18 Oktober 1992: Gunung Papandayan Jadi Saksi Bisu Petaka Pesawat Merpati Nusantara Airlines MZ5601 yang Menewaskan 31 Orang

Petaka dialami penerbangan domestik Merpati Nusantara Airlines Flight 5601 yang berjadwal Minggu 18 Oktober 1992 siang. Trangadi, nama pesawat itu, tak pernah mencapai Bandung, mengakhiri perjalanannya secara tragis di Gunung Puntang, gugusan Gunung Papandayan.

oleh Tanti YulianingsihFachrur Rozie diperbarui 18 Okt 2024, 06:00 WIB
Ilustrasi kecelakaan pesawat terbang Merpati Nusantara Airlines MZ5601. (Pixabay/qimono)

Liputan6.com, Jakarta - Sejarah dunia mencatat hari ini 32 tahun yang lalu terjadi kecelakaan pesawat fatal di Indonesia.

Kala itu, Gunung Puntang di gugusan Gunung Papandayan jadi saksi bisu petaka yang dialami penerbangan domestik Merpati Nusantara Airlines Flight 5601 yang berjadwal Minggu 18 Oktober 1992 siang.

Situs asn.flightsafety.org menyebut penerbangan nahas tersebut berangkat dari Bandar Udara Internasional Achmad Yani ke Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara. Pesawat CASA/IPTN CN-235-10 yang berumur dua tahun pada rute tersebut jatuh di sisi barat Gunung Papandayan, Jawa Barat, Indonesia pada pukul 13:30 UTC dalam cuaca buruk.

Pesawat penerbangan Merpati Nusantara Airlines MZ5601 dengan rute Semarang ke Bandung itu menghantam Gunung Papandayan, Indonesia, menewaskan seluruh 31 penumpangnya -- 27 penumpang dan empat awak pesawat.

Pesawat penumpang buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) itu hancur ketika terbang ke sisi Gunung Papandayan, sebuah gunung berapi yang masih aktif.

Saat pesawat dengan registrasi penerbangan PK-MNN tersebut berangkat, cuaca di dekat Bandung buruk dengan awan kumulonimbus di sekitarnya. Penerbangan dilaporkan turun dari FL125 ke FL080 menuju Bandung dan pilot bersiap untuk pendekatan visual.

Pilot dilaporkan berusaha untuk menghindari awan kumulonimbus dan berbelok ke kiri, ke selatan, menuju Garut. Awan tertutup saat pesawat menghantam sisi gunung pada ketinggian 6120 kaki.

Penerbangan nahas Merpati Nusantara Airlines MZ5601 kemudian tercatat sebagai bencana penerbangan sipil terburuk yang pernah melibatkan CASA/IPTN CN-235 saat itu.

Selain itu juga menjadi kecelakaan terburuk ke-22 pada tahun 1992 dan kecelakaan pesawat terburuk ke-2 dari jenis pesawat CASA/IPTN CN-235.


Begini Kronologi Kecelakaan Pesawat Merpati Nusantara Airlines MZ5601

Ilustrasi pesawat terbang. (Unsplash/@jramos10)

Sejumlah sumber menyebut bahwa saat pesawat Merpati Nusantara Airlines MZ5601 berangkat Minggu 18 Oktober 1992 siang, cuaca di Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, sangat cerah. Maka, tak heran kalau pesawat CN-235 Merpati Nusantara Airlines beregistrasi PK-MNN dengan nomor penerbangan MZ5601 jurusan Semarang-Bandung berangkat sesuai jadwal -- dari Semarang pukul 13.05 WIB dan dijadwalkan tiba di Bandung pukul 14.00 WIB. 

Nyaris tak ada kendala berarti dari pesawat yang membawa 27 penumpang dan 3 awak itu setelah mantap mengudara. Sampai kemudian kapten pilot Fierda Panggabean dan kopilot Adnan S Paago menjalin kontak sewaktu pesawat berada di sekitar Cirebon, Jawa Barat.

Sapaan lewat gelombang radio dari balik kokpit pesawat ke menara di Bandar Udara Husein Sastranegara, Bandung, terjadi pukul 13.35 WIB. Dalam kontak radio itu, Pilot Fierda Basaria Panggabean, 29 tahun, mengabarkan pesawatnya berada di atas Cirebon pada ketinggian 12.500 kaki (4.144 meter). Trangadi, nama pesawat Merpati itu, diperkirakan siap mendarat di Bandung 21 menit kemudian.

Cuaca Bandung sendiri ketika itu kurang bersahabat. Sumardi, petugas di APP (Aprroach Control Office) Husein Sastranegara mengabarkan kepada Pilot Fierda, hujan turun disertai guntur. Awan bergelantungan kendati tak terlalu tebal, pandangan visual menjangkau jarak 4-5 km.

"Maintain one two five," Sumardi berpesan agar Fierda mempertahankan ketinggian pesawatnya di 12.500 kaki.

Bagi pilot dengan pengalaman 6.000 jam terbang seperti Fierda, cuaca Bandung saat itu boleh jadi tak terlalu mencemaskan. Maka dengan sepengetahuan APP di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Fierda menurunkan Trangadi sampai 8.500 kaki (2.833 meter).

Dia mengabarkan manuver itu ke Bandung pukul 13.40, dan memutuskan melakukan pendaratan dengan visual approach, mengandalkan pandangan mata. Sumardi mempersilahkan pilot Fierda membuka kontak kembali setelah Trangadi melihat ujung landasan Bandara Husein.

"Fierda ketika itu menghubungi menara Husein untuk minta izin turun dari 12.500 kaki ke ketinggian 8.500 kaki," ujar Humas Merpati Ilyas Jufrie.

Namun, tak pernah ada lagi kontak setelah itu. Pesawat CN-235 Merpati Nusantara Airlines tersebut hilang kontak. Petugas di APP Husein Sastranegara tak ada yang tahu kejadian selanjutnya dari pesawat itu.

Pada saat yang sama, penduduk Kampung Cigunung, Desa Cipaganti, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut lebih memilih tinggal di rumahnya masing-masing, hanya sedikit orang yang lalu lalang saat itu. Maklum, cuaca saat itu sedang hujan disertai kabut pekat.

Sekitar pukul 14.00 WIB terdengar suara ledakan keras, penduduk sekitar saat itu tidak banyak menduga asal muasal suara ledakan tersebut. Baru keesokan harinya atau 20 jam setelah pesawat kehilangan kontak, warga mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Trangadi tak pernah mencapai Bandung. Pesawat CN 235 nahas itu mengakhiri perjalanannya secara tragis di Gunung Puntang pada ketinggian 2.040 meter, sekitar 60 km arah tenggara Bandung.

Pesawat Merpati itu tepatnya ditemukan di blok Barukaso Pasir Uji, Desa Cipaganti, Kecamatan Cisurupan, Garut, sekitar 80 km dari Kota Bandung di wilayah gugusan Gunung Papandayan.

 

 


Badan Pesawat Hancur

Ilustrasi pesawat. (Image by wirestock on Freepik)

Badan pesawat hancur berkeping-keping, hangus terbakar. Sebanyak 31 penumpang termasuk awak pesawat tewas. Badan pesawat terlihat menancap di gunung. Kedua sayap pesawat nampak terlipat, sementara hanya bagian ekor yang terlihat masih utuh.

Jenazah Fierda ditemukan tim SAR dengan tubuh hangus, kedua tangannya masih memegang tangkai kemudi pesawat. Meka Fitriyani, 9 tahun, tewas dalam dekapan ibunya. Seorang penumpang terlempar 20 meter dari pesawat akibat benturan keras. Dia hanya beruntung lolos dari api, tapi tak luput dari maut.

Di sekitar lokasi jatuhnya pesawat, pepohonan menghitam bekas terkena hembusan api dari pesawat. Sampai petugas tiba di lokasi pada Senin siang, asap bekas terbakarnya pesawat masih mengepul di udara.

Tempat jatuhnya pesawat, cukup sulit dijangkau karena terletak di antara dua lereng bukit yang sangat terjal. Petugas yang hendak mengevakuasi korban, harus berjalan kaki selama tiga jam dengan mendaki gunung yang cukup terjal.

Keadaan tubuh sejumlah korban nampak sudah hangus terbakar, sedangkan korban lainnya terlihat tidak utuh. Namun berkat kerja keras Tim SAR, seluruh jenazah korban bisa dievakuasi.


Analisa Penyebab Kecelakaan

Ilustrasi Kecelakaan Pesawat

Saat mengevakuasi korban, blackbox pesawat juga bisa ditemukan. Penyebab kecelakaan berdasarkan analisis blackbox, diketahui pesawat CN-235 itu jatuh akibat cuaca buruk dan sedikit kesalahan manusia.

"Faktor kesalahan manusia itu ialah karena pilot tidak segera mengembalikan posisi pesawatnya pada jalur penerbangan semula, setelah ia membelokkan pesawatnya ke jalur yang lain," kata Dirjen Perhubungan Udara Zainuddin Sikado.

Kesimpulan itu merupakan hasil analisa terhadap kotak hitam pesawat yang diteliti di National Transport Safety Board (NTSB) dan Federal Aviation Administration (FAA), dua badan resmi yang berkedudukan di Amerika Serikat.

Penelitian itu dilakukan terhadap data Cockpit Voice Recorder (CVR) dan Flight Data Recorder (FDR), yang berisi pembicaraan antara pilot dan menara serta antara pilot dan kopilot.

Menurut dia, ketika berangkat dari Semarang, cuaca dan kondisi pesawat yang dipiloti oleh Fierda dinyatakan baik dan tidak terdapat gangguan teknis dan akan terbang pada jalur yang ditentukan.

Namun, ketika berada di atas Cirebon pada jalur 261 derajat, pilot meminta turun dari ketinggian 12.500 kaki ke 8.500 kaki. Pilot juga membelokkan pesawatnya ke arah selatan untuk pindah ke jalur 240 derajat.

Pilot Fierda juga memutuskan untuk terbang secara visual tanpa pengendalian alat navigasi dan hanya mengandalkan pandangan mata. Berubahnya jalur pesawat itu dimaksudkan untuk menghindari badai awan gelap yang tebal di jalur 261.

"Ternyata, ketika pesawat menuju selatan, keadaan cuaca juga lebih buruk, kecepatan angin diperkirakan mencapai 25 - 40 knot per jam, sehingga kecepatan pesawat dengan kode penerbangan MZ5601 itu makin bertambah, kata Zainuddin.

Zainuddin mengatakan, seharusnya setelah pesawat berbelok segera kembali ke jalur semula (261). Namun hal itu tidak dilakukan pilot padahal waktunya cukup lama sebelum pembicaraan dengan menara Bandung terhenti pada pukul 13.42 WIB.

"Mungkin saja pilot masih berusaha mencari-cari celah pada cuaca yang buruk itu," kata Zainuddin.

Setelah tragedi jatuhnya CN-235 tersebut, Maskapai Merpati mendirikan tugu peringatan jatuhnya CN-235. Di tugu itu tertulis 31 korban tragedi jatuhnya Pesawat Merpati. Kemudian jalan menuju Desa Cipaganti pun diabadikan dengan nama Jalan Merpati sebagai bentuk kenangan.

Kecelakaan pesawat ini kemudian masuk dalam daftar tragedi terburuk sepanjang sejarah kecelakaan pesawat di Indonesia.

INFOGRAFIS: Deretan Kecelakaan Pesawat di Indonesia dalam 5 Tahun Terakhir (Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya