Liputan6.com, Yogyakarta - Kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di angka 5 persen, namun pemerintah baru menghadapi tantangan dari sisi ketahanan ekonomi. Ekonom UGM, Akhmad Akbar Susamto mengatakan usai pandemi, jumlah pekerja sektor informal yakni 84,13 juta orang atau setara dengan 59,17% dari total pekerja.
“Jadi kondisi ketenagakerjaan kita belum pulih sepenuhnya, tapi orang butuh makan. Jadi apa saja dikerjakan, serabutan begitu. Maka tidak heran kalau sektor informal meningkat,” katanya Kamis 17 Oktober 2024.
Pemerintahan baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka nantinya sibuk menghadapi tantangan dari dalam sisi pemerintahannya sendiri karena Kementerian Keuangan menyatakan terjadi defisit anggaran APBN per Juli 2024 sebesar Rp93,4 triliun. Walaupun pemerintah menyatakan angka tersebut masih sesuai dengan rancangan APBN, Akhmad memperkirakan hingga akhir tahun, kemampuan pemerintah dalam mendongkrak ekonomi nasional cenderung rendah.
Baca Juga
Advertisement
“Dana yang bisa diotak-atik itu lebih sedikit karena sudah ada alokasinya. Sisanya ini akan lebih kecil lagi karena ada janji-janji politik yang sudah disampaikan oleh pemerintahan lalu maupun nanti dari pemerintahan baru,” tutur Akhmad.
Ahmad menjelaskan, bagi pemerintah baru yang akan melanjutkan pembangunan IKN, tentu butuh anggaran lagi. Belum ditambah program baru seperti makan bergizi gratis yang juga membutuhkan anggaran besar.
Melihat sisi moneter, Akhmad mengatakan kondisi dan fakta lain yang dihadapi. Salah satu strategi Bank Indonesia dalam mempertahankan ekonomi nasional menetapkan suku bunga tinggi, merespon kebijakan The Federal Reserve System (Fed) yang juga meningkatkan suku bunga sebagai respon atas inflasi di Amerika.
Kemudian suku bunga Amerika turun sebesar 0,5%, tapi Bank Indonesia tetap mempertahankan suku bunga di angka 6%. Strategi ini dilakukan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah.
“Kemampuan sektor moneter dalam mendukung perekonomian nasional itu juga rendah sebenarnya. Segi moneter ini juga tidak bisa bergerak bebas, karena banyak bergantung pada kebijakan inflasi luar negeri,” jelas Akhmad.
Maka dapat disimpulkan pada kebijakan fiskal maupun moneter, pemerintah baru akan mengalami kesulitan karena ruang gerak ekonomi yang sempit. Pertumbuhan ke depan mungkin cenderung stabil, tapi tidak bisa secara progresif meningkat.
Strategi untuk menghadapi tantangan tersebut, Akhmad menyarankan pemerintahan yang baru sebaiknya fokus memperbaiki ketahanan ekonomi contohnya memperbaiki sistem reward dan punishment. Ia menyebutnya kondisi ekonomi sekarang ibarat masyarakat salah insentif.
“Ada kondisi di mana seseorang yang baik justru dihukum, dan yang buruk justru diberikan reward. Kondisi ini mengacu pada banyak fenomena yang menghambat masyarakat untuk berkembang,” katanya.
Akhmad mengambil contoh industri kelapa sawit yang merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia. Berbagai isu sosial dan lingkungan muncul pada industri ini, sehingga tidak banyak pihak yang mau bekerja sama di dalamnya.
“Ini bisa diatasi dengan penegakkan hukum. Jika pemerintah bisa memperkuat penegakkan hukum, maka bisa jadi masyarakat nantinya bisa tergerak untuk maju bersama,” pesannya kepada pemerintah baru.