Liputan6.com, Jakarta - China diperkirakan menambah obligasi khusus atau utang hingga 6 triliun yuan (Rp 13 kuadriliun) selama tiga tahun ke depan untuk menopang ekonominya yang sedang lesu.
Mengutip Channel News Asia, Rabu (16/10/2024) jumlah tersebut setara dengan hampir 5 persen dari output ekonomi China.
Advertisement
Laporan media lokal China, Caixin Global, yang mengutip sumber yang mengetahui keputusan itu, muncul setelah Menteri Keuangan China Lan Foan mengatakan Beijing akan menambah secara signifikan utang, meski tidak adanya rincian tentang ukuran tindakan fiskal tersebut.
Artikel Caixin yang diterbitkan pada Senin malam, 14 Oktober 2024 itu juga mengatakan utang tersebut sebagian akan digunakan untuk membantu pemerintah daerah menyelesaikan utang-utang yang tidak tercatat.
Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya memperkirakan utang pemerintah pusat China akan mencapai 24 persen dari output ekonomi negara itu.
Namun, IMF menghitung utang publik secara keseluruhan, termasuk pemerintah daerah, sekitar USD 16 triliun, atau 116 persen dari PDB.
"Kemungkinan mencapai tingkat pertumbuhan sekitar 5 persen setidaknya pada tahun 2024 dan 2025 akan meningkat pesat," kata Bruce Pang, kepala ekonom China di Jones Lang LaSalle, tentang dampak dari angka 6 triliun yang dilaporkan.
Besarnya paket fiskal yang diharapkan telah menjadi subjek spekulasi yang intens di pasar keuangan.
"Ini sesuai dengan harapan kami," kata Xing Zhaopeng, ahli strategi senior China di ANZ.
"Untuk tahun depan, kami masih berpikir target pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen kemungkinan akan dipertahankan. Jadi, untuk tingkat pertumbuhan 5 persen, itu seharusnya sudah cukup," ungkapnya.
Ekonomi China Diramal Tak Bakal Cerah Tahun Depan
Bank Dunia memperkirakan ekonomi China akan terus menurun hingga 2025 mendatang, meski ada dorongan sementara dari langkah-langkah stimulus baru-baru ini.
Melansir CNBC International, Kamis (10/10/2024) Bank Dunia memperkirakan bahwa tingkat pertumbuhan China akan turun menjadi 4,3% tahun depan, turun dari 4,8% yang diproyeksikan untuk 2024.
Proyeksi tahun 2024 naik 0,3% dari perkiraan Bank Dunia pada April dan muncul setelah China meluncurkan serangkaian langkah-langkah stimulus baru-baru ini, meningkatkan kepercayaan investor dan mendorong reli pasar saham, yang sejak itu gagal.
Namun, terlepas dari langkah-langkah tersebut, yang sebagian besar difokuskan pada kebijakan moneter, proyeksi pertumbuhan Bank Dunia tahun 2025 tidak berubah dari proyeksi sebelumnya.
Kepala ekonom Asia Timur dan Pasifik Bank Dunia, Aaditya Mattoo mengatakan dimensi fiskal dari langkah-langkah stimulus ekonomi China masih belum terdefinisi, sehingga memperumit proyeksi.
"Pertanyaannya adalah apakah (stimulus) benar-benar dapat mengimbangi kekhawatiran konsumen tentang penurunan gaji, kekhawatiran tentang penurunan pendapatan properti, dan ketakutan jatuh sakit, menjadi tua, menjadi pengangguran," kata Mattoo.
Pemberi pinjaman internasional tersebut mengaitkan lemahnya belanja konsumen China dengan banyaknya kekhawatiran, di samping tantangan seperti pelemahan pasar properti yang terus-menerus, populasi yang menua, dan meningkatnya ketegangan global.
Bank Dunia sebelumnya telah menganjurkan China untuk meningkatkan pertumbuhannya melalui tindakan kebijakan yang berani seperti melepaskan persaingan, meningkatkan infrastruktur, dan mereformasi pendidikan.
Namun menurut Mattoo, stimulus tersebut bukanlah pengganti reformasi struktural yang lebih mendalam yang akan dibutuhkan China untuk meningkatkan pertumbuhan jangka panjang.
Namun, setiap dorongan dari langkah-langkah stimulus akan disambut baik oleh seluruh kawasan, yang masih sangat bergantung pada China untuk pertumbuhan, tambahnya.
Advertisement
Aliran Dana Masuk ke Bursa Saham China Sentuh Rp 606,99 Triliun
Sebelumnya, Barclays menyebutkan, pasar saham berkembang mencatat rekor arus dana masuk hingga Rabu pekan ini. Aliran dana masuk ke bursa saham China catat rekor.
Mengutip Channel News Asia, Sabtu (12/10/2024), berdasarkan data Barclays, aliran dana yang masuk ke bursa saham China mencapai USD 39 miliar atau sekitar Rp 606,99 triliun. Dana yang masuk itu terdiri dari investor domestik mencapai USD 30 miliar atau sekitar Rp 466,91 triliun.
Sedangkan dari investor asing mencapai USD 9 miliar atau sekitar Rp 140,07 triliun. Aliran dana yang masuk dari domestik dan asing itu mencatat rekor.
Adapun transaksi itu sebagian besar dari arus sebesar USD 41 miliar atau sekitar Rp 638,12 triliun ke pasar saham berkembang.
Di sisi lain, investor menjauhi Jepang dengan arus keluar sebesar USD 9 miliar. Barclays menyebutkan aliran dana yang keluar itu termasuk terbesar secara mingguan dalam 20 tahun.