Petani Tolak Keras Indonesia Meratifikasi FCTC Tembakau

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menolak keras dorongan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di Indonesia.

oleh Septian Deny diperbarui 10 Okt 2024, 18:30 WIB
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat hingga kini ada 178 Negara (88 persen populasi dunia)

Liputan6.com, Jakarta Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menolak keras dorongan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di Indonesia. Traktat yang digadang oleh lembaga-lembaga anti tembakau asing tersebut dinilai tidak sesuai dengan kompleksitas kondisi sosial dan ekonomi industri hasil tembakau di Indonesia, di mana keseluruhan rantai ekosistemnya yang melibatkan lebih dari enam juta masyarakat Indonesia merupakan penggerak ekonomi nasional, mulai dari petani, manufaktur, rantai distribusi, ritel, hingga ekspor.

Sekretaris Jenderal HKTI, Sadar Subagyo, menekankan pentingnya membuat regulasi nasional yang lebih adil dan berimbang, terutama untuk melindungi mata pencaharian jutaan petani tembakau dan petani cengkeh serta keberlangsungan industri hasil tembakau nasional.

Sebab, saat ini mayoritas hasil produksi petani tembakau dan cengkeh diserap secara langsung oleh industri hasil tembakau, sehingga petani sangat bergantung pada keberlangsungan industri tersebut.

“Jadi, jangan ada lagi aturan yang menekan industri tembakau, seperti dorongan ratifikasi FCTC saat ini. Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dari negara-negara lain. Kita perlu aturan nasional sendiri yang lebih cocok dengan situasi khas Indonesia,” ucap Sadar dikutip Kamis (10/10/2024).

Sadar melanjutkan kebijakan yang diadopsi di Indonesia untuk industri hasil tembakau harus disesuaikan dengan situasi dan konteks yang ada di dalam negeri, di mana industri tembakau memiliki sejarah panjang dan berperan penting dalam menggerakan perekonomian, termasuk mendorong kemajuan hilirisasi dan industrialisasi bernilai tambah yang notabene salah satu program prioritas Asta Cita di pemerintahan berikutnya.

Oleh sebab itu, ia meminta pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto, yang juga merupakan Ketua Dewan Pembina HKTI dan mantan Ketua Umum DPN HKTI dua periode (2004-2010, 2010-2015), agar lebih memperhatikan nasib petani tembakau dan memberikan kebijakan yang lebih adil bagi para petani tembakau.

“Aturan ini tidak hanya berdampak bagi petani, konsumen itu juga berhak mendapatkan informasi yang akurat atas produk legal yang dikonsumsinya. Dengan menerapkan aturan seperti FCTC, akan ada risiko besar bagi konsumen dan negara, termasuk potensi pemalsuan produk (rokok ilegal) yang meningkat serta hilangnya pendapatan negara dari cukai,” ujarnya.


Industri Hasil Tembakau

Ratifikasi FCTC merupakan kado indah untuk anak Indonesia

 

Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa regulasi bagi industri hasil tembakau, sebaiknya tidak dilihat dari sisi kesehatan saja, tetapi juga perlu dilihat dampaknya secara lebih luas, khususnya dari aspek sosial dan ekonomi, terutama bagi petani tembakau.

“Industri tembakau adalah ekosistem yang saling berkaitan satu sama lain. Jika satu aspek terkena dampak, maka hal itu akan menyebar ke aspek lainnya secara sistemik,” pungkas Sadar.

Kini, Kementerian Kesehatan juga tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) yang disebut akan mengimplementasikan aturan kemasan rokok polos tanpa merek.

 


Penggunaan FCTC

Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Aturan tersebut, yang menggunakan FCTC sebagai dasar acuan, disinyalir merupakan upaya intervensi lembaga-lembaga anti tembakau asing untuk mematikan sektor tembakau di Indonesia.

Maka, pemerintah perlu menjaga kedaulatan negara serta melindungi warga negaranya, termasuk petani, untuk mendapatkan hak pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana perlindungan kepada petani yang dimandatkan dalam UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014.

PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes juga terus menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk sejumlah asosiasi petani, karena dinilai tidak transparan dalam proses perumusannya serta tidak melibatkan seluruh pihak yang terdampak.

Aturan tersebut juga dinilai memberikan imbas negatif yang besar terhadap sektor pertembakauan di Indonesia, mulai dari meningkatnya angka pengganguran dan kemiskinan, hingga meningkatnya peredaran rokok ilegal karena hilangnya identitas merek dari produk tembakau.

(Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya