Pemerintah Prabowo Diminta Batalkan Rencana Kemasan Rokok Polos

Pemerintahan baru Prabowo-Gibran diminta untuk membatalkan rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024).

oleh Septian Deny diperbarui 17 Okt 2024, 22:15 WIB
Sejak 2012, pemerintah Australia mewajibkan bungkus polos pada rokok di negeri itu. (Sumber Toronto Sun)

Liputan6.com, Jakarta Pakta Konsumen meminta agar pemerintahan baru Prabowo-Gibran membatalkan rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024).

Kebijakan tersebut dinilai melanggar hak konsumen produk tembakau, khususnya dalam kebebasan memilih produk sesuai preferensi masing-masing.

Ketua Umum Pakta Konsumen, Ary Fatanen, mengatakan aturan kemasan rokok polos tanpa merek menekan hak konsumen dalam menerima informasi yang tepat terkait produk yang dikonsumsinya. Padahal, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Pasal 4 Ayat C), konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Dengan demikian, UU tersebut mewajibkan produsen untuk memberikan informasi yang akurat mengenai produk yang dipasarkan. Kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal yang semakin marak di masyarakat akibat lebih mudahnya suatu kemasan rokok untuk ditiru dan dipalsukan.

“Karena kami kelompok rantai hilir, yaitu konsumen, jelas ini akan mempengaruhi pola perilaku konsumen menjadi ke arah yang tidak semestinya. Aturan kemasan rokok polos tanpa merek ini membingungkan konsumen dan justru akan menggeser pola konsumsi ke rokok ilegal dan akhirnya menjadi bumberang bagi pemerintah,” ungkapnya kepada wartawan.

Selain itu, Ary menilai rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang menggunakan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai dasar acuannya berupaya untuk mematikan industri tembakau nasional.

Padahal, Indonesia memiliki kompleksitas kondisi sosial dan ekonomi yang menyeluruh, mulai dari hulu sampai hilir. Maka, pemerintah harus menjaga kedaulatan negara agar tidak terpengaruh oleh intervensi lembaga anti tembakau asing yang mendorong Indonesia untuk meratifikasi FCTC dan menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek.

 


Industri Tembakau

Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Ia juga berpendapat bahwa kebijakan ini akan menjadi PR berat bagi pemerintah selanjutnya di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran. Berdasarkan kajian Pakta Konsumen, kebijakan restriktif bagi industri tembakau bukan merupakan solusi terbaik dalam mengendalikan jumlah konsumsi perokok di Indonesia, misalnya kenaikan cukai rokok yang tinggi bukannya menurunkan jumlah perokok, tetapi malah membuat perokok beralih ke rokok yang lebih murah atau ilegal.

Oleh karena itu, jika aturan kemasan rokok polos tanpa merek diberlakukan, maka aturan ini berpotensi merugikan seluruh ekosistem tembakau serta menjadi beban tambahan bagi pemerintahan baru.

 


Khawatir Timbulkan Masalah Baru

(Foto:Dok.Bea Cukai)

Dengan demikian, Ary menyarakan agar rencana kemasan rokok polos tanpa merek untuk segera dibatalkan. Ia juga menekankan bahwa aturan ini bukanlah solusi, namun justru dapat menimbulkan masalah baru di masyarakat.

“Rancangan Permenkes harus dibatalkan dan dicabut. Aturan kemasan rokok polos tanpa merek akan merugikan konsumen, merugikan negara dengan menyuburkan peredaran rokok ilegal. Ini harapan besar kami untuk pemerintahan baru yaitu tolong batalkan aturan ini,” tutupnya.

Infografis Rokok Kalahkan Telur dan Ayam, Tertinggi Kedua Setelah Beras (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya