Siap-Siap, Mobil Listrik Bakal Makin Menjamur di Era Prabowo

Konversi kendaraan BBM ke listrik menjadi prioritas kebijakan energi di era Presiden Prabowo.

oleh Septian Deny diperbarui 24 Okt 2024, 14:30 WIB
Presiden Prabowo Subianto didampingi Wapres Gibran Rakabuming Raka memimpin sidang perdana Kabinet Merah Putih di Istana, Jakarta, Rabu (23/10/2024). (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Liputan6.com, Jakarta Menindaklanjuti arahan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bergerak cepat menggelar rapat pimpinan (rapim) guna memperkuat upaya mewujudkan swasembada energi. Beberapa langkah yang dibahas antara lain peningkatan lifting minyak dan konversi kendaraan berbahan bakar minyak (BBM) menjadi listrik.

Wakil Menteri ESDM Yuliot menegaskan bahwa rapat tersebut membahas indikator kinerja utama yang harus dicapai oleh para pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian ESDM. "Rapat ini untuk memastikan setiap direktorat teknis memiliki kinerja yang selaras dengan arahan Presiden. Kita menetapkan apa saja yang bisa dicapai sesuai dengan target," ujar Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (23/10).

Yuliot menjelaskan, arahan Presiden Prabowo terkait sektor energi menekankan dua hal utama, yaitu ketahanan energi dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang baik untuk mendukung pembangunan serta kesejahteraan masyarakat.

"Pertama, bagaimana memastikan ketahanan energi. Kedua, pengelolaan SDA harus optimal agar bisa mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat," katanya.

Yuliot juga menegaskan pentingnya kendali penuh oleh Kementerian ESDM dalam pelaksanaan program tersebut, tanpa bergantung pada kementerian atau lembaga lain. "Kita ingin memastikan kinerja tetap berada dalam kendali Kementerian ESDM, meski koordinasi dengan kementerian lain tetap diperlukan agar target dapat tercapai," ujarnya.

Untuk mencapai swasembada energi, Kementerian ESDM akan fokus pada peningkatan lifting minyak yang saat ini berada di angka sekitar 600.000 barel per hari. Yuliot menekankan perlunya peningkatan produksi minyak sesuai dengan target nasional guna mendukung ketahanan energi.

Selain itu, konversi kendaraan BBM ke listrik juga menjadi prioritas. "Semakin banyak penggunaan kendaraan listrik, konsumsi BBM akan berkurang. Ini salah satu strategi penting kita," jelas Yuliot.

 


Tekan Konsumsi BBM

Penggunaan BBN itu dilakukan untuk menekan tingkat sulfur ke level terendah hingga mencapai 50 PPM. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Upaya lain yang dilakukan untuk menekan konsumsi BBM adalah pengoptimalan program Bahan Bakar Nabati (BBN), yang saat ini berada di level B35. Pemerintah berencana meningkatkan campuran biodiesel menjadi B40, B50, hingga B60.

"Saat ini masih di B35, tapi ada rencana untuk naik ke B40, B50, dan B60. Tentu hal ini membutuhkan kebijakan pendukung, termasuk terkait bahan baku biosolar yang berasal dari kelapa sawit. Kita akan mendorong pelaku usaha yang belum mengekspor produk sawitnya untuk memasarkan di dalam negeri sebagai bahan baku biosolar," pungkas Yuliot.

Upaya peningkatan lifting minyak, konversi kendaraan, dan pengembangan bahan bakar nabati menjadi bagian integral dari strategi pemerintah untuk mewujudkan kemandirian energi, sekaligus mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. 


Prabowo Bakal Kembangkan Biodiesel B60, Pengusaha Sawit: Jangan Gegabah

Ilustrasi CPO 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana meningkatkan produksi biodiesel atau bahan bakar minyak campur sawit hingga 60 persen (B60).

Merespon hal itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, menganggap suatu peluang besar guna mengoptimalkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Kendati begitu, Eddy meyakini Pemerintah tidak akan gegabah dalam menjalankan program biodiesel saat produksi sawit dalam negeri masih stagnan.

"Saya sangat yakin pemerintah tidak akan gegabah mengimplementasikan B50 selama produksi masih stagnan seperti," kata Eddy dalam konferensi pers di Kantor Pusat Gapki, Jakarta Pusat, Selasa (22/10/2024).

Eddy menilai, jika pemerintah gegabah dalam mengimplementasikan program biodiesel, maka akan mengorbankan ekspor sawit Indonesia. Alhasil, hal itu bisa membuat jumlah devisa menurun.

"Yang akan dikorbankan, betul, pasti ekspor. Yang kedua, bagaimana nanti dengan ekspor, devisa ekspor. Yang ketiga adalah siapa yang akan membiayai B50 tersebut? Kalau ekspornya kurang, misalkan B35 saat ini kan pembiayaan dari pungutan ekspor," jelasnya.

 


Pangkas Ekspor

Sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Foto: Freepik/9images

Berdasarkan perhitungan Gapki, apabila B40 diimplementasikan bisa memangkas jumlah ekspor sebesar 2 juta ton. Kemudian jika B50 bisa memangkas ekspor sebesar 6 juta ton sawit.

"Sekali lagi saya meyakini bahwa pemerintah tidak akan gegabah selama produksi tidak mencukupi. Dengan B40 saja, kalau diimplementasikan ini, ekspor kita akan turun 2 juta ton. Kemudian kalau kita memaksakan B50, ekspor kita akan turun 6 juta ton dari rata-rata di 30 juta ton," ujar Eddy.

Lebih lanjut, Eddy juga mengingatkan agar Pemerintah memperhatikan potensi inflasi jika pasokan ekspor sawit Indonesia ke pasar dunia berkurang. Lantara, Indonesia akan terdampak imbasnya juga.

"Apabila supply kita berkurang ke dunia, pasti harga juga akan naik, harga minyak nabati dunia. Ujung-ujungnya apa, nanti akan berdampak juga pada inflasi juga bagi kita dengan mahalnya nanti segala produk dari sawit," jelasnya.

 

 

Infografis Tuntutan dan Alasan Buruh Tolak Kenaikan Harga BBM. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya