Kemenkes Buka Obrolan dengan Buruh, Wacana Bungkusan Rokok Polos Cuman Tes Ombak?

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuka diskusi dengan serikat buruh terkait rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), dan diterbitkannya PP Nomor 28 Tahun 2024.

oleh Septian Deny diperbarui 13 Okt 2024, 15:00 WIB
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuka diskusi dengan serikat buruh terkait rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), dan diterbitkannya PP Nomor 28 Tahun 2024.

Audiensi itu dilakukan pasca Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) menggelar unjuk rasa di Kantor Kemenkes, Kamis (10/9/2024) lalu.

Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes, Benget Saragih, berjanji pihaknya akan melibatkan buruh dalam menyusun RPMK, khususnya terkait kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.

"Terima kasih untuk teman-teman, sesuai kesepakatan bersama. kami sangat menerima aspirasi dan akan melibatkan bapak ibu dalam penyusunan RPMK yang mana yang terdampak adalah buruh ya pak. Kita akan bersama-sama menyusun. Ini bukan janji, tapi ini akan kita laksanakan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (13/10/2024).

Dari hasil pertemuan tersebut, Ketua Umum PP FSP RTMM SPSI Sudarto mengatakan, aturan kemasan rokok polos tanpa merek merupakan aturan yang dibuat untuk melihat reaksi publik maupun industri rokok. Terkait dengan zonasi larangan penjualan dan iklan rokok nantinya akan ada pembahasan lebih lanjut.

"Soal kemasan polos sudah nggak, mereka udah bilang enggak kok pak, kita juga mikir lah pak, itu kan cek ombak katanya. Nah itu kebiasaan, jadinya ngaku tadi. Ada beberapa yang juga diakui seperti larangan zonasi penjualan produk tembakau dengan radius 200 meter itu nanti lah katanya kita bicarakan. yang penting adalah kita akan dilibatkan," ungkapnya.

Libatkan Serikat Pekerja

Sudarto mengungkapkan, Kemenkes berjanji akan melibatkan FP RTMM-SPSI dan organisasi terkait lainnya dalam penyusunan dan pembahasan Rancangan Permenkes mengenai pengamanan produk tembakau, rokok elektronik, serta makanan dan minuman.

"Kami akan menagih janji dari pihak Kemenkes yang akan melibatkan buruh dalam pembahasan RPMK ke depannya. Jika tidak dilibatkan, maka akan ada aksi unjuk rasa dan penyampaian pendapat lagi," tegas dia.

Pasalnya, pihaknya sudah berulang kali mengirimkan surat dan mengajak audiensi kepada Kemenkes. Tapi usaha dialog yang diajukan tidak kunjung mendapat respons oleh Kemenkes.

"Kami sudah mengirim surat kepada kemenkes tapi tidak diterima. Kedua sudah mencoba audiensi berulang kali namun tidak direspons. Ketiga, pemerintah sudah diminta untuk audiensi tapi tetap tidak datang," kata Sudarto.


Petani Tolak Keras Indonesia Meratifikasi FCTC Tembakau

Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menolak keras dorongan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di Indonesia. Traktat yang digadang oleh lembaga-lembaga anti tembakau asing tersebut dinilai tidak sesuai dengan kompleksitas kondisi sosial dan ekonomi industri hasil tembakau di Indonesia, di mana keseluruhan rantai ekosistemnya yang melibatkan lebih dari enam juta masyarakat Indonesia merupakan penggerak ekonomi nasional, mulai dari petani, manufaktur, rantai distribusi, ritel, hingga ekspor.

Sekretaris Jenderal HKTI, Sadar Subagyo, menekankan pentingnya membuat regulasi nasional yang lebih adil dan berimbang, terutama untuk melindungi mata pencaharian jutaan petani tembakau dan petani cengkeh serta keberlangsungan industri hasil tembakau nasional.

Sebab, saat ini mayoritas hasil produksi petani tembakau dan cengkeh diserap secara langsung oleh industri hasil tembakau, sehingga petani sangat bergantung pada keberlangsungan industri tersebut.

“Jadi, jangan ada lagi aturan yang menekan industri tembakau, seperti dorongan ratifikasi FCTC saat ini. Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dari negara-negara lain. Kita perlu aturan nasional sendiri yang lebih cocok dengan situasi khas Indonesia,” ucap Sadar dikutip Kamis (10/10/2024).

 


Industri Hasil Tembakau

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sadar melanjutkan kebijakan yang diadopsi di Indonesia untuk industri hasil tembakau harus disesuaikan dengan situasi dan konteks yang ada di dalam negeri, di mana industri tembakau memiliki sejarah panjang dan berperan penting dalam menggerakan perekonomian, termasuk mendorong kemajuan hilirisasi dan industrialisasi bernilai tambah yang notabene salah satu program prioritas Asta Cita di pemerintahan berikutnya.

Oleh sebab itu, ia meminta pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto, yang juga merupakan Ketua Dewan Pembina HKTI dan mantan Ketua Umum DPN HKTI dua periode (2004-2010, 2010-2015), agar lebih memperhatikan nasib petani tembakau dan memberikan kebijakan yang lebih adil bagi para petani tembakau.

“Aturan ini tidak hanya berdampak bagi petani, konsumen itu juga berhak mendapatkan informasi yang akurat atas produk legal yang dikonsumsinya. Dengan menerapkan aturan seperti FCTC, akan ada risiko besar bagi konsumen dan negara, termasuk potensi pemalsuan produk (rokok ilegal) yang meningkat serta hilangnya pendapatan negara dari cukai,” ujarnya.

Infografis Rokok Kalahkan Telur dan Ayam, Tertinggi Kedua Setelah Beras (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya