11 Pemilihan Presiden Terunik dalam Sejarah AS, Apa Pilpres 2024 Akan Bernasib Sama?

Sejarah panjang demokrasi dan pemilihan presiden Amerika Serikat yang telah terjadi selama lebih dari 200 tahun tentu pernah melahirkan peristiwa-peristiwa yang aneh dan menarik.

oleh Siti Syafania Kose diperbarui 05 Nov 2024, 20:47 WIB
Ilustrasi pemilihan presiden Amerika Serikat (Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) 2024 akan dilaksanakan pada tanggal 5 November nanti. Sejarah akan tercipta pada momen tersebut seperti Pilpres AS sebelumnya.

Pada Pemilu AS 2024 ini, diwarnai dengan insiden mundurnya Presiden petahana Joe Biden dari bursa pencalonan pilpres hanya kurang dari empat bulan sebelum pilpres dilaksanakan. Selain itu, persaingan sengit terpantau antara Donald Trump dan Kamala Harris yang kerap berganti-ganti peringkat di polling, hingga Mantan Presiden Trump yang harus menghadapi percobaan pembunuhan berkali-kali dalam kampanyenya.

Pada pilpres AS sebelumnya tahun 2020 antara Biden dan Trump juga tidak luput dari kontroversi dan skandal. Mungkin tercatat sebagai pemilu paling gila dan kontroversial dalam sejarah AS.

Apakah setiap pilpres AS yang pertama kali terjadi sekitar 235 tahun lalu pada tahun 1789 kerap bergejolak dan aneh seperti kejadian tersebut di atas? Jawabannya ya, ada yang penuh drama bahkan sampai memakan korban jiwa. 

Berikut ini 11 pemilihan presiden paling unik, aneh, kontroversial, dalam sejarah Amerika, melansir dari CNN pada Selasa (5/11/2024): 


1. 1800: Pilpres Kontroversial Berujung Tembak-Menembak

Thomas Jefferson (kiri) dan Aaron Burr (kanan), dua calon presiden dari Partai Demokrat-Republik pada pilpres AS 1800 yang berujung seri setelah mereka bersekongkol untuk mengalahkan saingan mereka, John Adams dari Partai Federalis. (Wikimedia Commons)

Hasil pilpres AS tahun 1800 antara Thomas Jefferson dan John Adams sangat aneh, sehingga Amerika Serikat harus mengamandemen Konstitusi. Tidak hanya itu, pilpres ini juga menyebabkan duel antara dua pendiri negara Amerika Serikat yang, menariknya, bukanlah Jefferson atau pun Adams.

Sebelum Amandemen ke-12, anggota Electoral College masing-masing memiliki dua suara untuk memilih presiden, dan tidak ada calon resmi. Siapa pun yang mendapatkan suara terbanyak akan menjadi presiden, dan posisi kedua akan menjadi wakil presiden.

Meskipun masalah dengan sistem ini terlihat jelas pada tahun 1796, pemilihan tahun 1800 membuat Jefferson berduet dengan “pasangannya” yang sama-sama berasal dari Partai Demokrat-Republik, Aaron Burr. Keduanya memperoleh 73 suara berbanding 65 suara milik Adams. Tapi, Jefferson dan Burr yang separtai malah seri.

Kongres akhirnya dipanggil untuk memecahkan hasil imbang tersebut. Kemudian hadirlah Alexander Hamilton, Menteri Keuangan pertama Amerika Serikat, pendiri Partai Federalis, dan seorang pria yang tidak peduli dengan kemenangan Adams, Jefferson, atau Burr.

Meskipun demikian, Hamilton terlibat dalam kampanye untuk meyakinkan para rekan anggota Partai Federalis agar memilih Jefferson, yang ia anggap lebih baik dari Burr.  Hamilton menulis dalam sebuah surat bahwa, “Tuan Burr tidak mencintai apa pun kecuali dirinya sendiri - tidak memikirkan apa pun kecuali keagungannya sendiri.”

Tetap saja, Dewan Perwakilan Rakyat AS tidak dengan mudah mengambil keputusan. Mereka memberikan 35 surat suara dalam waktu seminggu sebelum akhirnya memberikan suara untuk memilih Jefferson sebagai pemenang dan Burr sebagai wakil presiden pada tanggal 7 Februari 1801.

Pemilihan ini menjadi semakin memanas karena perseteruan Burr dan Hamilton. Persaingan antara dua pendiri negara tersebut terus berlanjut selama lebih dari tiga tahun sebelum Burr, yang masih menjabat sebagai wakil presiden, membunuh Hamilton dalam sebuah duel.


2. 1824: Balas Dendam atas “Kesepakatan yang Korup”

Andrew Jackson (kiri) dan John Quincy Adams (kanan), dua calon presiden dari Partai Demokrat-Republik pada pilpres AS 1824. (Wikimedia Commons)

Pemilihan presiden 1824 ini sudah aneh sejak awal karena Partai Federalis berada di ambang kejatuhan dan keempat kandidatnya adalah anggota dari Partai Demokrat-Republik.

Andrew Jackson, seorang pahlawan perang dan negarawan, memenangkan suara populer dengan kurang dari 39.000 surat suara dan meraih 99 suara Electoral College. Sedangkan, Menteri Luar Negeri John Quincy Adams mendapatkan 84 suara, Menteri Keuangan William Crawford meraih 41 suara, dan Ketua DPR Henry Clay mendapatkan 37 suara.

Dengan tidak adanya kandidat yang mendapatkan mayoritas suara, DPR kembali harus menyelesaikan kebuntuan. Jackson percaya diri dan yakin bahwa dia akan memenangkan kursi kepresidenan karena dia telah memenangkan suara populer dan Electoral College

Karena DPR hanya dapat memilih di antara tiga kandidat, Clay dikeluarkan. Namun, Clay sang Ketua DPR tidak tinggal diam.

Setelah satu bulan tawar-menawar, banyak pendukung Clay mengalihkan dukungan mereka kepada Adams, yang kemudian memenangkan mayoritas suara DPR. Negara-negara bagian Maryland, Illinois, dan Louisiana, yang telah memberikan sebagian besar suara Electoral College mereka untuk Jackson, serta Kentucky, di mana Adams tidak menerima satu pun suara dalam pemilihan populer, memutuskan untuk mendukung Adams. Setelah pelantikannya, Adams memilih Clay sebagai sekretaris negaranya. 

Melihat ini, Jackson sangat marah dan menuduh bahwa Adams dan Clay melakukan “kesepakatan yang korup.” Dia mengundurkan diri dari kursi Senat dan bersumpah untuk memenangkan pemilu 1828 sebagai orang luar Washington.

Didukung oleh partai barunya, Partai Demokrat, Jackson memenuhi janjinya. Ia mengalahkan Adams pada pilpres 1828, yang pada saat itu adalah pemimpin Partai Republik Nasional.


3. 1860: Cikal Bakal Perang Saudara

Abraham Lincoln (kiri) Presiden Amerika Serikat dan Jefferson Davis (kanan) Presiden Konfederasi Amerika. Keduanya pernah bersaing dalam pemilihan presiden AS tahun 1860. (Wikimedia Commons)

Berbeda dengan dua pemilihan sebelumnya, hasil pilpres tahun ini tidak beda tipis. Abraham Lincoln mengalahkan John Breckinridge dalam pemilu yang memiliki salah satu jumlah pemilih tertinggi sepanjang masa.

Namun, pilpres kala itu berkesan karena pemilihan tersebut tidak hanya memecah-belah Partai Demokrat yang telah lama mendominasi, tetapi juga bangsa tersebut.

Keputusan Mahkamah Agung atas kasus Dred Scott pada tahun 1857, yang pada dasarnya melegalkan perbudakan di seluruh wilayah AS, telah membuka jalan bagi peperangan. Partai Republik sebagian besar menentang perbudakan tetapi enggan mendorong pelarangannya di negara-negara bagian yang telah melakukannya, dan Partai Demokrat tidak dapat menetapkan sikap resmi partai mengenai perbudakan pada konvensi tahun 1860.

Pada konvensi kedua tahun itu, Partai Demokrat mencalonkan Senator Stephen Douglas dari Illinois, tetapi banyak orang dari wilayah Selatan AS di partai tersebut membelot dan memilih Breckinridge, yang menjabat sebagai wakil presiden, sebagai calon presiden. Keduanya kemudian mengklaim dirinya sebagai kandidat resmi Partai Demokrat.

Partai Persatuan Konstitusional, yang telah dibentuk setahun sebelumnya dan melakukan kampanye yang sama sekali mengabaikan isu perbudakan, memilih Senator John Bell dari Tennessee.

Pemungutan suara Electoral College menjadi saksi bisu awal perpecahan. Lincoln hanya mendapatkan 40% suara populer, namun dalam Electoral College ia mendapatkan sebagian besar wilayah Utara AS, bersama dengan California dan Oregon. Douglas berada di urutan kedua dalam suara populer tetapi hanya mendapatkan Missouri dan tiga suara di New Jersey. Breckinridge merebut sebagian besar wilayah Selatan, bersama dengan Maryland dan Delaware. Sedangkan itu, kebijakan Bell yang berada di tengah-tengah membuatnya mendapatkan suara di wilayah tengah: Tennessee, Kentucky dan Virginia.

Beberapa minggu setelah pemilihan presiden, negara bagian South Carolina memilih untuk memisahkan diri dari Amerika Serikat. Aksi ini diikuti oleh enam negara bagian Selatan lainnya. Pada bulan Februari 1861, para delegasi dari negara-negara bagian tersebut membentuk Konfederasi Amerika dan memilih Jefferson Davis sebagai presidennya.

Pada bulan April, milisi South Carolina merebut Fort Sumter (Benteng Sumter), dan empat negara bagian lainnya bergabung dengan Konfederasi.

Perpisahan ini lah yang mengawali Perang Saudara Amerika.


4. 1872: Tahun Penuh Kejadian-Kejadian Historis, Termasuk Kematian Kandidat

Horace Greeley, kandidat presiden AS dari Partai Demokrat yang meninggal dunia sebelum pemilihan presiden AS tahun 1872 selesai. (Wikimedia Commons)

Pilpres AS 1872 merupakan kompetisi yang historis. Pada tahun itu, Victoria Woodhull dari Partai Rakyat menjadi wanita pertama yang mencalonkan diri sebagai presiden. Selain itu, pasangannya, penulis dan pejuang abolisi Frederick Douglass adalah orang Afrika-Amerika pertama yang dipertimbangkan untuk menjadi wakil presiden. Tidak hanya itu, pada pilpres ini, aktivis Susan B. Anthony ditangkap karena melakukan pemungutan suara ilegal.

Tapi, di luar peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut, keanehan lain pada pilpres tahun itu adalah kematian salah satu kandidat utamanya sebelum ia dapat melihat akhir dari pemungutan suara.

Horace Greeley seharusnya tidak dapat memberi perlawanan yang berarti dalam upayanya untuk menggulingkan Presiden Ulysses S. Grant. Namun, perpecahan di Partai Republik membuat segalanya menjadi sedikit lebih menarik.

Grant, yang memimpin pasukan Persatuan yang mengalahkan Konfederasi, tidak begitu meyakinkan selama menjabat sebagai presiden. Situs web Gedung Putih menggambarkannya sebagai orang yang tidak cocok dengan posisinya dan mengutip seorang pengunjung yang berbicara tentang “kesedihannya yang membingungkan, seperti orang yang memiliki masalah di hadapannya yang tidak ia pahami.”

Beberapa anggota Partai Republik membelot, menjadi anggota Partai Republik Liberal, dan memilih Greeley, seorang Demokrat. Greeley kemudian meraih 44% suara populer, hampir 3 juta surat suara, meskipun ia menghentikan kampanyenya untuk merawat istrinya yang sakit. Sayangnya, istrinya meninggal seminggu sebelum pemilihan.

Pada 29 November 1872, sebelum Electoral College dapat memberikan suaranya, pendiri surat kabar ini meninggal dunia juga. Kemudian, 63 dari 66 suaranya tersebar di antara Thomas Hendricks, yang kemudian menjadi wakil presiden, dan anggota Partai Demokrat lainnya.

Grant menghadiri pemakaman saingannya.


5. 1876: Politik Licik Memundurkan Perkembangan Hak Sipil Orang Kulit Hitam

Rutherford Hayes, kandidat Partai Republik dalam pemilihan presiden AS 1876, yang berhasil memenangkan kursi kepresidenan. (Wikimedia Commons)

Samuel Tilden dari Partai Demokrat berhasil mengalahkan Rutherford Hayes dari Partai Republik pada pilpres ini. Ia meraih 250 ribu suara lebih banyak dalam popular vote, dan memiliki 19 suara lebih banyak di Electoral College.

Masalahnya, Tilden hanya kurang satu suara Electoral College dari mayoritas 185 suara, dan empat negara bagian yang terdiri dari total 20 suara – Florida, Louisiana, South Carolina, dan Oregon – mempermasalahkan hasilnya. Di negara-negara bagian Selatan, masing-masing pihak menuduh pihak lain melakukan kecurangan.

Karena hal seperti ini baru pertama kali terjadi dan tidak ada peristiwa di masa lalu yang dapat menjadi rujukan, kedua partai sepakat untuk membentuk komisi beranggotakan 15 orang yang terdiri dari tujuh anggota Partai Republik, tujuh anggota Partai Demokrat, dan seorang

independen.

Namun, Hakim Agung David Davis yang merupakan seorang independen, secara tak terduga dipilih oleh Badan Legislatif Illinois untuk bertugas di Senat AS. Ia digantikan oleh Hakim Joseph Bradley, seorang pendukung fanatik Partai Republik yang akan memberikan semua suaranya untuk Hayes dan memenangkan kandidat tersebut.

Partai Demokrat awalnya mengancam akan menghalangi keputusan tersebut. Namun, melalui kesepakatan di belakang layar, mereka setuju untuk membatalkan penentangan mereka jika Hayes menarik pasukan federal yang telah berada di wilayah Selatan pada masa Rekonstruksi.

Hayes dilantik pada 5 Maret 1877, dan dalam beberapa minggu, dia memindahkan pasukan tersebut. Rekonstruksi secara resmi berakhir, menghentikan kemajuan yang telah dicapai oleh orang Afrika-Amerika. Butuh beberapa dekade sebelum hak-hak sipil kembali dibahas secara serius di Kongres.


6. 1920: Ada Kandidat yang Berkampanye di Penjara dan Mendapat Hampir Sejuta Suara

Eugene Debs, kandidat dalam pemilihan presiden AS yang pernah berkampanye di dalam penjara pada tahun 1920. (Wikimedia Commons)

Pilpres ini adalah persaingan antara dua penerbit surat kabar, namun pilpresnya sendiri tidak terlalu menarik. Warren G. Harding dari Partai Republik meraih kemenangan yang bersejarah saat melawan James Cox dari Partai Demokrat, dengan meraih lebih dari 60% suara populer di 37 dari 48 negara bagian.

Orang yang meraih urutan ketiga dalam persaingan ini lah yang membuat pilpres tahun ini bisa dibilang menarik.

Jauh sebelum Bernie Sanders menghadapi serangan karena politik liberalnya, Partai Sosialis Amerika menikmati sedikit dukungan pada awal abad ke-20. Pemimpin serikat pekerja Eugene Debs yang mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 1900, 1904, 1908, dan 1912 adalah hal yang biasa-biasa saja. Bahwa ia mendapatkan sekitar 6% suara populer pada tahun 1912, lebih dari 900.000 surat suara, juga tidak spesial.

Namun, pada tahun 1920, Debs harus menjalankan kampanye kelimanya dari tempat yang tidak biasa: penjara.

Debs tidak asing dengan pemenjaraan. Dia sebelumnya pernah dipenjara karena pemogokan kereta api tahun 1894. Pada tahun 1918, Debs kembali mengundang kemarahan pemerintah saat dia menyampaikan sebuah pidato anti-perang di Canton, Ohio, yang isinya menyindir “kelas penguasa” yang mengambil keputusan untuk mengirim kelas pekerja ke medan perang. “Anda tidak perlu memikirkan alasannya. Tugasmu hanya melakukan dan mati,” katanya.

Dia dihukum di bawah undang-undang spionase dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Demonstrasi yang memprotes pemenjaraannya berkembang menjadi kerusuhan May Day pada tahun 1919, dan Debs kemudian dipindahkan ke Penjara Federal Atlanta, tempat ia melakukan kampanye kepresidenannya.

Dia kembali mendapatkan lebih dari 900.000 suara, sebuah jumlah yang mengesankan, tetapi tidak cukup untuk menyaingi Harding yang meraih lebih dari 16 juta suara.

Tahun berikutnya, pada hari Natal, Harding meringankan hukuman Debs.


7. 1948: Kesalahan Konyol yang Memalukan

Harry S. Truman, Mantan Presiden AS yang menjadi calon dalam pilpres AS 1948, mengangkat surat kabar berjudul "Dewey Mengalahkan Truman." (Wikimedia Commons)

Presiden Harry S. Truman sudah tamat sebelum pilpres dimulai. Menurut para pakar, kekalahannya itu pasti. Pemenang pilpres tersebut pasti adalah Gubernur New York, Thomas Dewey.

Pemilu sela tahun 1946 telah memberikan mayoritas legislatif kepada Partai Republik untuk pertama kalinya dalam hampir 20 tahun. Jajak pendapat juga menunjukkan bahwa hanya satu dari tiga orang Amerika menyetujui cara Truman menangani kepresidenan.

Anggota Partai Demokrat dari wilayah Selatan juga meninggalkan Partai Demokrat karena sikapnya terhadap hak-hak sipil. Mereka membentuk Partai Hak-Hak Amerika Serikat, alias Dixiecrats, dan memilih Gubernur Carolina Selatan Strom Thurmond yang segregasionis sebagai kandidat mereka.

Jajak pendapat pra-pemilu terakhir dari Gallup yang diambil pada pertengahan Oktober dan tidak dirilis hingga sehari sebelum Hari Pemilu menunjukkan Dewey mengalahkan Truman dengan selisih 5 poin.

Bahkan pada hari pemilihan, Truman mengingat laporan NBC yang memprediksi dia akan kalah. Namun, pada pukul 4 pagi, agen Dinas Rahasia membangunkannya dan mengatakan bahwa dia telah menang.

Chicago Daily Tribune menyebut Truman sebagai “orang yang tidak tahu apa-apa” di halaman editorialnya menjelang pemilihan. Secara puitis, pemogokan para pekerja percetakan memaksa surat kabar tersebut untuk menerbitkan edisi pagi beberapa jam lebih awal dari biasanya, dan Penerbit J. Loy Maloney mengambil kata-kata para jajak pendapat dan menandatangani salah satu judul berita yang paling terkenal dalam sejarah.

“Dewey Mengalahkan Truman.”


8. 1960: Awal Debat Calon Presiden Ditayangkan di Televisi

John F. Kennedy (kiri) dan Richard Nixon (kanan) dalam perdebatan presiden di Chicago, tahun 1960. (Wikimedia Commons)

John F. Kennedy membuat banyak preseden ketika ia terpilih pada tahun 1960. Dia adalah presiden termuda yang terpilih untuk menjabat, presiden pertama yang lahir pada abad ke-20. Dia juga merupakan presiden Katolik pertama.

Pertarungan antara Kennedy dan Richard Nixon, yang mempertemukan seorang senator yang relatif tidak dikenal dengan wakil presiden yang telah menjabat selama dua periode, menandai sebuah preseden lain: untuk pertama kalinya debat kepresidenan disiarkan di televisi dan dapat ditonton secara langsung di rumah keluarga Amerika.

Hal ini penting bagi hasil pemungutan suara karena televisi semakin menjadi bagian dari rumah tangga Amerika. Delapan puluh delapan persen rumah memiliki televisi, dibandingkan dengan 11% pada tahun 1950.

Nixon baru saja dirawat di rumah sakit. Dia menolak memakai makeup, yang justru menonjolkan penampilannya yang kurus dan sakit-sakitan. Wajahnya tidak tercukur bersih. Dia mengenakan setelan abu-abu yang menyatu dengan latar belakang. Penampilannya memiliki banyak kekurangan, menurut para sejarawan.

Di sisi lain, Kennedy terlihat sehat dan mengenakan setelan dan kemeja biru, sehingga ia terlihat menonjol dengan latar belakang studio. Berbeda juga dengan Nixon, dia berbicara kepada kamera daripada kepada lawannya.

Diperkirakan 70 juta orang yang menyaksikan debat pertama pada tanggal 26 September 1960, merasa bahwa Kennedy menang, sedangkan penonton yang mendengarkan melalui radio merasa bahwa Nixon-lah yang menang.

Pada tanggal 8 November, Kennedy mengungguli Nixon dengan selisih 119 ribu suara dari total hampir 69 juta suara.

Apakah debat itu sendiri yang memenangkan Kennedy dalam pemilihan dapat diperdebatkan karena dia juga berhasil mengamankan suara dari kalangan Afrika-Amerika dengan menawarkan bantuannya untuk membebaskan Pendeta Martin Luther Jr. dari penjara hanya beberapa minggu sebelum pemilihan. Walau begitu, para politisi dan sejarawan sepakat bahwa debat tersebut telah mengubah wajah kampanye.

Debat yang disiarkan di televisi menjadikan citra dan penampilan sebagai pertimbangan utama, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi beberapa kandidat sehingga butuh 16 tahun sebelum ada calon presiden lain yang menyetujui untuk melakukan debat di televisi.


9. 1964: Kontestasi Atas Hak-Hak Sipil dan Segregasi

Barry Goldwater (kiri) dan Lyndon B. Johnson (kanan), dua kandidat dalam pilpres AS 1964. (Wikimedia Commons)

Pada pilpres tahun 1964, muncul iklan “Daisy”, sebuah upaya untuk menggambarkan Barry Goldwater dari Partai Republik sebagai orang yang terlalu sembrono untuk bertanggung jawab atas persenjataan nuklir negara tersebut. Iklan ini tetap melekat di benak masyarakat AS, bahkan di kondisi politik sekarang yang penuh kekacauan.

Pada musim panas tahun 1964, muncullah Undang-Undang Hak Sipil. Warga kulit putih yang marah memprotes undang-undang tersebut di seluruh wilayah Selatan, sementara warga kulit hitam yang marah atas perlakuan polisi melancarkan demonstrasi di New York, Philadelphia, Chicago, dan kota-kota lainnya.

Suasana pilpres menjadi serba ekstrem dan pemilihan tersebut menjadi tidak bergantung pada kecakapan kedua kandidat, Goldwater dan Presiden Lyndon Johnson. Ras tidak hanya menentukan hasil pemungutan suara pada tahun 1964, tetapi juga akan mempengaruhi pemilihan umum selama beberapa dekade berikutnya.

Gubernur segregasionis Alabama yang berapi-api, George Wallace, menghadapi Johnson untuk nominasi Partai Demokrat, dan meskipun ada sentimen bahwa “reaksi keras kaum kulit putih” terhadap Undang-Undang Hak-hak Sipil merupakan hal yang biasa terjadi di wilayah Selatan, Wallace mendapatkan lebih dari 30% suara di Wisconsin dan Indiana serta lebih dari 40% suara di Maryland (semuanya negara bagian yang berada di tengah AS) pada pemilihan pendahuluan.

Wallace akhirnya keluar dari persaingan, namun tidak sebelum menimbulkan kekhawatiran besar bagi Goldwater dan Johnson. Goldwater khawatir Wallace akan mencalonkan diri sebagai calon dari pihak ketiga, yang akan menggagalkan kampanyenya, sementara Johnson khawatir dengan penampilan Wallace yang kuat di negara-negara bagian non-Selatan.

Di saat Goldwater yang telah memberikan suaranya untuk menentang Undang-Undang Hak Sipil dicap sebagai seorang rasis, sesuatu yang selalu ia bantah, Johnson berusaha menyenangkan semua orang.

Hal itu paling jelas terlihat ketika Partai Demokrat Kebebasan Mississippi, aktivis kulit hitam yang diorganisir oleh Komite Koordinasi Non-Kekerasan Mahasiswa, muncul di konvensi nasional dan menuntut agar mereka diberi tempat duduk karena Mississippi menjalankan pemilihan pendahuluan yang tersegregasi.

Johnson harus menengahi kesepakatan di mana para pendukung segregasi duduk di konvensi, bersama dengan dua anggota Partai Demokrat Kebebasan Mississippi. Dia kemudian membuat marah banyak orang di Selatan dengan memilih Hubert Humphrey, seorang advokat hak-hak sipil yang gigih, sebagai pasangannya

Johnson kemudian memenangkan salah satu pemilu yang paling timpang yang pernah ada. Goldwater hanya menang di negara bagian asalnya, Arizona dan Alabama, Georgia, Louisiana, Mississippi, dan South Carolina. Partai Republik masih menikmati dominasi politik yang besar di wilayah Selatan hingga hari ini.


10. 1972: Riwayat Kesehatan Mental Membuat Cawapres Mundur

Thomas Eagleton, mantan calon wakil presiden AS dari Partai Demokrat dalam pilpres AS 1972 sebelum ia keluar dari persaingan. (Wikimedia Commons)

Senator George McGovern dari South Dakota baru saja memenangkan nominasi Partai Demokrat untuk menjadi calon presiden dan menelepon Senator Thomas Eagleton untuk memintanya menjadi calon wakilnya. Percakapan singkat tersebut hanya terjadi selama dua menit.

Beberapa tokoh penting Partai Demokrat telah menolak untuk bergabung dengan McGovern dalam pencalonan ini, sehingga ia memilih Eagleton sebagian karena ia berharap Eagleton akan membantunya untuk menopang suara Katolik.

Namun, Eagleton sama sekali tidak menjalani pemeriksaan yang ketat. Seandainya McGovern menyelidiki Eagleton sesuai dengan standar saat ini, ia mungkin akan mengetahui latar belakang Eagleton, bahwa senator dari Missouri tersebut telah dirawat di rumah sakit tiga kali karena depresi dan telah menjalani terapi kejut listrik dalam dua kunjungannya.

Dalam sebuah konferensi pers di suatu taman negara bagian South Dakota, Eagleton mengungkapkan riwayat medisnya kepada wartawan dan menjelaskan bahwa dia baru saja mengungkapkan hal tersebut kepada McGovern.

Pada tanggal 1 Agustus, 18 hari setelah dia terpilih menjadi calon wakil presiden, Eagleton secara resmi mengundurkan diri sebagai kandidat.

Richard Nixon kemudian mengalahkan telak McGovern, memenangkan 49 negara bagian dan mengungguli sang calon dari Partai Demokrat dengan selisih sekitar 18 juta suara. Peristiwa ini membuat para calon presiden selama beberapa dekade ke depan merasa khawatir mengenai siapa yang akan mendampinginya.


11. 2000: Satu Negara Bagian dan 1.000 Suara Menjadi Penentu

Al Gore (kiri) dari Partai Demokrat dan George W. Bush (kanan) dari Partai Republik, dua kandidat dalam pilpres AS 2000. (Wikimedia Commons)

Dalam pemilihan presiden AS tahun 2000 yang sangat sengit dan berakhir tipis, semua bergantung pada Florida.

Bersaing memperebutkan 25 suara Electoral College yang menjadi penentu kemenangan pilpres adalah Gubernur Texas dan kandidat Partai Republik, George W. Bush, yang saudaranya adalah gubernur Florida, dan Wakil Presiden saat itu, kandidat dari Partai Demokrat, Al Gore. Beberapa media menyebut persaingan itu dimenangkan Gore, yang lain menganggap Bush yang menang. Gore bahkan menelepon Bush untuk mengakui kekalahannya, hanya untuk menelepon kembali dan mengatakan “lupakan saja.”

Sehari setelah pemungutan suara, Divisi Pemilihan Umum Florida mengatakan bahwa Bush menang dengan selisih 1.784 suara, meskipun CNN memperkirakan selisihnya kurang dari 1.000 suara. Penghitungan ulang dua hari kemudian mengerucutkannya menjadi 327 suara dari hampir 6 juta suara yang masuk.

Yang dipermasalahkan adalah surat suara di Florida yang bersistem punch-hole atau harus dilubangi. Surat suara yang tidak dibolongi dengan sempurna sehingga menjadi invalid merupakan masalah utamanya.

Para pengacara berdatangan ke negara bagian yang dijuluki sebagai Sunshine State tersebut ketika tim hukum Bush berusaha mencegah kemungkinan penghitungan ulang. Dipimpin oleh James Baker, seorang anggota kabinet dan kepala staf Ronald Reagan dan ayah Bush, tim ini juga mencakup Amy Coney Barrett, Brett Kavanaugh, dan John Roberts, yang ketiganya kini menjabat sebagai hakim Mahkamah Agung AS.

Pada tanggal 21 November, Mahkamah Agung Florida memerintahkan penghitungan ulang secara manual di empat wilayah, termasuk wilayah terpadat di negara bagian tersebut, Miami-Dade. Para pengunjuk rasa, yang oleh The Wall Street Journal digambarkan sebagai “pengacara kulit putih berusia 50 tahun dengan ponsel dan dasi Hermes”, turun ke markas penghitungan ulang di Miami dalam peristiwa yang dikenal sebagai Kerusuhan Brooks Brothers. Mereka ingin penghitungan ulang dihentikan, dan akhirnya, penghitungan ulang pun dihentikan.

Baker dan timnya tidak ingin pemilihan ini diputuskan di negara bagian yang pengadilannya didominasi oleh Partai Demokrat. Maka, pada tanggal 9 Desember, Mahkamah Agung AS mengeluarkan penangguhan terhadap keputusan pengadilan tinggi Florida untuk menghitung ulang puluhan ribu surat suara.

Dengan selisih 5-4, Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa sertifikasi sebelumnya oleh sekretaris negara bagian yang berasal dari Partai Republik tetap berlaku. Keputusan ini meloloskan Bush dengan 271 suara elektoral yang ia perlukan untuk menduduki kursi kepresidenan. Keputusan itu diambil 36 hari setelah pemilihan.

Hakim yang berbeda pendapat, John Paul Stevens, menulis, “Meskipun kita mungkin tidak akan pernah tahu dengan pasti siapa pemenang pemilihan presiden tahun ini, namun identitas pihak yang kalah sudah sangat jelas, yaitu kepercayaan bangsa terhadap hakim sebagai penjaga aturan hukum yang tidak memihak.”

Tinjauan yang selanjutnya dilakukan oleh berbagai media dan organisasi lain kurang begitu jelas, menghasilkan berbagai skenario mulai dari Gore yang menang dengan 332 suara hingga Bush yang menang dengan 1.665 suara. Kesimpulan secara umum adalah bahwa Bush memenangkan penghitungan ulang yang diperintahkan oleh Mahkamah Agung Florida, sementara Gore memenangkan penghitungan ulang seluruh surat suara yang disengketakan, andai saja timnya memintanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya