang. Kalau suasana kampung itu begitu sudah mendarat di bandara, sudah berasa tuh, itu pasti saya mampir. Kalau masih di bandara saya pasti selalu mampir. Kalau kita arah keluar sebelah kanan itu ada orang jual lontong Padang, pasti nyicip lontong Padang itu dulu.

Kalau hobi?

Nah itulah susahnya ini. Saya enggak punya hobi. Jadi waktu saya tes psikologi itu, hobi, interest, sama pekerjaan sama semua. Jadi hobinya politik, interest-nya politik, pekerjaannya politik. Yang jelas, saya itu sebenarnya orang yang lebih suka menyendiri.

Introvert?

Nah itulah. Jadi kalau habis diwawancarai begini, itu saya tuh exhausted, lelah itu. Habis ketemu wartawan segala macam itu lelah, habis mengisi seminar misalnya lelah itu.

Itu harus recharge kan? Recharge-nya biasanya menyendiri di kamar, jadi nonton Netflix atau hiking berdua sama istri cari tempat sepi. Jadi kalau ada curug, curug yang ramai saya enggak mampir di situ. Cari lagi naik ke atas cari curug yang sepi. Tapi itu enggak selalu, karena sebagian besar weekend ya di rumah, di kamar.

Me time saja ya?

Me time saja. Kalau enggak bersama keluarga. Kalau pergi juga sama keluarga. Jadi kalau nongkrong itu susah, hampir enggak pernah nongkrong. Kalau ditanya tongkrongannya di mana, saya enggak punya tempat tongkrongan. Biasa ngopi di mana? Enggak punya. Saya suka ngopi, tapi biasa ngopi di mananya enggak ada tempat yang spesifik.

Atau kalau misalnya sama anak-anak kantor kan sudah dekat ya. Karena saya sudah anggap itu circle, ya itu saya bisa nongkrong ngopi di mana. Tapi kalau dengan yang orang baru atau dengan teman yang sudah lama enggak ketemu itu susah.

Kadang-kadang dianggap sombong, padahal kita lagi exhausted itu. Termasuk juga balas WA, nah ini lagi belajar nih sekarang balas WA yang agak banyak karena banyak wartawan WA kan? Mungkin masih banyak yang kecewa tuh wartawan, itu lebih kepada exhausted, kita lagi belajar.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya