Deforestasi Jadi PR Besar Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni

Jika pelepasan izin kehutanan semakin digenjot, hutan alam di Indonesia akan semakin terancam, khususnya hutan alam di Papua yang menjadi benteng terakhir Indonesia dari ancaman krisis iklim.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 21 Okt 2024, 13:22 WIB
Raja Juli Antoni, seorang politikus Indonesia dari Partai Solidaritas Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia sejak 15 Juni 2022. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

 

Liputan6.com, Jakarta - Segudang PR besar menanti Raja Juli Antoni yang ditunjuk menjadi Menteri Kehutanan di pemerintahan Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran. Beragam persoalan lingkungan hidup terkait isu kehutanan, mulai dari kebakaran hutan dan lahan, konflik lahan, pembalakan liar, perizinan kelola hutan, perubahan iklim, isu tanah adat, hingga deforestasi, yang mandeg tanpa solusi pada pemerintahan sebelumnya perlu dicarikan jalan keluar. 

Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu perlu mengawal implementasi dari berbagai kebijakan kehutanan untuk mencapai target pengurangan emisi di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (forestry and other land use/FOLU). Indonesia sendiri sudah menargetkan ingin mencapai kondisi dimana tingkat serapan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sudah lebih tinggi dari penyerapan pada 2030 di sektor kehutanan atau FOLU Net Sink 2030.

Berbagai langkah juga perlu dilakukannya untuk mencapai beragam indikator pembangunan sektor kehutanan yang lebih baik, antara lain penurunan emisi GRK sektor kehutanan dengan ukuran pencapaian tingkat laju deforestasi yang rendah, pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi skema multi usaha kehutanan, dan memastikan izin pemanfaatan hutan tidak hanya didominasi oleh korporasi tapi juga dimiliki masyarakat melalui perhutanan sosial. Dengan demikian maka akan terwujud pengelolaan sektor kehutanan yang dapat mewujudkan keseimbangan dan berkeadilan.

Terkait soal laju deforestasi di Indonesia, catatan kritis Forest Watch Indonesia (FWI) yang dikutip dari buku Nasib Hutan Indonesia di Ujung Tanduk menyebutkan, deforestasi antara tahun 2017-2021 dengan nilai rata-rata 2,54 juta hektare per tahun atau setara dengan 6 kali luas lapangan sepakbola per menit, telah membawa Indonesia yang katanya sebagai paru-paru dunia pada jurang krisis iklim.

FWI menyebut, tingginya tingkat kerusakan sumber daya hutan terjadi hampir di setiap region di Indonesia. di Kalimantan, nilai rata-rata deforestasi sebesar 1,11 juta hektare per tahun, diikuti Papua 556 ribu hektare per tahun, Sumatera 428 ribu hektare per tahun, Sulawesi 290 ribu hektare per tahun, Maluku 89 ribu hektare per tahun, Bali Nusa 38 ribu hektare per tahun, dan Jawa 22 ribu hektare per tahun.

Temuan itu merujuk pada makna deforestasi yang sebenarnya, yaitu perubahan hutan alam menjadi bukan hutan alam. FWI sendiri mendefinisikan hutan alam sebagai hutan yang tidak diciptakan manusia, bukan dalam bentuk hutan tanaman maupun dalam bentuk perkebunan.

Hutan yang hilang merupakan sumber daya alam, yang dapat berupa ekosistem mangrove, ekosistem gambut, ekosistem karst, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, termasuk hutan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penjelasan tentang definisi hutan alam ini menjadi penting untuk diketahui, mengingat hilangnya tutupan hutan alam pasti akan selalu diikuti dengan hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur iklim mikro, sumber pangan papan masyarakat adat dan masyarakat lokal, hilangnya konservasi air dan tanah, hilangnya areal bernilai konservasi tinggi, biodiversitas, hingga hilangnya potensi obat-obatan, sumber pangan dan gizi dari hutan, energi, serta nilai sejarah kebudayaan. 

Imbas kerusakan hutan sudah mulai dirasakan secara nyata oleh banyak orang di Indonesia, mulai dari cuaca panas, iklim yang tak menentu hingga mengakibatkan bencana turunan (banjir bandang dan longsor), sampai hilangnya pulau-pulau kecil, adalah sedikit dari tanda-tanda adanya perubahan iklim yang terjadi saat ini. Kalau sudah begini, masyarakat kecil yang lagi-lagi menjadi korban.

 

 


Masyarakat Harus Kritis Kawal Kementerian Kehutanan

Public Engagement and Actions Manager program Greenpeace Khalisah Khalid merasa pesimis Raja Juli Menteri Kehutanan yang baru bisa menjawab tantangan dan persoalan hutan di Indonesia.

Saat dihubungi tim Regional Liputan6.com, Khalisah tanpa ragu bahkan menyebutkan, nasib hutan di Indonesia akan semakin suram. Mengingat Menteri Kehutanan yang ditunjuk berasal dari unsur parpol bukan dari kalangan akademisi, padahal ke depan tantangan seputar isu kehutanan semakin berat.

"Sejauh mana dia (Raja Juli) dapat menyelesaikan PR di sektor kehutanan dan komitmen iklim, khususnya yang bersumber dari deforestasi dan alih fungsi lahan. Apalagi target swasembada pangan dan energi dari bioenergy yang disampaikan Prabowo, justru akan semakin meningkatkan deforestasi ke depannya, karena pasti pelepasan izin kehutanan akan digenjot untuk memenuhi ambisi tersebut," katanya.

Jika pelepasan izin kehutanan semakin digenjot, kata Khalisah, hutan alam di Indonesia akan semakin terancam, khususnya hutan alam di Papua yang menjadi benteng terakhir Indonesia dari ancaman krisis iklim. Greenpeace hanya berharap, masyarakat sipil dan elemen masyarakat untuk terus bersuara, berani menghentikan dan mengkritisi kebijakan pemerintahan yang baru, jika tidak berpihak pada kelestarian lingkungan hidup dan masyarakat adat. 

"Kekuatan publik yang kritis inilah yang kami harapkan dapat mengawal pemerintahan baru ini," katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya