Liputan6.com, Jakarta - Tradisi menganyam yang kaya akan nilai budaya dan kearifan lokal telah ada di Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Namun seiring perkembangan zaman, tradisi ini mulai ditinggalkan. Apakah melestarikan seni menganyam masih relevan saat ini?
Du Anyam dan Lumikasa meyakini jawabannya adalah iya. Mulai awal 2024, mereka berkolaborasi untuk mengenalkan kembali dan meningkatkan kesadaran pentingnya melestarikan tradisi anyaman di Indonesia. Kolaborasi dilakukan dengan membuat produk anyaman berbahan palmira dan purun.
Advertisement
"Kami memilih kedua bahan tersebut karena mereka tidak hanya merepresentasikan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun, tetapi juga memiliki potensi besar untuk diangkat ke pasar modern melalui desain yang inovatif," kata Melia Winata, CEO & Co-Founder Du Anyam, kepada tim Lifestyle Liputan6.com dalam jumpa pers di Jakarta, Sabtu 12 Oktober 2024.
Bahan dasar palmira atau daun lontar yang dipakai mengikuti ketersediaan sumber daya alam di tempat tradisi menganyam terus diwariskan dari generasi ke generasi, yakni Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). "Dari bahan anyaman itu, kami mengolahnya untuk menambah nilai dengan menggabungkannya ke dalam produk seperti furnitur, salah satunya kursi, yang memberikan nilai tambah signifikan," kata Elvita Luminto, Direktur Lumikasa.
Sementara, bahan kedua yang disebut purun banyak ditemukan di Kalimantan Selatan. Tanaman tersebut termasuk dalam gulma yang biasa ditemukan di rawa-rawa. Masyarakat setempat biasa memanfaatkannya sebagai pembuat tikar anyaman.
"Kini kami olah menjadi produk yang lebih bervariasi sesuai dengan kreativitas kami. Barang-barang yang dihasilkan di sini dianyam langsung oleh para pengrajin setempat dari Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Selatan," imbuh Elvita.
Intensif Menyebarkan Keterampilan Menganyam di Kalangan Perempuan
Melia menyatakan pelestarian tradisi menganyam merupakan medium untuk memberdayakan para perempuan di Indonesia. Berdiri sejak 10 tahun lalu, Du Anyam terus mempromosikan seni anyaman di berbagai tempat dengan target usia 25--50 tahun.
"Dalam 10 tahun perjalanan kami, fokus kami adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ibu-ibu penganyam melalui pelatihan kualitas dan desain. Quality standardization juga penting untuk diperhatikan. Di antara ibu-ibu penganyam sudah memiliki keterampilan dasar, dan tugas kami adalah memastikan produk yang dihasilkan memenuhi standar modern tanpa meninggalkan akar tradisinya," ujar Melia.
Lewat brand tersebut, pihaknya ingin menunjukkan bahwa keahlian tradisional seperti menganyam dapat bersanding dengan gaya hidup modern. "Ini bukan hanya tentang melestarikan budaya, tetapi juga memberikan peluang ekonomi yang lebih besar bagi komunitas penganyam," tegasnya.
Hingga saat ini, mereka telah bekerja sama dengan 54 desa. Jumlah perajin yang bergabung dari tiap desa beragam, dari 10 orang hingga 200 orang. Total penganyam yang bergabung dalam ekosistemnya saat ini mencapai 1.400 orang.
Advertisement
Berdampak pada Ekonomi Keluarga
Lewat menganyam, Melia menyatakan bahwa para perempuan perajin bisa mendapatkan manfaat ekonomi di luar pekerjaannya sehari-hari. "Ibu-ibu dalam berbagai kegiatan, mulai dari bekerja di perkebunan hingga pertanian, seperti menanam jagung dan lain-lain. Jadi, anyaman ini bukan sekadar hobi, tetapi menjadi salah satu sumber pendapatan alternatif bagi mereka," ujar Melia.
"Melalui penguatan ekonomi yang kami berikan, kini mereka dapat mengakses pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak, serta meningkatkan kesehatan dan sanitasi untuk keluarga. Ini semua berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat, bukan hanya untuk perempuan, tetapi juga untuk anak-anak dan seluruh keluarga," tambahnya.
Pendapatan yang dihasilkan itu tak mudah karena ada kualitas produk yang harus konsisten dijaga agar segmen pasar yang dituju mau menyerapnya. Pihaknya berusaha meningkatkan keterampilan dengan rutin memberi pelatihan.
Produk anyaman yang dihasilkan kini beragam, mulai dari tas, bakul, anyaman, dan lain sebagainya. Mereka juga menciptakan koleksi furnitur bernama Liman yang terinspirasi dari gajah Sumatera.
Koleksi itu dirancang oleh duo desainer Santi Alaysius dan Humphrey Tedja dari Alter Ego Mini Domisilium Studio, DMDIO. Fokusnya adalah menciptakan furnitor modern dengan detail anyaman yang unik.
Menyambungkan Seni Menganyam dengan Kondisi Masa Kini
Elvita menjelaskan bahwa seni menganyam dapat dikenal luas pada era modern dengan menggabungkan aspek kerajinan tangan, industri, dan kreatif. Kerja sama ini dapat menghasilkan produk yang lebih relevan dengan gaya hidup sehari-hari, baik untuk keperluan bisnis maupun individu.
"Banyak orang yang menganggap produk tradisional itu identik dan kurang menarik, sedangkan produk desain yang terlalu modern sering dianggap tidak menyambung dengan tradisi. Saat ini, kami mencoba menengahi kedua hal tersebut. Kami ingin memasarkan kepada publik bahwa produk menganyam bisa diadaptasikan di berbagai tempat, seperti restoran atau hotel, dan membawa budaya Indonesia agar semakin dikenal. Kami juga menunjukkan bagaimana tradisi bisa menjadi jauh lebih kontemporer," Elvita menjelaskan.
Ia mencontohkan anyaman dengan teknik yang sama dipakai di koleksi baru mereka, tetapi kali ini dikembangkan dengan mencelup warna agar memberikan tampilan yang menyerupai kulit. "Menerapkan gaya seperti ini, produk menjadi lebih elegan dan cocok dengan gaya hidup masa kini. Meski menggunakan material yang sama, kami tetap mengembangkan produk melalui inovasi desain," katanya.
Advertisement