Pemerintah Disebut Tak Mampu Optimalkan Penyerapan Beras Dalam Negeri

Meskipun terjadi kenaikan harga Gabah Kering Panen, pemerintah lebih memilih impor beras daripada menyerap hasil produksi dalam negeri.

oleh Elyza Binta Chabibillah diperbarui 14 Okt 2024, 20:10 WIB
Petani mengangkut hasil panen padi di wilayah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat Selasa (7/5/2024). (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (PATAKA) menggelar konferensi pers, yang memaparkan hasil survei terkait keragaman produksi dan harga beras nasional selama Oktober 2024. 

Survei Pataka melibatkan total 870 petani, 115 pengepul, 56 penggilingan padi, 235 pedagang beras, serta 54 pengamat pengairan dan hama penyakit tanaman dari 10 provinsi utama penghasil beras di Indonesia, seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

Hasil survei menunjukkan bahwa terjadi peningkatan produktivitas padi dari bulan Mei hingga September 2024. Rataan produktivitas padi terendah terjadi di Juni 2024 yaitu 5,63 ton per ha, dan tertinggi di September yaitu 5,93 ton per ha, dengan rataan bulanan dari Mei-September 2024 sebesar 5,79 ton/ha. 

Adapun rataan laju harga jual GKP petani mengalami kenaikan sebesar 3,27% per bulan dengan rataan harga jual GKP terendah terjadi di bulan Mei 2024, yaitu sebesar Rp.5.493/kg. Kemudian tertinggi di bulan September 2024 sebesar Rp.6.248/kg, dengan rataan bulanan dari Mei-September 2024 sebesar Rp.5.901/kg.

Pada bulan Mei-Juli 2024 harga GKP petani berkisar antara Rp. 5.493-5.792 per kg, berada di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp.6.000 per kg. Dengan demikian pada periode Mei-Juli 2024 saatnya pemerintah melakukan penyerapan gabah dalam negeri yang lebih besar melalui Perum Bulog. 

Namun, terdapat kecenderungan penurunan harga gabah selama beberapa bulan terakhir. Harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani mengalami kenaikan sebesar 3,27% per bulan dari Mei hingga September, tetapi pemerintah tetap lebih memilih impor beras ketimbang menyerap hasil produksi dalam negeri.

“Tren pengadaan beras dalam negeri selalu berada di bawah pengadaan beras luar negeri atau impor, yang artinya pemerintah tidak mampu mengoptimalkan penyerapan beras dalam negeri dan lebih menyukai impor beras. Pemerintah masih melakukan penyerapan beras dalam negeri di Agustus dan September dan bahkan cenderung meningkat,” ungkap Ketua Pataka, Ferry Sitompul pada konferensi pers, Senin (14/10/2024)


Kenaikan Harga GKP dan Saprotan

Dengan perubahan batas fleksibilitas harga, diharapkan Bulog bisa menjadi jaring pengaman bagi petani dan harga terjaga dengan baik. (merdeka.com/Imam Buhori)

Selain itu, survei mengungkap adanya peningkatan harga sarana produksi pertanian (saprotan), termasuk benih, pupuk, pestisida, dan biaya pengairan. Harga GKP di tingkat pengepul juga meningkat rata-rata sebesar 3,24% per bulan, dengan pengepul menikmati margin keuntungan sebesar Rp 471 per kilo. Harga beras di tingkat penggilingan turut mengalami kenaikan, dengan rata-rata kenaikan 1,5% per bulan, dan mencapai puncaknya pada Agustus 2024 sebesar Rp 12.967 per kg.

Selain itu, ada beberapa faktor produksi yang disurvei oleh PATAKA diantaranya, biaya benih, pupuk, pestisida dan pengairan, dimana seluruhnya mengalami peningkatan. Hal ini menandakan adanya kenaikan harga beberapa sarana prasarana produksi pertanian (Saprotan), atau peningkatan kuantitas penggunaan Saprotan yang dibeli selama periode masa tanam, dengan masa panen antara bulan Mei-September 2024. Beberapa faktor yang menyebabkan kenaikan itu diantaranya adanya gagal tanam, kekeringan dan serangan hama penyakit tanaman.

Ferry juga menyampaikan bahwa ada gap antara harga jual GKP pengepul dengan harga beli GKP penggilingan selama Mei-September 2024 sebesar Rp 250 per kg per bulan. Perbedaan gap antara harga jual GKP pengepul dan harga beli beli GKP penggilingan, diduga adanya pihak lain atau perantara (preman giling) yang mengambil keuntungan dengan jatah kisaran Rp 250 per kg per bulan.


Kebijakan untuk Stabilitas Harga Beras dan Ketahanan Pangan Nasional

Petani menggiling saat musim panen padi di sawah Desa Bube Baru, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo (15/3). Mulai dari menyabit padi hingga sudah menjadi bulir gabah itu semua mengunakan tenaga manusia. (Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)

Dalam penutupan, Ferry menyampaikan saran kebijakan pertama, Perum Bulog perlu memperhatikan harga gabah yang berkembang di tingkat petani. Ketika harga GKP di bawah HPP maka Bulog harus meningkatkan penyerapan gabah/beras dalam negeri, begitupun sebaliknya. 

Kedua, Badan Pangan Nasional melalui BUMN Perum Bulog menyalurkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), maupun intensifikasi program Gerakan Pangan Murah (GPM), untuk membantu masyarakat miskin mendapatkan beras medium dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau. 

Ketiga, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian RI dan Badan Pangan Nasional, perlu me-review besaran HPP untuk GKP. Hal tersebut memperhatikan harga jual GKP di tingkat petani yang berada di atas HPP (Rp 6.000/Kg). 

Keempat, Kementerian Pertanian perlu memberikan bantuan benih yang memiliki kualitas unggul, dan mampu bertahan dalam kondisi kemarau atau kekeringan, kemudian mengoptimalkan pemberian pupuk subsidi, memberikan bantuan pestisida maupun bantuan program pengendalian OPT hama, serta memberikan bantuan peralatan atau mesin pertanian 

Kelima, kondisi pengairan sawah pada beberapa daerah masih terjaga, meskipun telah memasuki musim kemarau. Namun Pemerintah harus tetap waspada menjaga kondisi pengairan kepada sawah-sawah milik petani, diantaranya dengan revitalisasi irigasi dan intensifikasi program pompanisasi sawah.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya