Pemberdayaan Pelayanan Kanker di Indonesia: Langkah Menuju Kemandirian Kesehatan

Tantangan besar dalam pelayanan kanker di Indonesia tidak hanya terletak pada pengobatan, tetapi juga waktu tunggu yang lama, terutama dalam hal diagnosis.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 19 Okt 2024, 22:25 WIB
Ilustrasi Penderita Kanker Credit: unsplash.com/NCI

Liputan6.com, Jakarta - Kanker merupakan salah satu penyakit paling mematikan di Indonesia, dengan biaya pengobatan yang sangat besar bagi setiap pasiennya. Selama ini, banyak pasien yang memilih berobat ke luar negeri, seperti Malaysia atau Singapura, karena mereka merasa fasilitas di negara tersebut lebih unggul. Fenomena ini menjadi perhatian besar pemerintah, mengingat jumlah dana yang dikeluarkan pasien Indonesia untuk berobat di luar negeri mencapai sekitar Rp170-180 triliun setiap tahunnya.

Dokter spesialis penyakit dalam dan onkologi Ronald A Hukom dari Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (PERHOMPEDIN), menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan telah berulang kali menyuarakan keprihatinan mengenai banyaknya pasien kanker yang berobat ke luar negeri.

“Presiden dan Menteri Kesehatan sering mengeluh tentang banyaknya orang Indonesia yang pergi ke luar negeri untuk berobat, terutama terkait penyakit jantung dan kanker. Jika dilihat dari biaya per pasien, pengobatan kanker merupakan yang paling besar," ujar Ronald pekan lalu di Jakarta. 

Setiap tahunnya, Indonesia kehilangan sekitar 170-180 triliun rupiah akibat pasien yang mencari pengobatan di luar negeri. Menurut Ronald, pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi tantangan ini. Beberapa bulan terakhir, tim ahli kanker dari berbagai pusat medis besar diundang untuk berbicara di Kementerian Kesehatan dan BUMN, termasuk MD Anderson Cancer Center dari Amerika Serikat.

Pendekatan Multidisiplin

Mereka menekankan pentingnya pendekatan multidisiplin dalam menangani penyakit kanker, sesuatu yang menurut Ronald masih kurang diterapkan di Indonesia.

"Kerja multidisiplin dalam menangani kanker sudah dilakukan sejak tahun 90-an di negara maju, namun kita di Indonesia masih tertinggal jauh," tegasnya.

 


Perawatan Kanker Harus Fokus pada Kebutuhan Pasien

Konferensi pers PERHOMPEDIN di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (12/10).

Ronald juga menyinggung kunjungan tim dari Mayo Clinic yang digelar pada akhir September di Jakarta. Mereka menekankan bahwa perawatan kanker harus fokus pada kebutuhan pasien, bukan semata-mata tentang persaingan antar dokter atau rumah sakit.

"Pasien datang dengan stadium lanjut, dan meskipun harapan sembuh lebih rendah dibanding mereka yang datang pada stadium awal, tetap ada harapan," jelasnya.

Sebagai contoh, untuk beberapa jenis kanker pada stadium 3, tingkat bertahan hidup masih bisa mencapai 70-80% selama lima hingga sepuluh tahun.

Namun, tantangan besar dalam pelayanan kanker di Indonesia tidak hanya terletak pada pengobatan, tetapi juga waktu tunggu yang lama, terutama dalam hal diagnosis.

"Ada pasien yang harus menunggu hasil biopsi hingga 3-4 minggu di Indonesia, padahal di Malaysia hasil tersebut bisa didapatkan dalam kurang dari satu minggu," ujar Ronald, menunjukkan salah satu kekurangan yang sering dikeluhkan oleh pasien.

 


Tingkatkan Fasilitas Onkologi Melalui Pengembangan Medical Tourism

Lebih lanjut, pemerintah terus berupaya meningkatkan fasilitas onkologi, salah satunya melalui pengembangan medical tourism. Beberapa kawasan ekonomi khusus, seperti Bali dan Batam, telah didirikan dengan tujuan menarik pasien kanker untuk berobat di Indonesia.

Menurut Ronald, langkah ini bisa membantu menahan arus pasien yang biasanya berobat ke luar negeri.

"Pemerintah sudah meresmikan kawasan ekonomi khusus untuk pelayanan kesehatan, namun tantangan yang tersisa adalah memastikan fasilitas dan pelayanan di dalam negeri cukup kompetitif agar pasien merasa percaya diri untuk tetap berobat di Indonesia," katanya.

Ronald juga menegaskan bahwa dokter-dokter di Indonesia sebenarnya tidak kalah kompeten dibandingkan dengan dokter di luar negeri. Namuan, yang menjadi tantangan, jumlah dokter yang tidak seimbang dengan jumlah pasien yang ditangani. 

“Kemampuan dokter kita sebenarnya tidak kalah. Yang menjadi masalah adalah waktu dan jumlah pasien yang harus ditangani. Di Indonesia, seorang dokter bisa menangani hingga 30-40 pasien per hari, sementara di Singapura atau Malaysia, dokter hanya menangani 10 pasien atau bahkan kurang,” jelasnya.

Meski demikian, diharapkan pelayanan kanker di Indonesia dapat ditingkatkan dengan langkah-langkah strategis dari pemerintah sehingga lebih banyak pasien yang memilih untuk menjalani pengobatan di dalam negeri. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia, tetapi juga mengurangi pengeluaran devisa negara yang selama ini dibawa keluar oleh pasien-pasien yang mencari pengobatan di luar negeri.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya