Indonesia Jadi Negara dengan Tingkat Kelaparan Tertinggi ke-3 di Asia Tenggara

Kendati masih harus ditingkatkan, skor GHI Indonesia menunjukkan perbaikan cukup positif.

oleh Asnida Riani diperbarui 18 Okt 2024, 10:00 WIB
Ilustrasi tingkat kelaparan di Asia Tenggara/Copyright unsplash.com/Thought Catalog

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia jadi negara dengan tingkat kelaparan tertinggi ketiga di Asia Tenggara, menurut laporan terbaru Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Merujuk Indeks Kelaparan Global (GHI), Indonesia mencatat skor 16,9, dengan "tingkat kelaparan sedang."

Melansir situs web GHI, Jumat (18/10/2024), secara global, Indonesia berada di peringkat ke-77 dari 127 negara. Di tingkat kawasan, Indonesia berada di bawah Laos yang menempati posisi kedua dengan skor 19,8. Peringkat satu ditempati Timor Leste  dengan skor 27. GHI disebut mempertimbangkan empat faktor dalam menentukan skor, yakni:

1. Prevalensi Kekurangan Energi Kalori

Ini merupakan presentasi populasi yang tidak mendapat cukup kalori untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

2. Stunting pada Anak

Jumlah anak di bawah usia lima tahun yang mengalami stunting alias pertumbuhan terhambat akibat kekurangan gizi.

3. Wasting pada Anak

Ini berarti mereka memperhitung jumlah anak di bawah usia lima tahun yang mengalami wasting atau berat badan yang terlalu rendah untuk tinggi badan mereka, yang menunjukkan malnutrisi akut.

4. Kematian Anak

Angka kematian anak di bawah usia lima tahun disebut mencerminkan kondisi kesehatan umum dan akses terhadap layanan kesehatan.

Kendati masih harus ditingkatkan, skor GHI Indonesia menunjukkan perbaikan cukup positif. Laporan itu mencatat bahwa tahun 2000, skor GHI Indonesia ada di angka 25,7, kemudian naik 28,2 pada 2008 untuk selanjutnya turun jadi 18,3 pada 2016, membuat grafiknya jadi berwana hijau dari semula kuning.


Tingkat Kelaparan di Asia Tenggara

Ilustrasi tingkat kelaparan. (dok. pexels.com/Rachel Claire)

Secara lebih detail, berikut skor GHI negara-negara Asia Tenggara pada 2024:

  1. Timor Leste (27)
  2. Laos (19,8)
  3. Indonesia (16,9)
  4. Myanmar (15,7)
  5. Kamboja (14,7)
  6. Filipina (14,4)
  7. Malaysia (12,7)
  8. Vietnam (11,3)
  9. Thailand (10)

Sementara itu, Singapura tidak ada dalam daftar. Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI telah mengingatkan bahwa ketahanan pangan di Indonesia masih dibayangi beberapa tantangan. Salah satunya dari sisi eksternal, yaitu gejolak dan ketidakpastian global, dampak konflik Rusia-Ukraina dan di Timur Tengah terhadap rantai pasok.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Restuardy Daud, dalam kegiatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) Wilayah Jawa pada Kamis, 14 Agustus 2024, lapor kanal Bisnis Liputan6.com.

"Ada gangguan rantai pasok secara global akibat polarisasi dari berbagai sentral produksi pangan di dunia. Hal ini tentunya perlu dukungan kita bersama, antisipasi, sekaligus juga bagaimana kita memperkuat produksi pangan untuk menjamin kecukupan pangan bagi masyarakat," ujar Daud.

Selain itu, Daud mengingatkan bahwa 7--16 persen penduduk Indonesia masih rentan terhadap masalah kelaparan, meski sudah ada penurunan. "Kita juga mencatat adanya sedikit penurunan pada produktivitas padi kita," bebernya.

 


Menjaga Ketahanan Pangan

Petani mengangkut hasil panen padi di wilayah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat Selasa (7/5/2024). (merdeka.com/Imam Buhori)

Daud juga menyoroti beberapa negara yang sudah menutup keran ekspor beras mereka untuk menjaga ketersediaan pangan di dalam negeri. "Saat kita mencari sumber-sumber lain, beberapa negara yang selama ini jadi pengekspor: India, Kamboja, dan Thailand sudah menutup untuk memberikan pangan mereka," sebut dia.

"Ini jadi tantangan kita untuk menjamin kehidupan pangan setidak sampai beberapa waktu ke depan," ia menyambung.

Di keterangan terpisah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengatakan bahwa dunia bakal menghadapi neraka iklim, di mana suhu akan mencapai rekor tertinggi pada lima tahun ke depan. Jokowi mencontohkan sejumlah negara yang mengalami gelombang panas ekstrem, seperti India yang mencapai 50 derajat Celcius.

Ia menyebut, panas ekstrem tersebut akan berdampak terhadap ketersediaan pangan dunia. Jokowi menyampaikan, FAO telah mewanti-wanti kondisi tersebut dapat membuat masyarakat dunia mengalami kelaparan berat.

Menanggapi hal ini, Pakar Ekonomi Ferry Latuhihin mengingatkan pentingnya ketahanan pangan dalam menghadapi perubahan iklim agar tidak terjadi masalah suplai yang dapat mengganggu kestabilan harga. Ia pun mengharapkan pemangku kepentingan terkait seperti Perum Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) bisa mengatasi persoalan tersebut dengan menyiagakan stok pangan dan menyiapkan jalur distribusi hingga ke konsumen.

 

 


Bukan Kasus Baru

Petani menggiling saat musim panen padi di sawah Desa Bube Baru, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo (15/3). Mulai dari menyabit padi hingga sudah menjadi bulir gabah itu semua mengunakan tenaga manusia. (Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)

"Ini bukan kasus baru. Dari tahun ke tahun, kasus stok pangan selalu muncul karena keterbatasan supply," kata Ferry dikutip kanal Bisnis Liputan6.com dari Antara, Senin, 29 Juli 2024. Ia mengatakan, upaya meminimalisir risiko sangat penting agar tidak terjadi gangguan distribusi pangan dan harga kebutuhan pokok tidak mengalami kenaikan yang dapat memberatkan masyarakat.

"Lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dengan baik, dalam arti meminimalisir risiko short-supply agar tidak terjadi kepanikan pasar," ujarnya.

Selain itu, menurut dia, kestabilan harga pangan sangat penting untuk menjaga laju inflasi tetap landai, apalagi tingkat inflasi nasional masih terpengaruh dari pergerakan harga kelompok bahan makanan. "Kalau inflasi naik, dampaknya tentu negatif ke pertumbuhan ekonomi," kata Ferry.

Sebelumnya, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi memastikan pihaknya akan terus melakukan berbagai upaya untuk mengamankan dan menguatkan komoditas, termasuk dalam Cadangan Pangan Pemerintah (CPP). Sebelas komoditas CPP, yakni beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia (sapi atau kerbau yang berasal dari ternak), gula, minyak goreng, dan ikan.

Infografis Bahan Pangan Lokal Alternatif yang Belum Populer  (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya