Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM) mencatat, saat ini tren perkembangan koperasi di Indonesia masih didominasi usaha simpan pinjam, porsinya hingga 70 persen. Sedangkan sisanya bergerak di sektor riil.
Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi mengatakan, perkembangan koperasi di Indonesia berbanding terbalik dengan perkembangan koperasi di dunia yang usahanya didominasi sektor riil.
Advertisement
"Kita relatif 60-70 persen koperasi kita bergerak simpan pinjam koperasi. Sementara sektor riil masih di bawah 30 persen. Sebaliknya perkembangan koperasi di dunia 70 persen itu sektor riil, dan 30 persen simpan pinjam," kata Ahmad Zabadi dalam konferensi Pers di Kemenkop UKM, Jakarta, Kamis (10/10/2024).
Oleh karena itu. KemenkopUKM akan membahas mengenai pengaturan usaha koperasi dalam Revisi Undang-undang Perkoperasian. Ia pun menargetkan, ke depan tren koperasi di Indonesia akan lebih diarahkan ke sektor riil dibandingkan usaha simpan pinjam.
"Ini kemudian di RUU kita ingin mengintensi lebih kuat, bahwa arah perkembangan koperasi di Indonesia ke depan ke sektor riil. Inilah kita rumuskan beberapa kebijakan untuk mendorong koperasi ini lebih bergerak ke arah sektor riil," ujarnya.
Namun, hingga kini pembahasan RUU Perkoperasian tak kunjung dijalankan menjelang lengsernya kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Padahal, sebelumnya Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki telah meminta kepada Presiden Jokowi agar RUU Perkoperasian menjadi prioritas pembahasan.
Namun, MenkopUKM pun sadar bahwa RUU Perkoperasian tidak akan mungkin diselesaikan di masa kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Teten Masduki lantas melempar tongkat estafet tersebut kepada Prabowo Subianto, yang akan dilantik menjadi Presiden Indonesia pada Oktober 2024.
Jokowi Minta RUU Perkoperasian Jadi Prioritas, Selesai Tahun Ini?
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyinggung pembahasan RUU Perkoperasian yang tak kunjung dijalankan. Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memprioritaskan hal tersebut untuk dikebut sebelum akhir masa jabatan di Oktober 2024 nanti.
Teten menyampaikan, soal RUU Perkoperasian ini masuk pada salah satu poin kendala pelaksanaan anggaran tahun 2024. Menindaklanjuti hal tersebut, dia mengaku sudah menemui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas.
"Pembatalan RUU Perkoperasian yang belum dimulai, saya kemarin berdiskusi dengan pak Menkumham yang baru, yang baru dipanggil oleh Pak Presiden, beliau meminta ada prioritas ini penyelesaian RUU Perkoperasian," kata Teten dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (4/9/2024).
Atas pertemuan tersebut, Menteri Teten mengaku Jokowi meminta RUU Perkoperasian jadi prioritas pembahasan.
"Begitu. Jadi yang disampaikan pak Presiden kepada pak Menkumham yang baru minta diprioritaskan, diselesaikan," ujar dia.
Terkait kemungkinan selesai sebelum akhir masa jabatan, Menteri Teten masih akan membuka diskusi lagi dengan Menkumham.
"Nah itu saya sudah diskusi apakah mungkin atau tidak kami akan baru meeting dengan pak Menkumham," tegasnya.
Advertisement
Kemungkinan Dibahas Pemerintah Baru
Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang atau RUU Perkoperasian tidak akan mungkin diselesaikan di masa kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Teten Masduki lantas melempar tongkat estafet tersebut kepada Prabowo Subianto, yang akan dilantik menjadi Presiden Indonesia pada Oktober 2024.
"Kalau RUU Perkoperasian sudah saya simpulkan enggak mungkin dibahas ya, karena memang waktunya terlalu mepet. Biar dilanjutkan oleh pemerintahan yang akan datang," kata Teten di Gedung Smesco, Jakarta, Rabu (24/7/2024).
Untuk memuluskan transisi itu, Kementerian Koperasi dan UKM disebutnya bakal memberikan memorandum kepada Prabowo dan jajarannya. Teten juga mengaku telah bertemu dengan tim yang bersangkutan, meskipun pembahasannya belum terlalu mendalam.
"Informal sih sudah. Beberapa program kita juga sudah dinarasikan di dalam pemerintahan baru, tapi belum detail," ungkap dia.
Lebih lanjut, Teten turut memberi pekerjaan rumah bagi penerusnya, terkait tantangan UMKM agar bisa berkiprah di platform digital. Menurutnya, masalah saat ini bukan karena pelaku UMKM ogah masuk ke pasar online.
"Tapi kebanyakan dari UMKM kita terutama yang di kuliner, termasuk yang di fashion juga, kapasitas produksinya enggak bisa untuk pasar nasional. Sehingga banyak yang tidak bisa bertahan lama di e-commerce," terangnya.
Masalah Lain
Problem selanjutnya, kebanyakan UMKM masih kalah bersaing dengan produk dari luar negeri di pasar online. Isu utamanya yakni bukan soal seberapa banyak pedagang mikro dan kecil yang berdagang di sana, tapi seberapa kuat mereka menghadapi tingkat competitiveness yang begitu kuat melawan brand luar.
"Kalau misalnya harus produk asing masih leluasa seperti sekarang, UMKM kita pasti kalah bersaing. Tadi misalnya, roti aja sudah kalah. Apalagi produk fashion. Produk kita pasti lebih mahal daripada produk mereka, karena bahan bakunya kita impor. Sebanyak 90 persen kan akhirnya kita hanya jadi pedagang produk luar. Itu kita evaluasi," bebernya.
"Jadi problemnya bukan soal UMKM-nya enggak siap, tapi kita kalah bersaing. Karena itu penting proyeksi terhadap pengaturan perdagangan di online," tegas Teten.
Advertisement