Pelonggaran Moneter Berlanjut, Bagaimana Prospek Pasar Obligasi?

Pemerintah China telah mengumumkan serangkaian pelonggaran moneter dan komitmen terhadap stimulus fiskal, hal ini mengindikasikan perubahan fokus kebijakan dari pro-stability menjadi pro-growth.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 21 Okt 2024, 16:10 WIB
Pekerja tengah melintas di bawah papan pergerakan IHSG usai penutupan perdagangan pasar modal 2017 di BEI, Jakarta, Jumat (29/12). Perdagangan saham di penghujung tahun ini ditutup langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) pada 2025 diperkirakan masih mengalami moderasi. Sebaliknya, pertumbuhan kawasan Asia diperkirakan membaik karena siklus pengetatan suku bunga sebelumnya yang tidak seagresif AS sehingga dampaknya lebih minor terhadap ekonomi.

Dari dalam negeri, pasar finansial Indonesia menjadi diuntungkan oleh siklus pemangkasan suku bunga AS dan domestik. Senior Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Syuhada Arief menjelaskan, ruang pelonggaran kebijakan moneter diperkirakan masih cukup besar, di tengah peralihan menuju kebijakan pro pertumbuhan.

Potensi pemangkasan suku bunga The Fed diperkirakan masih akan terjadi di kuartal keempat. Namun, besaran pemangkasan suku bunga ke depannya akan tergantung kondisi dan indikator ekonomi yang terjadi.

"Angkanya sendiri diperkirakan tidak akan sebesar dari pemangkasan suku bunga The Fed yang terakhir. Kawasan Asia masih memiliki daya tarik, dipicu stabilitas pertumbuhan ekonomi dan selisih suku bunga riil dengan AS yang berpotensi melebar," kata Arief dalam keterangan resmi, Senin (21/10/2024).

Dari China, pemerintah China telah mengumumkan serangkaian pelonggaran moneter dan komitmen terhadap stimulus fiskal, hal ini mengindikasikan perubahan fokus kebijakan dari pro-stability menjadi pro-growth. Perubahan ini awalnya disambut positif, dan mampu mendorong masuknya arus dana asing secara masif ke pasar saham China.

Namun pasar masih menantikan stimulus fiskal untuk mendukung konsumsi masyarakat yang dipandang dapat lebih efektif mendukung pertumbuhan ekonomi China. Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) menyatakan fokus kebijakan yang beralih dari pro-stability menjadi lebih seimbang antara stabilitas dan pertumbuhan, mengindikasikan potensi kebijakan ke depan dapat menjadi lebih pro-growth.

 


Secara Historis

Papan elektronik menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (30/12/2020). Pada penutupan akhir tahun, IHSG ditutup melemah 0,95 persen ke level 5.979,07. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pemangkasan BI Rate diperkirakan masih akan berlanjut di kuartal keempat tahun 2024, sebagai antisipasi dalam menopang pertumbuhan di tengah risiko perlambatan ekonomi global.

"Inflasi domestik yang rendah dan risiko melambatnya pertumbuhan ekonomi global dapat menjadi faktor pemicu bagi BI untuk lebih cepat memangkas suku bunga," beber Arief.

Menurut Arief, secara historis dalam siklus pemangkasan suku bunga, imbal hasil obligasi cenderung turun selaras dengan besaran pemangkasan yang terjadi.

Outlook pemangkasan BI Rate yang masih terbuka ke depannya memberi potensi investasi jangka panjang yang menarik bagi pasar obligasi dan memberi peluang bagi investor untuk ‘mengunci’ imbal hasil di level menarik saat ini sebelum pemangkasan suku bunga lebih lanjut.

Tingkat imbal hasil SBN 10 tahun masih pada level atraktif, di mana selisih imbal hasil SBN 10 tahun – US Treasury 10 tahun di kisaran 280 bps, di atas rata-rata 250 bps. Sementara itu stabilitas inflasi, nilai tukar Rupiah, arah kebijakan fiskal domestik, serta outlook soft landing AS menjadi faktor risiko yang dapat mempengaruhi outlook pasar obligasi domestik ke depannya.

“Kami memperkirakan, imbal hasil SBN 10 tahun masih ada di kisaran 6,00% – 6,25% hingga akhir tahun ini,” pungkas Arief.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya