Konferensi Paris Hasilkan USD 1 miliar untuk Bantu Lebanon

Perang antara Israel dan Hizbullah di Lebanon belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 26 Okt 2024, 14:06 WIB
Gumpalan asap membubung tinggi disertai puing-puing beterbangan mengiringi keruntuhan bangunan tersebut. (Foto: AFP)

Liputan6.com, Paris - Sebuah konferensi internasional untuk Lebanon di Paris, Prancis, pada Kamis (24/10/2024) berhasil mengumpulkan USD 1 miliar dalam bentuk komitmen atas bantuan kemanusiaan dan dukungan militer guna membantu negara itu, di mana perang antara Hizbullah dan Israel telah menyebabkan 1 juta orang mengungsi, menewaskan lebih dari 2.500 orang, dan memperparah krisis ekonomi.

Dalam pidatonya, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot seperti dilansir AP, Sabtu (26/10) mengatakan, "Kami secara kolektif telah mengumpulkan USD 800 juta dalam bentuk bantuan kemanusiaan dan USD 200 juta untuk pasukan keamanan, itu sekitar USD 1 miliar."

Konferensi Paris mempertemukan lebih dari 70 negara dan organisasi internasional.

Presiden Prancis Emmanuel Macron telah meminta para peserta membawa bantuan besar-besaran untuk mendukung Lebanon. Prancis sendiri telah menjanjikan USD 100 juta.

"Kami siap menghadapi tantangan tersebut," kata Barrot. "Amerika Serikat (AS) berjanji untuk menyediakan sekitar USD 300 juta."

Jerman menjanjikan total 96 juta euro dalam bentuk bantuan kemanusiaan untuk Lebanon dan Suriah, yang juga sangat terpengaruh oleh meningkatnya kekerasan di Timur Tengah. Italia mengumumkan minggu ini tambahan bantuan sebesar USD 10,8 juta untuk Lebanon.

PBB sebelumnya memperkirakan kebutuhan kemanusiaan yang mendesak di Lebanon sebesar USD 426 juta.

Namun, para ahli memperingatkan bahwa penyaluran bantuan dapat menjadi tantangan karena ketergantungan Lebanon yang semakin besar pada ekonomi informal dan tunai meningkatkan kurangnya transparansi dan risiko korupsi.

Memperkuat Angkatan Bersenjata Lebanon

Konferensi Paris juga bertujuan untuk mengoordinasikan dukungan internasional guna memperkuat angkatan bersenjata Lebanon, sehingga mereka dapat dikerahkan di wilayah selatan negara tersebut sebagai bagian dari kesepakatan potensial untuk mengakhiri perang. Kesepakatan semacam itu dapat membuat Hizbullah menarik pasukannya dari perbatasan.

Menurut Macron, dukungan untuk militer Lebanon mencakup bantuan perawatan kesehatan, bahan bakar, peralatan kecil dan selain itu dukungan terhadap rencana untuk merekrut sedikitnya 6.000 tentara tambahan dan memungkinkan pengerahan sedikitnya 8.000 tentara tambahan di wilayah selatan.

Prancis berupaya pula membantu memulihkan kedaulatan Lebanon dan memperkuat lembaga-lembaganya. Lebanon, di mana Hizbullah secara efektif beroperasi sebagai negara dalam negara, telah tanpa presiden selama dua tahun sementara faksi-faksi politik gagal mencapai kesepakatan tentang yang baru.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres melalui rekaman video meminta para pemimpin Lebanon untuk mengambil tindakan tegas guna memastikan berfungsinya lembaga-lembaga negara dengan baik guna menghadapi tantangan politik dan keamanan negara yang mendesak.


Lebanon Mendesak Dunia Internasional Bertindak

Para pekerja migran terpaksa mengungsi untuk menghindari pemboman Israel di Lebanon selatan. (Joseph EID/AFP)

Penjabat Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati mendesak masyarakat internasional untuk mengambil tindakan.

"Dampak yang menghancurkan dari perang ini terhadap negara kami tidak dapat dilebih-lebihkan dan telah meninggalkan jejak kehancuran dan kesengsaraan. Agresi Israel tidak hanya menyebabkan penderitaan manusia yang sangat besar dan hilangnya nyawa, namun juga menimbulkan kerusakan parah pada infrastruktur, ekonomi, dan tatanan sosial negara," kata Mikati pada hari Kamis di Paris.

Di Lebanon, serangan udara Israel menewaskan tiga tentara Lebanon, termasuk seorang perwira, pada hari Kamis dini hari saat mereka mengevakuasi orang-orang yang terluka di Lebanon selatan. Militer Lebanon mengatakan pasukan Israel telah menargetkannya sebanyak delapan kali sejak perang habis-habisan antara Israel dan Hizbullah pecah pada bulan September.

Israel dalam sebulan terakhir telah melancarkan serangan udara besar-besaran dan invasi darat ke Lebanon dengan alasan menargetkan Hizbullah. Serangan mereka menghantam Beirut dan sejumlah tempat lainnya.

Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyebutkan sekitar 800.000 orang mengungsi, dengan banyak yang sekarang berada di tempat penampungan yang penuh sesak, sementara yang lain telah melarikan diri melintasi perbatasan ke Suriah. Mikati pada hari Kamis memperkirakan jumlah orang yang mengungsi lebih dari 1,4 juta, termasuk 500.000 anak-anak.

Pemerintah Tidak Siap Menghadapi Krisis

Pemerintah Lebanon yang kekurangan uang tidak siap menghadapi krisis atau meningkatnya tuntutan terhadap sistem kesehatannya. Pada saat bersamaa, militer Lebanon telah terpukul keras oleh krisis ekonomi selama lima tahun. Persenjataannya sudah tua dan tidak ada pertahanan udara, sehingga tidak dapat bertahan melawan serangan Israel.

Lebanon memiliki sekitar 80.000 tentara, sekitar 5.000 di antaranya ditempatkan di selatan. Hizbullah memiliki lebih dari 100.000 pejuang, menurut mendiang pemimpin kelompok militan tersebut, Hassan Nasrallah. Persenjataan Hizbullah, yang dibangun dengan dukungan dari Iran, dilaporkan lebih canggih.

Mendukung Pasukan Penjaga Perdamaian PBB

Peserta Konferensi Paris turut membahas cara mendukung misi penjaga perdamaian PBB yang beranggotakan 10.500 tentara, UNIFIL. Negara-negara Eropa termasuk Prancis, Italia, dan Spanyol menyediakan sepertiga dari pasukan tersebut.

Italia yang memiliki lebih dari 1.000 pasukan di UNIFIL mendorong pasukan penjaga perdamaian diperkuat agar mampu menghadapi situasi baru di lapangan, kata seorang diplomat negara itu, yang berbicara secara anonim untuk membahas pembicaraan yang sedang berlangsung.

Guterres menegaskan pada hari Kamis bahwa serangan terhadap pasukan penjaga perdamaian PBB sama sekali tidak dapat diterima dan bertentangan dengan hukum internasional, bertentangan dengan hukum humaniter internasional, dan dapat merupakan kejahatan perang.

"Hubungan historis Prancis dengan Lebanon, bekas koloni, dan diplomasinya yang berpengaruh memberi Paris momentum untuk mengoordinasikan respons yang tepat terhadap tantangan besar yang ditimbulkan oleh perang di Lebanon saat ini," kata pakar Timur Tengah Rym Montaz.

"Yang kami tahu adalah bahwa tanpa angkatan bersenjata Lebanon dan UNIFIL yang diperkuat, tidak akan ada perdamaian dan stabilitas yang berkelanjutan di perbatasan antara Lebanon dan Israel," ujar Montaz. "Karena itu, upaya Prancis penting dan krusial untuk jalan ke depan."

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya