Ribuan Tentara Israel yang Serang Gaza Pulang Bawa Trauma dan Gangguan Kesehatan Mental

Sejumlah tentara Israel yang tak kuat mengatasi trauma akibat perang di Gaza memutuskan bunuh diri.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 22 Okt 2024, 04:01 WIB
Selama berminggu-minggu, Rumah Sakit Al-Shifa di Jalur Gaza utara telah menjadi titik fokus pertempuran antara Israel dan militan Palestina. (AP Photo/Victor R. Caivano)

Liputan6.com, Jakarta - Perang di Gaza antara Israel dan Palestina tidak hanya membawa luka dan trauma bagi warga Gaza dan sekitarnya, tetapi juga para tentara Israel yang disebut IDF. Beberapa bahkan memutuskan bunuh diri karena tak kuat menghadapi efek perang.

Salah satunya Eliran Mizrahi, seorang pria beranak empat. Ia diterjunkan ke Gaza usai Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023. Setelah enam bulan di medan perang, tentara cadangan itu ditarik pulang. Ia kembali menjadi orang yang sangat berbeda, efek trauma dari hal yang disaksikannya selama perang di wilayah Gaza.

Mengutip CNN, Senin, 21 Oktober 2024, keluarganya memberitahu bahwa pria itu berusaha mengatasi post-traumatic stress disorder (PTSD) yang dialaminya. Namun sebelum akan kembali dikirim ke medan perang, dia memutuskan bunuh diri. "Dia keluar dari Gaza, tapi Gaza tidak bisa keluar darinya. Dan dia meninggal setelah itu, karena pasca-trauma," kata ibunya, Jenny Mizrahi.

Militer Israel mengatakan pihaknya merawat ribuan tentara yang menderita PTSD atau gangguan kesehatan mental yang disebabkan oleh trauma selama perang. Tidak jelas berapa banyak orang yang bunuh diri karena IDF belum memberikan angka resmi.

Dalam setahun terakhir, agresi militer Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 42.000 orang, menurut Kementerian Kesehatan Palestina. Sementara, PBB melaporkan bahwa sebagian besar korban tewas adalah perempuan dan anak-anak. Kini, konflik meluas ke Lebanon yang membuat sejumlah tentara tambah ketakutan.

"Banyak dari kami sangat takut untuk direkrut kembali untuk berperang di Lebanon," kata seorang petugas medis IDF yang bertugas selama empat bulan di Gaza kepada CNN, berbicara tanpa menyebut nama karena sensitifnya masalah tersebut. "Saat ini banyak dari kita yang tidak mempercayai pemerintah."


Terapi untuk Tentara Israel Tak Membantu

"Tentara Israel mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa mereka telah menargetkan situs Hizbullah di bagian selatan Lebanon dan mereka akan membalas sesuai keinginan mereka," demikian laporan yang dikutip Al Jazeera. (AP Photo/Ohad Zwigenberg)

Bagi banyak tentara, perang di Gaza adalah perjuangan demi kelangsungan hidup Israel dan harus dimenangkan dengan cara apa pun. Namun, perjuangan itu memakan korban mental karena stigma yang melekat, sebagian besar tidak terlihat.

Hasil wawancara dengan tentara Israel, petugas medis, dan keluarga Mizrahi memberikan gambaran tentang beban psikologis yang ditimbulkan oleh perang terhadap masyarakat Israel. Mizrahi dikerahkan ke Gaza pada 8 Oktober tahun lalu dan ditugaskan mengemudikan buldoser D-9, kendaraan lapis baja seberat 62 ton yang mampu menahan peluru dan bahan peledak.

Dia adalah warga sipil hampir sepanjang hidupnya, bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan konstruksi Israel. Setelah menyaksikan pembantaian yang dilakukan Hamas, dia merasa perlu untuk melawan, kata Jenny kepada CNN.

Anggota pasukan cadangan tersebut menghabiskan 186 hari di daerah kantong tersebut hingga terluka di lututnya, diikuti dengan kerusakan pendengaran pada Februari 2024 ketika sebuah granat berpeluncur roket (RPG) menghantam kendaraannya, kata keluarganya. Dia ditarik keluar dari Gaza untuk perawatan, dan pada April 2024 didiagnosis menderita PTSD, dan menerima terapi bicara mingguan.

Namun, terapi itu tidak membantu. "Mereka tidak tahu bagaimana memperlakukan mereka (tentara)," kata Jenny, yang tinggal di pemukiman Ma’ale Adumim di Tepi Barat yang diduduki Israel. "Mereka (tentara) mengatakan perang itu sangat berbeda. Mereka melihat hal-hal yang belum pernah dilihat di Israel."

 


Melihat Hal yang Sangat Sulit Diterima

Foto selebaran yang disediakan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), menunjukkan orang-orang di lokasi serangan udara Israel di sekitar tenda-tenda untuk orang-orang terlantar di dalam tembok Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Deir al-Balah, di Jalur Gaza tengah pada dini hari tanggal 14 Oktober 2024. (Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA)/AFP)

Sejumlah tentara yang bertempur di daerah kantong mengatakan kepada CNN bahwa mereka menyaksikan kengerian yang tidak dapat dipahami oleh dunia luar. Itu pula yang memengaruhi Mizrahi sebelum bunuh diri.

Ketika Mizrahi sedang cuti, dia selalu marah-marah, berkeringat, susah tidur dan menarik diri dari pergaulan, kata keluarganya. Dia mengatakan kepada keluarganya bahwa hanya mereka yang berada di Gaza bersamanya yang bisa memahami apa yang dia alami.

"Dia selalu berkata, tidak ada seorang pun yang akan mengerti apa yang dia lihat," kata saudara perempuannya, Shir. 

Sang ibu berpikir putranya telah membunuh seseorang dan tidak dapat mengatasinya. "Dia melihat banyak orang meninggal. Mungkin dia bahkan membunuh seseorang. (Tapi) kami tidak mengajari anak-anak kami melakukan hal seperti ini," katanya. "Jadi, ketika dia melakukan ini, sesuatu seperti ini, mungkin itu mengejutkannya."

Guy Zaken, teman Mizrahi dan salah satu pengemudi buldoser, memberikan wawasan lebih lanjut tentang pengalaman mereka di Gaza. "Kami melihat hal-hal yang sangat, sangat, sangat sulit," kata Zaken kepada CNN. "Hal-hal yang sulit diterima."

Mantan tentara itu berbicara secara terbuka tentang trauma psikologis yang dialami pasukan Israel di Gaza. Dalam kesaksiannya di Knesset, parlemen Israel, pada Juni lalu, Zaken mengatakan bahwa dalam banyak kesempatan, tentara harus 'menabrak teroris, hidup dan mati, dalam jumlah ratusan'. "Semuanya muncrat," tambahnya.


Trauma Lihat Darah dan Tak Mau Lagi Makan Daging

Anggota keluarga Palestina Abu Dayer menangis di rumah sakit Al-Shifa setelah kematian anggota keluarga dalam serangan udara Israel di Kota Gaza, Senin (17/5/2021). Tercatat ada 212 penduduk Jalur Gaza, Palestina yang kehilangan nyawa di antaranya 61 korban merupakan anak-anak. (MAHMUD HAMS/AFP)

Zaken mengatakan dia tidak bisa lagi makan daging, karena hal itu mengingatkannya pada pemandangan mengerikan yang disaksikannya dari buldosernya di Gaza. Ia juga kesulitan tidur di malam hari karena suara ledakan terngiang-ngiang di kepalanya.

"Ketika Anda melihat banyak daging di luar, dan darah… baik milik kami maupun mereka (Hamas), maka hal itu sangat memengaruhi Anda saat Anda makan," katanya kepada CNN, menyebut tubuh sebagai 'daging'.

Dia mengklaim bahwa sebagian besar dari mereka yang dia temui adalah 'teroris'. "Warga sipil yang kami lihat, kami berhenti dan membawakan mereka air minum, dan kami membiarkan mereka makan dari makanan kami," kenangnya, seraya menambahkan bahwa bahkan dalam situasi seperti itu, pejuang Hamas akan menembaki mereka.

"Jadi, tidak ada yang namanya warga negara," ujarnya mengacu pada kemampuan pejuang Hamas berbaur dengan warga sipil. "Ini adalah terorisme," klaimnya.

Ketika tentara bertemu dengan warga sipil, banyak yang menghadapi dilema moral, menurut petugas medis IDF yang berbicara kepada CNN secara anonim. Ada anggapan bahwa warga Gaza, termasuk warga sipil, 'buruk, mereka mendukung Hamas, mereka membantu Hamas, mereka menyembunyikan amunisi,' kata petugas medis tersebut.

IDF mengaku melakukan semua yang mereka bisa untuk meminimalkan korban sipil di Gaza, termasuk dengan mengirimkan pesan teks, melakukan panggilan telepon, dan menyebarkan selebaran evakuasi untuk memperingatkan warga sipil sebelum serangan. Faktanya, warga sipil di Gaza telah berulang kali terbunuh dalam jumlah besar, termasuk ketika berlindung di wilayah yang oleh militer sendiri ditetapkan sebagai 'zona aman'.

 

Infografis Setahun Agresi Militer Israel ke Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya