Menunda-nunda Bayar Utang padahal Sudah Mampu, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Orang yang memiliki tanggungan utang, wajib untuk segera membayarnya ketika sudah mampu, sebab utang akan terus menjadi tanggungan yang harus dilunasi sampai kapanpun.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 18 Okt 2024, 12:00 WIB
Menunda-nunda Bayar Utang padahal Sudah Mampu, Bagaimana Hukumnya dalam Islam? Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Liputan6.com, Jakarta Islam memandang tindakan menunda-nunda bayar utang sebagai hal yang tidak baik.

Orang yang memiliki tanggungan utang, wajib untuk segera membayarnya ketika sudah mampu, sebab utang akan terus menjadi tanggungan yang harus dilunasi sampai kapanpun.

“Oleh sebab itu, menunda pembayaran utang tanpa adanya alasan yang jelas dan tanpa izin dari pemilik utang dianggap sebagai perbuatan yang tak terpuji,” kata pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, Ustaz Sunnatullah mengutip NU Online, Jumat (18/10/2024).

Dia menambahkan, berutang pada hakikatnya merupakan sesuatu yang wajar bagi setiap orang yang memiliki kebutuhan setiap harinya. Karena itu, orang yang berutang, umumnya adalah mereka yang benar-benar membutuhkan.

Transaksi semacam ini sudah diatur dengan sangat rinci dalam ajaran Islam, baik kepada orang yang berutang maupun yang memberi utang. Orang-orang yang memiliki kelebihan harta, dianjurkan baginya untuk memberi utang kepada orang yang sedang membutuhkan. Sedangkan bagi orang yang berutang, wajib baginya untuk membayar ketika sudah mampu. Ia tidak boleh menunda-nunda tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan dalam Islam.

“Berutang bukanlah sebuah kesalahan, selama kita semua membayarnya ketika sudah mampu tanpa menundanya. Bahkan orang-orang yang senantiasa mengindahkan bayar utang ketika sudah mampu merupakan ciri-ciri orang yang dinilai baik dalam Islam.”

“Karena itu, jika di antara kita ada yang memiliki tanggungan utang, maka segeralah untuk melunasinya ketika sudah mampu,” ujar Sunnatullah.


Membayar Utang dengan Baik

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, suatu hari terdapat seorang laki-laki mendatangi Rasulullah untuk menagih utang, orang itu bersikeras berbicara dengan perkataan yang kurang sopan di hadapannya.

Para sahabat banyak yang tidak terima melihat Rasulullah yang diperlakukan demikian, sehingga mereka berdiri juga untuk mencegah laki-laki tersebut. Namun, Nabi melarangnya dan tetap membiarkan laki-laki tersebut berbicara kasar.

Setelah itu, Nabi menyuruh para sahabat untuk memberikan unta yang seumuran dengan unta yang dulu pernah ia utang. Namun para sahabat menjawab bahwa unta yang seumuran tidak ada, dan yang tersisa hanyalah yang lebih tua dari sebelumnya.

Lantas, Nabi Muhammad bersabda: أَعْطُوهُ فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً

Artinya: “Berikan saja itu, karena sungguh sebagian dari orang yang paling baik adalah orang yang paling baik dalam membayar utang.” (HR Bukhari dalam Shahih Bukhari).


Menunda-nunda Bayar Utang padahal Sudah Mampu adalah Bentuk Kezaliman

Riwayat ini merupakan sebuah peringatan bagi umat Islam, bahwa ketika sudah mampu untuk membayar utang, maka segeralah untuk melunasinya.

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah teladan yang harus ditiru sebagai umatnya. Hal itu tidak lain karena menunda-nunda membayar utang merupakan tindakan kezaliman yang dicela dalam Islam.

Rasulullah saw bersabda: مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ Artinya: “Menunda-nunda waktu pembayaran utang bagi orang yang mampu adalah kezaliman.” (HR al-Baihaqi).

Menurut Imam Nawawi dalam kitab Syarhun Nawawi ‘alal Muslim, juz VII, halaman 196, hadits ini merupakan larangan bagi orang yang sudah mampu namun menunda-nunda bayar utang. Hukum tindakan ini adalah haram (berdosa). Namun, jika memang benar-benar tidak mampu, maka hukumnya tidak haram.

اَلْمَطْلُ مَنْعُ قَضَاءِ مَا اسْتُحِقَّ أَدَاؤُهُ فَمَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَحَرَامٌ وَمَطْلُ غَيْرِ الْغَنِىِّ لَيْسَ بِظُلْمٍ وَلاَ حَرَامٍ

Artinya: “Menunda-nunda adalah mencegah sesuatu yang wajib untuk dilunasi. Menunda-nunda bagi orang yang sudah mampu adalah zalim dan haram, sedangkan bagi yang tidak mampu tidaklah zalim dan tidak pula haram.”


Menunda-nunda adalah Kebiasaan Setan

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw memberikan peringatan kepada umat Islam bahwa sikap menunda-nunda merupakan bentuk kebiasaan setan yang ia letakkan dalam hati orang-orang yang beriman. Sehingga setiap tanggung jawab dan kewajibannya akan biasa ia tunda.

 اَلتَّسْوِيْفُ شِعَارُ الشَّيْطَانِ يُلْقِيْهِ فِي قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya: “Menunda-nunda adalah syiar setan yang ia letakkan ke dalam hati orang-orang yang beriman.” (HR ad-Dailami).

Karena telah diletakkan di dalam hati orang-orang yang beriman, maka mereka akan senantiasa menunda-nunda semua tanggungannya.

Tindakan ini akan menjadikan setan bahagia karena manusia telah melakukan perbuatan dosa, sebab menunda-nunda bayar utang bagi orang yang mampu. Ini adalah dosa besar. Sebagaimana penjelasan Imam al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir Syarh Jami’is Shagir, juz III, halaman 344:

 فَيمْطِلُ أَحَدُهُمْ غَرِيْمَهُ فَيُعْجِبُ الشَّيْطَانَ تَأْثِيْمُهُ لِأَنَّ مَطْلَ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَهُوَ مِنَ الْكَبَائِرِ  

Artinya: “Maka salah satu dari mereka akan menunda-nunda tanggungannya, sehingga menjadikan setan senang dosanya, karena menunda-nunda bagi yang mampu adalah kezaliman dan termasuk dosa besar.”

INFOGRAFIS JOURNAL_Anak Muda Jadi Peminjam Utang Paling Banyak? (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya