Sensasi Maknyos Permen Davos, Si Putih Menyegarkan yang Menembus Zaman

Ada satu keyakinan Ling mengapa permen Davos tetap eksis sampai sekarang: rapalan doa para pekerja. Itu yang membuat perusahaan memilih tetap pakai tenaga manusia, meski sebenarnya ada opsi menggantinya dengan mesin.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 01 Nov 2024, 00:00 WIB
Permen Davos. (Liputan6.com/ Dok Davos)

Liputan6.com, Jakarta - Orang-orang yang lahir di era 80-90an meyakini dirinyalah sebagai generasi paling bahagia. Besar dan dewasa di zaman serba 'analog' bukan digital, membuat gen milenials—sebutan untuk mereka, hidup dengan segudang cerita dan pengalaman indah masa lalu. Cerita-cerita masa lalu itu menjadi kenangan manis yang sekelebatan muncul saat melihat dan merasakan kembali artefak tahun 90-an di zaman ini. Salah satunya saat masih bisa merasakan sensasi maknyos permen legendaris Davos.

Dari segudang merek permen yang bermunculan pada era 80-90an, Davos menjadi permen yang punya tempat tersendiri di hati generasi milenial, bahkan mungkin sampai saat ini. Permen mint berwarna putih itu bukan hanya melegakan tenggorokan, tapi juga menjadi teman setia saat wakuncar tiba.

"Entah kenapa gue kalau ngomongin permen jadul, ingatnya Davos, soalnya sampai sekarang masih ada, packaging-nya juga enggak berubah," kata Heru, seorang milenials.

"Permen karet juga hits kan dulu karena ada Lupus, tapi kalau ngomongin merek permennya, permen karet kan banyak, terus kalau permen karet kitanya enggak fanatik ke satu merek saja, beda sama Davos, apalagi sampai sekarang masih ada ya kan," kata Indri, milenials yang lain.

"Gila sih, permen jadul masih bertahan sampai sekarang, ngeliatnya aja langsung flashback, apalagi kalau ngerasain lagi, bisa senyum-senyum sendiri," kata Indri lagi.

Jika menilik sejarahnya, keberadaan permen Davos sebenarnya sudah dimulai sejak 1931, saat Sim Kie Djian mendirikan pabrik permen tersebut di Purbalingga, di bawah bendera PT Slamet Langgeng. Dari catatan Sejarah itu, Davos bisa dibilang sebagai permen rasa mint pertama di Indonesia, bahkan cocok jika disebut permen tertua di Indonesia. Menariknya, pabrik permen Davos sampai saat ini masih berada di Purbalingga, di tempat pertama kali pabrik itu didirikan, di Jalan Ahmad Yani 67, Kandang Gampang, Purbalingga, Jateng, dan tanpa proses pemugaran sama sekali.

Sejarah panjang PT Slamet Langgeng sebagai produsen permen di Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada 28 Desember 1931. Nama 'Slamet' diambil dari nama gunung di Purbalingga, sedangkan 'Langgeng' adalah harapan agar perusahaan permen ini bisa bertahan selamanya. Terinspirasi dari pegunungan berhawa sejuk di Swiss, pendiri PT Slamet Langgeng kemudian memproduksi permen dengan nama 'Davos'.  

Awalnya, permen legendaris ini memakai nama 'Kembang Gula Davos' dan mencapai puncak keemasannya pada era 1933-1937. Pasang surut perang kemerdekaan, membuat perjalanan bisnis permen mint ini tidak selalu berjalan mulus. Sampai pada 1942, pada masa penjajahan Jepang, penjualan permen Davos anjlok, bisnis permen itu sempat berada pada titik nadir. Tiga tahun berselang, perusaahaan berhasil survive dan bangkit kembali. Bisnis permen Davos kembali berjalan on the track, dan hingga saat ini bertahan sampai empat generasi.  

Ling Tedjo, Vice President Director PT Slamet Langgeng yang juga istri Budi Handojo, pemilik dan pemimpin pabrik Davos generasi sekarang kepada tim Regional Liputan6.com, Jumat (25/10/2024), menceritakan sekelumit sejarah awal berdirinya permen Davos.

Ling mengungkap, Siem Kie Djian awalnya adalah seorang pedagang gula pasir di wilayah Purbalingga. Seiring dengan usaha gulanya yang terus berkembang, dia kemudian mulai memproduksi kembang gula alias permen di sebuah tempat kecil. Permen itu didistribusikan awalnya pada skala kecil di sekitaran Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap. Bahkan proses distribusi masih menggunakan gerobak sapi.

"Pada masa itu perusahaan memproduksi kembang gula jenis permen mint dengan merek Davos dan Kresno. Pada awal mulanya perusahaan ini merupakan suatu perusahaan yang kecil, hal ini terbukti dari tempat kerjanya yang hanya menggunakan satu ruangan kecil untuk tempat mesin pencetak permen dan sangat terbatas jumlahnya. Perusahaan semakin berkembang dan mulai mengembangkan produk minuman, yaitu produk Limun, tepatnya pada 20 Maret 1933. Waktu semakin berjalan perusahaan semakin berkembang yang akhirnya pada 20 Februari 1937 perusahaan mengembangkan kembali produk baru yaitu produksi biskuit," kata Ling.

Pada 1942, saat masa revolusi terjadi, perusahaan mengalami dampak sehingga produksi merosot dan yang akhirnya tidak bisa dihindari perusahaan mengalami kemacetan. Setelah berakhirnya revolusi, perusahaan mulai dirintis kembali. Berkat keuletan dan kerja keras Siem Kie Djian dan dibantu beberapa stafnya, yaitu Gunawan Budihardjo, Tedjo Harsono, dan Bapak Budi Winarno, perusahaan  kembali bangkit dan semakin maju pesat.

"Setelah perkembangan perusahaan semakin baik dan berkembang yang akhirnya dibentuk dari perusahaan perorangan menjadi perusahaan comanditer yaitu CV dan direalisasikan pada 6 Mei 1959," katanya.

Perjalanan perusahaan CV ini tidak berlangsung lama, karena perusahaan diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT), dengan akte notaris Soetardjo Soemoatmodjo di Purwokerto pada 31 Maret 1961, dengan nomor akte notaris 24 dan disahkan di PT tersebut dengan nama PT Purbasari & CO.

Mengingat nama perusahaan tersebut ditolak Menteri Kehakiman RI kala itu, maka nama perusahaan tersebut diubah menjadi PT Slamet Langgeng & CO. Dengan pengesahan akte notaris no 44 pada 29 September 1961. Dengan aktivitas produksi antara lain permen dengan merek Davos, Kresno, Alpina, dan Davos Lux, dan produksi Limun dengan merek Slamet, produksi biskuit dengan merek Slamet.

Pada 1961 sampai 1967 perusahaan PT Slamet Langgeng & CO dipimpin Siem Tjong An, namun karena Tjong An akan meneruskan studinya di Belanda, maka jabatan kepemimpinan dipegang Tony Siswanto Hardi sejak 1968.

"Pada 1973 biskuit dan limun tidak diproduksi lagi karena mengalami kesulitan pemasaran," katanya.

Kemudian pada 1 Juli 1983, Tony Siswanto Hardi meninggal dunia, tampuk pimpinan perusahaan berpindah ke Corie Simadibrata sampai Mei 1985. Mengingat usia Corie yang juga sudah sepuh, maka kepemimpinan dialihkan ke Budi Handojo Hardi pada medio 1985 sampai saat ini dibantu putranya, yaitu Nicodemus Hardi .

"Di tangan Budi PT Slamet Langgeng melakukan pembenahan dan penataan sistem manajemen di seluruh departemen termasuk departemen pemasaran," katanya.

Dari perjalanan panjang itu siapa yang sangka, ruangan kecil tempat produksi permen itu dahulu, kini sudah berubah menjadi bangunan pabrik dengan luas mencapai 6.000 meter persegi, lengkap dengan 8 unit mobil boks distribusi. Meski pabriknya sudah berubah pesat, namun cita rasa mint permen Davos masih sama seperti dulu.

Ling sendiri menjamin, permen Davos menggunakan 98 persen gula pasir asli dan sisanya mentol ditambah zat pengikat. Permen Davos, katanya, sejak dulu tidak pernah menggunakan bahan pengawet dan pemanis buatan sehingga permen bisa bertahan lama dan tidak mudah rusak. Yang pasti, Ling berani mengatakan, cita rasa permen Davos tidak pernah berubah dari dulu. 


Bertahan 4 Generasi

Permen Davos merupakan permen mint pertama di Indonesia. (Liputan6.com/ArisAndrianto).

Setidaknya ada beberapa faktor mengapa permen Davos mampu bertahan hingga empat genarasi dalam waktu 90 tahun, selain karena rasa mintnya yang mampu melegakan tenggorokan. Pertama, rekrutmen karyawan pabrik Davos dilakukan secara turun-menurun.

Bukan hanya dikelola oleh keluarga secara turun-menurun, pabrik permen Davos juga memperkerjakan karyawan dari generasi-generasi sebelumnya. Hal ini yang membuat rasa kekeluargaan sesama karyawan di dalam pabrik menjadi sangat kental. Sikap kekeluargaan yang dibangun di dalam managemen dan pabrik menjadi salah satu hal yang membuat bisnis permen Davos menjadi langgeng sampai hari ini.

Faktor kedua adalah prinsip kemanusiaan yang dipegang oleh pabrik Davos. Mungkin masih banyak orang yang tidak tahu bahwa semua peralatan yang digunakan pabrik permen Davos jauh dari kata canggih alias jadul. Bukan tanpa alasan, sang pemilik memang sengaja menggunakan alat-alat jadul di dalam pabrik meski sebenarnya penggunaan alat canggih mampu meningkatkan efisiensi dan memangkas waktu produksi. Menurut Ling, hal ini justru menjadi berkat bagi perusahaan hingga mampu bertahan sampai saat ini.

"Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, PT Slamet Langgeng tetap memegang teguh prinsip bahwa tenaga manusia adalah kunci kesuksesan perusahaan. Bagi kami, mesin hanyalah alat bantu, tetapi hati dan doa-doa tulus dari para karyawanlah yang membawa perusahaan ini berdiri kokoh hingga hari ini," katanya.

Sejak awal berdiri, kata Ling, PT Slamet Langgeng telah melalui berbagai tantangan, baik di bidang ekonomi maupun persaingan pasar. Namun, yang selalu menjadi kekuatan utama perusahaan bukanlah kecanggihan teknologi, melainkan dedikasi dan kebersamaan para karyawan yang bekerja dengan sepenuh hati.

"Setiap hari, mereka bukan hanya datang untuk menyelesaikan tugas, tetapi juga membawa harapan dan doa-doa untuk keberlangsungan perusahaan ini," kata Ling.

Ling sangat meyakini, keberkahan perusahaan datang dari ketulusan para pekerja yang bekerja dengan niat baik. Doa-doa para pekerja menjadi energi yang melampaui sekadar efisiensi produksi.

"Itulah yang membuat kami tetap memilih untuk mempertahankan tenaga manusia dalam banyak proses kerja, meskipun ada opsi untuk menggantinya dengan mesin," ungkap Ling.

Dengan mengandalkan kekuatan manusia dan kepercayaan doa-doa, PT Slamet Langgeng terus tumbuh sampai saat ini, tidak hanya sebagai entitas bisnis, tetapi sebagai keluarga besar yang berkomitmen untuk saling mendukung. Ling yakin, selama kebersamaan ini terus terjalin, masa depan perusahaan akan tetap cerah, diberkahi, dan penuh harapan.

Faktor lainnya yang membuat permen Davos bisa bertahan hingga saat ini adalah, Ling sebagai generasi keempat pemilik pabrik Davos sangat menjaga kualitas produk. Dari generasi awal sampai ke generasi keempat, tidak pernah sekalipun pihak manajemen pabrik mengurangi kadar mint dalam permen, bahkan bentuknya tidak pernah diubah, sehingga kualitasnya dijamin terjaga.

Permen Davos telah menjadi bagian dari kenangan banyak generasi, dengan rasa semriwing yang khas dan kesegaran yang tak tergantikan. Namun, di tengah semakin banyaknya merek permen di pasaran dan perubahan gaya hidup yang lebih menekankan pada kesehatan, Davos menyadari bahwa inovasi adalah kunci untuk tetap relevan di masa kini.

"Saat ini, masyarakat semakin peduli dengan apa yang mereka konsumsi. Gaya hidup sehat menjadi prioritas utama, dengan banyak orang yang beralih ke produk-produk yang tidak hanya lezat, tetapi juga aman dan bermanfaat bagi kesehatan. Di sinilah inovasi permen Davos hadir sebagai jawaban. Kami kedepannya akan mengembangkan varian baru yang rendah gula, bahkan aman untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes," ungkap Ling

 

 


Inovasi Adalah Kunci

Bagi Ling, inovasi menjadi kunci untuk bisa bertahan di tengah gempuran kemajuan teknologi dan semakin berkembangnya peradaban manusia. Inovasi formula baru permen Davos tentu dilakukan dengan tetap mempertahankan kesegaran dan cita rasa khas permen legendaris itu. Penggunaan bahan-bahan alami yang ramah kesehatan tidak mengurangi kenikmatan rasa mint yang sejak lama menjadi ciri khas permen Davos.

"Inovasi ini lahir dari komitmen kami untuk tidak hanya memberikan permen yang menyegarkan, tetapi juga permen yang bisa dinikmati oleh semua orang, termasuk mereka yang perlu menjaga asupan gula," katanya. 

Selain itu, permen Davos juga berkolaborasi dengan ahli kesehatan dan nutrisi untuk memastikan bahwa setiap butir permen Davos kini lebih dari sekadar permen biasa. Davos adalah pilihan yang lebih bijak bagi mereka yang peduli dengan kesehatan, namun tetap ingin menikmati kesegaran alami.

"Di dunia yang semakin cepat berubah, Davos hadir sebagai permen yang tetap setia pada akar tradisinya, namun tidak ketinggalan zaman. Dengan inovasi yang berfokus pada kesehatan, kami memastikan bahwa Davos bukan hanya bagian dari masa lalu, tetapi juga solusi di masa kini, dan pilihan yang aman bagi mereka yang mengutamakan kesehatan," kata Ling.

Produksi permen Davos telah melalui banyak perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Tantangan yang dihadapi dulu dan sekarang sangat berbeda, terutama dalam hal teknologi, preferensi konsumen, dan regulasi kesehatan.

"Dulu konsumen cuma fokus pada rasa dan fungsi dasar permen, seperti efek menyegarkan. Mereka cenderung mencari produk yang enak dan fungsional tanpa terlalu memperhatikan kandungan nutrisi atau efek kesehatan jangka panjang," ungkap Ling.

Sekarang berbeda, konsumen moderen lebih sadar akan kesehatan dan sangat selektif dalam memilih produk yang ingin dikonsumsi. Konsumen cenderung ingin menghindari produk dengan kandungan gula tinggi, pewarna buatan, dan bahan pengawet, serta lebih menyukai produk yang rendah kalori, bebas gula, atau berbahan alami.

"Ini memaksa produsen seperti Davos untuk menyesuaikan resep dan formula agar sesuai dengan tren hidup sehat," kata Ling.

Zaman dulu, kata Ling, regulasi kesehatan dan keamanan pangan tidak seketat sekarang. Produsen memiliki lebih banyak kelonggaran dalam hal menggunakan bahan dan proses produksi. Namun sekarang peraturan sangat ketat, penggunaan bahan tambahan, dan pelabelan produk membuat perusahaan harus lebih berhati-hati.

"Ada tuntutan untuk menyertakan informasi gizi yang jelas, serta mematuhi regulasi mengenai kandungan gula, terutama karena permintaan produk yang aman bagi penderita diabetes dan orang yang peduli dengan kesehatan," ungkap Ling.

Belum lagi persaingan pasar. Dulu, kata Ling, persaingan di pasar permen cenderung lebih sederhana, dengan sedikit merek yang mendominasi pasar. Permen Davos mungkin lebih mudah dikenali karena kurangnya variasi merek yang bersaing secara global. Tapi sekarang pasar permen saat ini jauh lebih kompetitif, apalagi dibukanya keran pasar bebas, yang memungkinkan permen-permen produksi luar negeri bisa masuk ke Indonesia.

"Secara keseluruhan, produksi permen Davos di masa kini menghadapi tantangan yang lebih kompleks daripada di masa lalu. Selain memastikan produk tetap enak dan menyegarkan, Davos juga harus beradaptasi dengan tren kesehatan, teknologi, serta regulasi yang terus berubah untuk bisa bertahan di pasar yang semakin kompetitif dan sadar lingkungan," kata Ling.

Kini Davos bukan hanya sekadar permen, si putih menyegarkan ini telah menjadi artefak, bagian yang tak terpisahkan bagi generasi 90an, teman yang selalu ada di kala suka maupun duka. Ling yakin, di tengah makin banyaknya merek permen dengan kompleksitas rasa yang ditawarkan, ada satu hal yang dimiliki permen Davos tapi tidak ada di permen lain: kenangan.  

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya