Liputan6.com, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto bakal menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk menghapus hak tagih bank kepada para peminjam yang telah dihapusbukukan utangnya.
Pengusaha sekaligus adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo mengatakan, itu jadi salah satu cara untuk memperkuat penyaluran kredit bank ke pelaku usaha, baik UMKM maupun pengusaha besar.
Advertisement
"Mungkin minggu depan, Pak Prabowo akan tekan suatu Perpres, Pemutihan. Sedang disiapkan oleh Pak Supratman, Menteri Hukum. Semua sesuai dengan undang-undang. Mungkin minggu depan, saya berharap minggu depan ya beliau akan tanda tangan Perpres pemutihan," ujar Hashim di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (23/10/2024).
Hashim menyebut kebijakan ini diambil Prabowo mengetahui ada sekitar 6 juta nelayan, petani, dan pelaku UMKM tak bisa mengakses kredit perbankan. Lantaran, bank masih memiliki hak tagih meski utang tersebut telah dihapusbukukan.
Sehingga data 6 juta orang tersebut terbaca bermasalah di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Ada utang 20 tahun lalu, utang dari Krismon 1998. Hutang dari 2008. utang dari mana-mana, 5-6 juta petani dan nelayan. Mereka sekarang terpaksa karena tidak boleh pinjam lagi dari perbankan. Setiap kali mereka masuk SLIK di OJK ditolak," bebernya.
"Semua utang ini sudah dihapusbukukan sudah lama. Dan sudah diganti oleh asuransi perbankan. Tapi hak tagih dari bank belum dihapus. Sehingga 6 juta ini, 5 juta ini mereka tidak bisa dapat kredit. Mereka kemana? Ke rentenir dan pinjol," dia menambahkan.
Pada kesempatan sama, konglomerat sekaligus Ketua Dewan Usaha Kadin Indonesia Chairul Tanjung menyampaikan, salah satu kendala yang dihadapi industri dalam negeri untuk tumbuh yakni sulitnya mendapatkan akses permodalan dari bank.
"Memang jujur aturan dari OJK. Ini yang membatasi perbankan untuk memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan, mau kecil, menengah, besar yang tidak capable secara perbankan," ungkap dia.
Penyesuaian Aturan
"Karena ada 3 pilar, 4 pilar yang harus dipenuhi. Ini sebenarnya adalah memakai kaedah-kaedah internasional. Dengan Basel 3, Basel 2, dan yang sebagainya. Nah sebenarnya menurut saya, basel-basel ini itu harusnya kita bisa adoptive tetapi dengan adjustable," urainya.
Penyesuaian aturan itu dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dalam negeri. Sebab, pertumbuhan ekonomi nasional turut ditopang oleh pertumbuhan kredit yang juga tinggi.
"Jadi kalau Pak Prabowo ingin (pertumbuhan ekonomi) 8 persen, itu growth kredit perbankannya mungkin di atas 20-30 persen. Kalau cuma growth-nya single digit, apalagi cuma belasan, ya belasan nggak mungkin. Itu salah satu keyword daripada tumbuhnya ekonomi," tuturnya.
Advertisement
BI Proyeksikan Pertumbuhan Kredit Era Prabowo Tembus 13%
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) optimistis pertumbuhan kredit 2024 di kisaran 10-12 persen, dan 2025 pada masa Pemerintahan Prabowo Subianto diproyeksikan bisa menembus angka 10-13 persen.
"Kami masih yakin bahwa pertumbuhan kredit tahun ini bisa mendekati batas atas 10-12 persen, tahun depan 11-13 persen," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil RDG Oktober 2024, di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (16/10/2024).
Adapun pertumbuhan kredit pada September 2024 tetap kuat, mencapai 10,85% (yoy). Dari sisi penawaran, kuatnya pertumbuhan kredit didukung oleh minat penyaluran kredit yang terjaga, berlanjutnya realokasi alat likuid ke kredit oleh perbankan, dan dukungan KLM Bank Indonesia.
Perry mencatat hingga minggu kedua Oktober 2024, Bank Indonesia telah menyalurkan insentif KLM sebesar Rp256,5 triliun kepada kelompok bank BUMN sebesar Rp119 triliun, bank BUSN sebesar Rp110,2 triliun, BPD sebesar Rp24,6 triliun, dan KCBA sebesar Rp 2,7 triliun.
"Insentif KLM tersebut disalurkan kepada sektor-sektor prioritas, yaitu Hilirisasi Minerba dan Pangan, UMKM, Sektor Otomotif, Perdagangan dan Listrik, Gas dan Air (LGA), serta s ektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif," ujarnya.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan kredit didukung oleh kinerja usaha korporasi yang terjaga. Secara sektoral, pertumbuhan kredit pada mayoritas sektor ekonomi tetap kuat, terutama pada sektor Jasa Dunia Usaha, Perdagangan, Industri, Pertambangan, dan Pengangkutan.
Berdasarkan kelompok penggunaan, pertumbuhan kredit modal kerja, kredit konsumsi, dan kredit investasi, masing-masing sebesar 10,01% (yoy), 10,88% (yoy), dan 12,26% (yoy) pada September 2024.
Kemudian, pembiayaan syariah tumbuh sebesar 11,37% (yoy), sementara kredit UMKM tumbuh 5,04% (yoy), membaik dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 6% pada Oktober 2024
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) 6,00%, suku bunga Deposit Facility 5,25%, dan suku bunga Lending Facility 6,75% pada Oktober 2024.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 15-16 Oktober memutuskan untuk mempertahankan BI rate sebesar 6 persen, Deposit Facility tetap 5,25%, dan suku bunga Lending Facility tetap 6,75%," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers RDG Oktober 2024, di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (16/10/2024).
Keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi pada sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025 serta untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Perry menegaskan, fokus kebijakan moneter dalam jangka pendek ini diarahkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah karena meningkatnya ketidakpasian pasar keuangan global.
"Ke depan Bank Indonesia terus mencermati ruang penurunan suku bunga kebijakan dengan tetap memperhatikan prospek inflasi, nilai tukar rupiah, dan pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Advertisement
Kebijakan Makroprudensial
Perry menyampaikan, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran juga terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, termasuk UMKM dan ekonomi hijau, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Kebijakan sistem pembayaran diarahkan juga untuk turut mendorong pertumbuhan, khususnya sektor perdagangan baik besar maupun ritel maupun UMKM, memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.