Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah mengembangkan kontrak derivatif efek dengan underlying indeks asing.
Demikian disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi, dikutip dari Antara, Kamis (10/10/2024).
Advertisement
"Saat ini, OJK bersama bursa sedang mengembangkan kontrak derivatif efek dengan underlying index asing,” kata Inarno.
Pihaknya juga tengah mendiskusikan pengembangan penawaran efek yang tercatat di bursa luar negeri oleh pelaku efek serta standardisasi proses bisnisnya.
Inarno mengatakan, perluasan kewenangan OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan kontrak derivatif keuangan dengan subjek efek, termasuk saham asing dan indeks asing, merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Inarno menyebutkan, saat ini penjualan saham dari bursa luar negeri di Indonesia masih dilaksanakan berdasarkan kerangka peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang disebut dengan Penyaluran Amanat Luar Negeri (PALN).
"Itu juga merupakan kontrak derivatif. Pelakunya adalah perantara/pedagang berjangka yang telah mendapat izin usaha dari Bappebti dan telah mendapat persetujuan sebagai pialang PALN,” kata dia.
Selain pengembangan kontrak derivatif dengan underlying indeks asing, ia menyampaikan OJK dan BEI tengah mempelajari dan mendiskusikan rancangan peraturan pencatatan dan perdagangan waran terstruktur. Adapun BEI telah menyampaikan kajian perluasan underlying waran terstruktur yang awalnya hanya IDX30 menjadi IDX80.
"OJK bersama BEI, masih mengkaji untuk melakukan evaluasi atas implementasi waran terstruktur dan melakukan penguatan tata kelola, proses bisnis dan conduct pelaku efek,” ujar Inarno.
OJK Catat Penerbitan Obligasi dan Sukuk Hijau Mencapai Rp 36,4 Triliun
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat nilai penerbitan obligasi dan sukuk berlandaskan keberlanjutan telah mencapai Rp 36,4 triliun. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon (PMDK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi menjelaskan, OJK bersinergi dengan stakeholder untuk terus mendorong penerbitan obligasi dan sukuk berlandaskan keberlanjutan di Indonesia.
Selanjutnya pada tahun 2024, OJK telah menerbitkan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia atau TKBI. Taksonomi ini menjadi rujukan bagi pelaku jasa keuangan dalam mengimplementasikan keuangan berkelanjutan. TKBI mengklasifikasikan kegiatan usaha ke dalam kategori green atau hijau dan transisi dengan mengintegrasikan aspek kelingkungan dan aspek sosial.
Selain itu, di tahun ini OJK sedang melakukan berbagai persiapan penerapan standar IFRS S1 dan IFRS S2 dan dari berbagai inisiatif keuangan berkelanjutan yang telah dilakukan OJK bersama stakeholder Indonesia dinilai cukup maju dan cepat dalam penerapan keuangan berkelanjutan.
Advertisement
Terapkan GCG
"Izinkan saya menyampaikan sebuah pesan penting kepada seluruh perusahaan di Indonesia terutama yang telah menjadi bagian dari pelaku usaha jasa keuangan agar terus meningkatkan tata kelola atau governance perusahaannya. Hal ini tidak hanya dalam rangka kepatuhan terhadap regulasi tapi tentunya juga untuk membangun kepercayaan dan juga reputasi di mata investor global, regulator, dan juga seluruh stakeholder," kata Inarno dalam Annual Report Award, Senin (7/10/2024).
Inarno juga mendorong para pelaku bisnis untuk mengintegrasikan prinsip sustainability ke dalam proses bisnis perusahaan serta melaporkannya secara transparent di dalam laporan tahunan. Hal ini sebagai bentuk komitmen pelaku usaha untuk berkontribusi dalam mengatasi dampak perubahan iklim dan juga permasalahan sosial.
"Saya berkeyakinan bahwa apabila suatu perusahaan bersungguh-sungguh dalam menerapkan good governance dan juga mengintegrasikan prinsip sustainability dalam menjalankan usahanya maka akan mendapatkan kepercayaan dari investor baik itu domestik maupun global, regulator, pemerintah, dan juga stakeholder lainnya," pungkas Inarno.
87 Emiten Antre di Pipeline IPO OJK, Incar Dana Rp 15,23 Triliun
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat 87 perusahaan antre di pipeline penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) sampai dengan 30 Agustus 2024. Dana yang dibidik dari emiten-emiten tersebut mencapai Rp 15,23 triliun.
Secara keseluruhan, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon (PMDK) OJK, Inarno Djajadi mengantongi 116 pencatatan di pipeline dengan dana yang diincar mencapai Rp 41,72 triliun. Selain IPO, terdapat ada 4 PUT dengan nilai yang diincar sebesar Rp 1,93 triliun. Lalu 9 EBUS dengan dana yang diincar Rp 9,06 triliun. Sisanya 16 PUB EBUS Tahap I,II, dan seterusnya senilai Rp 15,51 triliun.
"Penghimpunan dana di pasar modal masih dalam tren yang positif, tercatat nilai penawaran umum mencapai Rp 135,25 triliun di mana Rp 4,39 triliun di antaranya merupakan fundraising dari 28 emiten baru. Sementara itu, masih terdapat 116 pipeline penawaran umum dengan perkiraan nilai indikatif sebesar Rp 41,72 triliun," beber Inarno.
Dari total dana yang dihimpun itu, sebesar Rp 3,79 triliun berasal dari IPO 27 emiten baru. Kemudian hasil penerbitan 11 PUT berhasil meraup dana Rp 36,30 triliun. Penerbitan 5 EBUS senilai RP 5,18 triliun, dan 93 PUB EBUS Tahap I,II, dan seterusnya senilai Rp 89,99 triliun.
Untuk penggalangan dana pada Securities Crowdfunding (SCF), sejak pemberlakuan ketentuan SCF, hingga 30 Agustus 2024 telah terdapat 17 penyelenggara yang telah mendapatkan izin dari OJK dengan 604 penerbitan Efek, 161.690 pemodal, dan total dana SCF yang dihimpun dan teradministrasi di KSEI sebesar Rp1,18 triliun.
Advertisement