Preman Giling Diduga Ambil Untung Rp 250 per Kg, Harga Beras Jadi Mahal

Terjadi kenaikan harga Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp 250 per kg, yang diduga dimanfaatkan oleh 'preman giling' untuk meraih keuntungan.

oleh Elyza Binta Chabibillah diperbarui 15 Okt 2024, 09:45 WIB
Kebijakan kenaikan HPP GKP ini tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Republik Indonesia Nomor 167 Tahun 2024 tentang Fleksibilitas Harga Pembelian Gabah dan Beras Dalam Rangka Penyelenggaraan Cadangan Beras Pemerintah. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (PATAKA) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait harga Gabah Kering Panen (GKP) dalam survei terbaru yang melibatkan 870 petani dan pedagang beras. 

Selama periode Mei-September 2024, terdapat gap harga sebesar Rp 250 per kilogram (kg) antara harga jual GKP di tingkat pengepul dan harga beli GKP di tingkat penggilingan.

Ketua PATAKA Ferry Sitompul menduga, perbedaan harga ini disebabkan oleh keberadaan preman giling, yang mengambil keuntungan dari selisih harga ini.

“Ada gap antara harga jual GKB pengepul dengan harga beli GKB penggilingan selama Mei hingga September sebesar Rp 250 per kg. Perbedaan antara harga jual GKB pengepul dan harga beli GKB penggilingan diduga adanya pihak lain perantara. Di sini kita menyebutnya preman giling yang mengambil keuntungan dengan jatah kisaran Rp 250 per kg,” ungkap Ferry dikutip Selasa (15/10/2024).

Survei juga menunjukkan bahwa harga beras premium mengalami kenaikan dari Rp 14.199 per kg menjadi Rp 14.509 per kg, meskipun masih di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET).

Penyaluran beras premium sebagian besar tersedia di pasar modern, yang memudahkan pemerintah untuk memantau harga, menunjukkan adanya ketaatan pelaku usaha terhadap regulasi.

Hal ini menurut Ferry disebabkan karena ketersediaan beras premium kebanyakan ada di pasar modern atau supermarket yang lebih mudah dipantau oleh pemerintah, serta menandakan adanya ketaatan pelaku usaha terhadap regulasi.

Sementara di pedagang beras tradisional, beras jenis premium kebanyakan dipasok dari penggilingan berupa beras curah kualitas premium dan sebagian besar masyarakat lebih memilih beras dengan kualitas medium.


Harga Beras Medium dan Curah Masih di Atas HET

Penurunan terjadi setelah harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani atau di sisi hulu juga turun. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sementara itu, harga beras medium menunjukkan stabilitas relatif, tetapi tetap berada di atas HET, dengan kenaikan harga rata-rata dari Rp12.803/kg pada bulan Mei menjadi Rp13.570/kg pada bulan September 2024.

Kecenderungan harga beras medium tidak berubah dari bulan Agustus-September 2024, disebabkan oleh suplai GKP dari petani dan beras dari penggilingan masih terjaga, serta pemerintah masih menyalurkan bantuan beras dan melakukan program Gerakan Pangan Murah dari Bapanas.

Namun harga beras medium hasil Survei menunjukan relatif tidak terkendali, harga masih di atas HET. Pataka juga membandingkan harga beras medium dengan realisasi penyaluran SPHP oleh pemerintah.

Hasil survei menunjukkan bahwa ternyata Beras SPHP yang merupakan instrumen untuk mengendalikan harga beras medium di pasaran, belum berhasil untuk mengendalikan harga beras medium agar berada di bawah HET. 

Terkait beras curah, laju harga beras curah tertinggi sebesar 1,20% per bulan. Dengan kisaran harga antara Rp.12.648-13.285/kg dan rata-rata sebesar Rp.12.960/kg, kemudian laju harga beras curah terendah Survei PATAKA sebesar 3,90% per bulan. Dengan kisaran harga antara Rp.11.481-12.181/kg dan rata-rata sebesar Rp.11.831/kg.

Kecenderungan harga beras curah tidak berubah signifikan dari bulan Mei-September 2024, dan mendekati harga beras medium serta relatif masih di sekitar HET. 


Kondisi Irigasi dan Serangan OPT

(Foto:Dok.Kementerian Pertanian RI)

Selain itu Ferry juga menyampaikan terkait hasil survei di tingkat pengamat pengairan, dimana sebagian besar sawah amatan selama periode Mei-September 2024 memiliki kondisi cukup air, meski cenderung menurun tetapi masih diatas 50% dari luas area sawah amatan. 

Sebagian sawah amatan ternyata dari hasil survei masih ada yang mengalami kekeringan dan kekurangan air di periode Mei-September 2024 yaitu sekitar 8-36%. Walaupun cenderung meningkat, tapi masih di bawah 50%. 

Hal tersebut dikarenakan hujan yang belum turun secara merata, dan kondisi irigasi yang belum dilakukan revitalisasi, sehingga sawah menjadi tadah hujan.

Kemudian hasil survei di tingkat pengamat hama penyakit tanaman menunjukkan hasil bahwa sebagian besar sawah amatan mengalami peningkatan serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pada periode Mei-September 2024, penurunan produksi akibat OPT berkisar antara 14-20%. Hal ini menunjukkan bahwa serangan OPT masih bisa dikendalikan. 

Kondisi ini juga menciptakan ketidakpastian dalam pasokan beras di pasar. Ketika produksi padi menurun akibat kekeringan dan serangan hama, harga beras cenderung mengalami lonjakan.

Dengan situasi ini, petani dan pemerintah harus mencari solusi untuk meningkatkan ketersediaan air dan mengendalikan serangan OPT agar produksi padi dapat terjaga, sehingga harga beras tidak terus meroket dan bisa dijangkau oleh konsumen.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya