Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) melihat tantangan biaya dalam bisnis penerbangan, mulai dari avtur hingga nilai tukar rupiah. Para pengusaha menunggu kepastian peta jalan perekonomian pemerintahan baru nanti, termasuk sektor transportasi.
Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja mengungkap sejumlah hal yang jadi tantangannya. Pertama, terkait dengan harga avtur yang dijual di dalam negeri. Ini berkaitan dengan biaya produksi dari maskapai.
Advertisement
"Yang pertama adalah bagaimana seperti yang disampaikan oleh Kemenko Marves beberapa waktu lalu tentang memberikan alternatif penyelenggara Avtur agar penyehatan dari penyelenggaraan Avtur ini bisa menjadi manfaat bagi industri penerbangan," ujar Denon usai Rapat Umum Anggota INACA, di PIK, Jakarta, Kamis (17/10/2024).
Kedua, ada tantangan dari nilai tukar mata uang rupiah dan mata uang asing. Ini berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan, termasuk biaya spare part pesawat yang masih harus impor.
"Dalam kaitan mendukung pemerintahan yang baru tentu nanti kita lihat bagaimana pemerintahan baru menyusun roadmap perekonomian Indonesia," kata dia.
"Karena tentu industri penerbangan sebagai fungsi transportasi udara, baik untuk manusia dan barang ini merupakan sektor yang mendukung sektor industri lainnya," ia menambahkan.
Bantu Kejar Target
Dia mengatakan, INACA sudah menyusun sejumlah poin dalam rencana kerja ke depan. Salah satunya, akan turut berkontribusi mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
"Kalau dalam rencana kerja kita tadi yang saya sebutkan kita berharap kita bisa berkolaborasi dengan 8 kementerian terkait tentu utamanya adalah kementerian teknis kita, Kementerian Perhubungan," tuturnya.
Dia menuturkan, perlu ada penetapan status bandara yang menjadi hub dan perintis, serta menata pintu masuk penerbangan internasional. Termasuk membahas bagaimana akses ke pelosok-pelosok negeri.
"Dengan tujuan untuk penyamarataan biaya logistik kemudian harga tiket yang lebih terjangkau," ucapnya.
Terungkap! Komponen yang Harga Tiket Pesawat Mahal, Bukan Cuma Soal Avtur
Sebelumnya, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro meminta pemerintah dan pemangku kepentingan menelusuri penyebab tiket pesawat mahal secara komprehensif. Menurut dia, harga tiket pesawat tak semata-mata dipengaruhi oleh harga avtur.
Dia menyodorkan data harga avtur hanya berkisar 20-40 persen dari total komponen penentu harga tiket pesawat. Pada saat yang sama, pasar avtur juga dinilai tidak diatur oleh satu perusahaan saja atau monopoli.
"Mencermati permasalahan, data, dan fakta yang ada tersebut para stakeholder pengambil kebijakan sebaiknya sinergi dan duduk bersama untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada," kata Komaidi dalam keterangannya, Senin (7/10/2024).
Dia bilang, penyebab tingginya harga tiket pesawat untuk penerbangan domestik akibat biaya avtur atau justru akibat 15 komponen biaya yang lainnya. Itu mencakup biaya jasa kebandarudaraan, biaya jasa navigasi penerbangan, biaya jasa ground handling penerbangan, dan tarif pajak.
Komponen biaya tersebut dinilai masih diberlakukan sama untuk penerbangan jarak jauh maupun jarak dekat. Selain itu, kata Komaidi, perlu diidentifikasi dengan pasti penyebab lesunya industri pariwisata di dalam negeri.
Apakah semata-mata akibat harga tiket pesawat yang tinggi atau justru karena masih terbatasnya infrastruktur di daerah wisata.
"Serta adanya sejumlah pungutan tidak resmi di lokasi wisata yang menyebabkan industri pariwisata di dalam negeri secara relatif menjadi lebih mahal," ucapnya.
Advertisement
Tak Saling Menyalahkan
Dia meminta para pemangku kepentingan tidak saling menyalahkan dalam menghadapi mahalnya harga tiket pesawat ini. Menurutnya, kajian secara komprehensif perlu diambil mencari jalan tengah.
"Semoga para stakeholder pengambil kebijakan lebih bijaksana, tidak saling menyalahkan di publik tetapi lebih mengutamakan duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan yang ada," ujar dia.
"Dalam implementasi kebijakan publik, semua tahapan mulai dari perencanaan kebijakan, implementasi, dan evaluasi kebijakan perlu dilakukan dengan cermat untuk menghindari suatu kondisi di mana sedang sakit perut tetapi yang diberikan obat adalah kepalanya," pungkas Komaidi Notonegoro.
Pasar Avtur Indonesia Tidak Dimonopoli, Begini Datanya
Sebelumnya, penyaluran avtur terhadap maskapai disebut-sebut dimonopoli oleh PT Pertamina Patra Niaga. Padahal, ada banyak perusahaan yang juga tercatat sebagai produsen avtur.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menerangkan, pasar monopoli didefinisikan sebagai kondisi pasar di mana hanya terdapat penjual tunggal yang menguasai pasar. Pada pasar monopoli tidak terdapat barang lain yang sejenis dan tidak terdapat pesaing bagi sebuah perusahaan.
Mengutip teori itu, kata dia, monopolis akan bertindak sebagai penentu harga atau price-maker dan memiliki fleksibilitas untuk menaikkan atau menurunkan harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi.
"Jika mengacu pada ketentuan regulasi dan fakta di lapangan, pasar avtur di dalam negeri dapat dikatakan tidak mengarah pada kondisi monopoli. Kondisi pasar avtur Indonesia tidak sesaui dengan definisi monopoli pada teori ekonomi tersebut," kata Komaidi dalam keterangannya, Senin (7/10/2024).
Dia juga menyampaikan ada regulasi yang mengatur, yakni, Pasal 2 Peraturan BPH Migas No.13/P/BPH MIGAS/IV/2008. Ketentuan itu berbunyi 'Kegiatan usaha Penyediaan dan Pendistribusian BBM Penerbangan terbuka di setiap Bandar Udara bagi seluruh Bandan Usaha yang memenuhi persyaratan dengan tetap memperhatikan prinsip persaingan sehat, wajar dan transparan'.
Berdasarkan data, saat ini telah terdapat empat pelaku usaha yang memiliki izin niaga avtur di Indonesia yaitu: (1) PT Pertamina Patra Niaga; (2) PT AKR Corporindo; (3) PT Dirgantara Petroindo Raya; dan (4) PT Fajar Petro Indo.
"Jika mengacu pada ketentuan regulasi dan fakta bahwa telah terdapat sejumlah pelaku usaha dalam pasar avtur di Indoensia, tidak tepat jika pasar avtur di dalam negeri disebut sebagai monopoli," tegasnya.
Advertisement