Liputan6.com, Mentawai - Tanah Kepulauan Mentawai di Provinsi Sumatera Barat berguncang hebat pada 25 Oktober 2010, pukul 21:42 WIB. Ada gempa bumi dahsyat dengan kekuatan magnitudo 7,2.
Besarnya kekuatan gempa dilaporkan bervariasi, dengan magnitudo 7,2, 7,5, , dan 7,7.
Advertisement
Situs Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut gempa berlangsung sekitar 30 detik. Tak berhenti di situ, gempa juga menimbulkan tsunami dengan ketinggian gelombang bervariasi antara 1 hingga 15 meter yang menerjang kawasan Kepulauan Pagai-Mentawai.
BNPB mencatat, gempa dan tsunami Mentawai 2010 menelan lebih dari 400 korban jiwa dan memicu 15 ribu warga harus mengungsi.
Laporan BBC mengutip Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia menyebut getaran gempa terasa di kota-kota di Provinsi Bengkulu dan Sumatra bagian barat.
Laporan awal menyebutkan kedalaman gempa bumi 33 km (20,5 mil), tetapi ini kemudian direvisi oleh Survei Geologi AS.
Kemudian diberitakan pusat gempa M berada 78 kilometer sebelah barat kecamatan Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai dengan kedalaman 10 kilometer.
Kedalaman gempa yang dangkal mendorong Pusat Peringatan Tsunami Pasifik yang berbasis di AS untuk mengeluarkan peringatan level watch (pemantauan).
"Ada guncangan yang berlangsung sekitar tiga detik atau lebih," kata juru bicara badan penanggulangan bencana Indonesia Priyadi Kardono kepada kantor berita AFP.
"Warga panik dan berlarian ke bukit...," imbuh Priyadi Kardono.
Sesaat setelah guncangan gempa, dilaporkan terjadi tsunami setinggi 3 meter lebih menyapu lebih dari 15 dusun di pantai barat Pulau Pagai Selatan, Pagai Utara, dan Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Konon ratusan orang tewas karena tidak sempat menyelamatkan diri. Sebab saat kejadian, mayoritas warga tengah beritirahat dan tidur setelah seharian beraktivitas.
Indonesia sering dilanda gempa bumi. Lebih dari 1.000 orang tewas akibat gempa bumi di lepas pantai Sumatra pada September 2009.
Sebelumnya pada Juni 2009, sedikitnya tiga gempa bumi dahsyat melanda wilayah tersebut, merobohkan rumah-rumah dan menyebabkan tiga orang meninggal.
Pada Desember 2004, gempa berkekuatan magnitudo 9,1 di lepas pantai Aceh memicu tsunami di Samudra Hindia yang menewaskan seperempat juta orang di 13 negara termasuk Indonesia, Sri Lanka, India, dan Thailand.
Indonesia terletak di "Cincin Api" Pasifik, salah satu wilayah dengan gempa bumi dan gunung berapi paling aktif di dunia.
Kisah Sedih dari Gempa Mentawai
Dalam buku berjudul Tsunami Mentawai yang disusun oleh Pusat Data dan Analisis Tempo, warga yang tinggal di Kota Padang, Kabupaten Solok, Bukittinggi, dan Payakumbuh turut merasakan gempa. Bahkan getaran sampai ke Bengkulu meski skalanya lemah.
Saat gempa terjadi, seorang warga bernama Candra sedang bercengkerama dengan bayinya, Girson Irfraek, di tempat tidur. Sang suami, Kresianus, terlelap di samping mereka. Kala itu, jarum jam menunjuk pukul 21.42.
Namun, bagi Candra, gempa malam itu tak terlalu mengkhawatirkan. Itu sebabnya, ia balik lagi ke rumah, yang jaraknya 50 meter dari tepi pantai, setelah gempa berakhir.
Mereka berniat tidur. Tapi, 10 menit masuk rumah, Candra mendengar suara mirip ledakan dari laut. Menurut Candra, suaminya membuka pintu dan melongok ke arah laut.
Tapi ia tak melihat apa-apa. Malam terlalu gelap dan hujan masih mengguyur. Tapi mereka mulai panik. Kresianus menggendong Girson dan mengajak istrinya kembali ke luar rumah. Mereka berlari menuju jalur evakuasi yang telah dibangun sepanjang dua kilometer ke arah bukit.
Dari laut gemuruh ombak besar terasa semakin dekat. Orang-orang ternyata sudah memadati satu-satunya jalan evakuasi itu. Tapi gelombang tinggi dari kanan Muntei mengejar lebih cepat. Lalu gelombang kedua lebih besar menyapu dari kiri. Dua gelombang itu bertemu, seperti bertepuk menghancurkan kampung.
Kresianus berteriak meminta istrinya jangan berhenti berlari. Candra melihat banyak warga tergulung air laut. Teriakan minta tolong terdengar di mana-mana.
Tak lama setelah itu, gelombang kembali datang, menghantam pasangan ini. Candra terpisah dengan suami dan anaknya. la merasakan sebatang pohon kelapa yang terbawa air menabraknya. Candra jatuh telentang dan terkubur pasir.
Candra masih mengingat, malam itu hujan masih terus mengguyur. Namun gelombang air laut susulan tidak datang lagi. Satu jam kemudian dia ditemukan Rulisman, tetangganya. Bersama warga lainnya, Rulisman mengangkat pohon kelapa yang menindih tubuh Candra.
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi warga Muntei. Perempuan dan lelaki sibuk mencari sanak keluarganya. Tak mudah melakukannya pada malam yang gelap-gulita itu. Satu-satunya tanda hanyalah suara rintihan. Orang-orang akan datang ke arah suara lalu memberikan pertolongan.
Candra pun berusaha mencari sang suami dan bayinya. Dia tertegun. Air matanya mengucur deras ketika mendapati sang suami tak lagi bernyawa. Tubuhnya tertimpa puing bangunan yang roboh.
Advertisement