Komisi XII Todong Kelanjutan Hilirisasi Nikel: What's Next?

Komisi XII DPR RI mempertanyakan kelanjutan program hilirisasi nikel di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Komisi baru yang membidangi urusan energi dan sumber daya mineral, lingkungan hidup serta investasi ini menuntut kelanjutan investasi di sektor pengolahan (smelter) nikel.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 25 Okt 2024, 17:45 WIB
Ilustrasi Nikel

Liputan6.com, Jakarta Komisi XII DPR RI mempertanyakan kelanjutan program hilirisasi nikel di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Komisi baru yang membidangi urusan energi dan sumber daya mineral, lingkungan hidup serta investasi ini menuntut kelanjutan investasi di sektor pengolahan (smelter) nikel.

Ketua Komisi XII Bambang Patijaya mengemukakan, program hilirisasi nikel perlu investasi lanjutan. Sebab menurutnya, investasi yang masuk pertama saat ekspor bijih nikel mentah dilarang per 1 Januari 2020, masih belum tuntas. Belum kepada lanjutan yang bersifat manufaktur.

"Jadi saya lihat pada fenomena yang ada, produk NPI (nickel pig iron), produk feronikel pada bursa komoditas di Shanghai paling diminati. Karena beli barang ini jackpot, beli nikel jackpot-nya mineral yang lain," kata Bambang dalam sesi diskusi publik bersama Partai Golkar, Jumat (25/10/2024).

Pada tahap berikutnya, ia berharap pemerintah menuntut kewajiban daripada investasi yang ada untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya.

"Karena apa, cadangan kita akan menipis. Saprolite, limonite, itu tinggal berapa sih. Kita pernah hitung dengan angka yang konstan, saprolite itu habis dalam 10 tahun. Limonite dari pabrik yang beroperasi, 25 tahun," ungkap Bambang.

"Dari kata-katanya sendiri, nikel limonite, itu rumus kimianya depannya (Fe) loh, bukan nikel. Ini lah yang saya maksud, bahwa pada mineral ikutan yang dimaksud pada produk-produk hasil olahan tersebut, ternyata ada mineral lain. Saya pikir ini perlu optimasi PNBP," pintanya.

Dengan banyaknya unsur-unsur kimia lain yang melekat pada nikel, Bambang lantas meminta keseriusan dari investasi-investasi yang sudah ada. Khususnya dalam menciptakan produk turunan untuk pemasukan tambahan bagi negara.

"Kan kita pingin hilirisasi nikel yang berkelanjutan. Ketika dia digolongkan sebagai mineral strategis, mineral kritis, what next? Jadi kita akan kawal itu," tegas dia.

Berikutnya, ia mendorong sinkronisasi kebijakan antara hulu dan hilir. Bambang lantas menyoroti berbagai regulasi yang sudah ada. Semisal Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 269.K/MB.01/MEM.BE 2023 tentang penetapan mineral kritis, dan Kepmen ESDM Nomor 69.K/MB.01/MEM.BE/2024 tentang penetapan mineral strategis.

"Next-nya apa? Karena kita harus siap, 20 tahun lagi saprolite-nya pasti habis. Sebelum dia habis, nilai tambahnya apa? Regulasi harus ada link and match dengan kebutuhan industri juga," tutur dia.


Disertasi Bahlil Dinilai Relevan Jawab Tantangan Hilirisasi Nikel

Untuk diketahui, proses pelantikan Bahlil sebagai Menteri ESDM berlangsung di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Senin ini. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebbelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia resmi meraih gelar S3 Doktor Bidang Kajian Stratejik dan Global dari Universitas Indonesia (UI). Bahlil sukses menjadi doktor dengan predikat cumlaude setelah menyampaikan disertasi berjudul: Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia.

Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Industri Mineral Republik Indonesia (DPP AIMRI) Bidang Eksternal, Ravindra menilai, disertasi Bahlil relevan dan dapat menjawab tantangan Hilirisasi Nikel di Indonesia.

"Disertasi yang disusun dengan pendekatan kuantitatif tersebut, diteliti melalui instrumen Analytical Hierarchy Process yang membedah dampak positif dari Hilirisasi Nikel serta tantangan dan hambatannya”, kata Ravindra seperti dikutip dari keterangan diterima, Jumat (18/10/2024).

Ravindra menambahkan, disertasi Bahlil adalah terobosan akademik yang mutakhir dalam tata kelola pertambangan di indonesia, khususnya Nikel. Selain itu, Bahlil juga menganalisa persoalan-persoalan dalam Sektor Pertambangan Nikel yang selama ini menjadi penghambat laju Hilirisasi Nikel di Indonesia.

"Dalam disertasi nya, Pak Bahlil mengurai setidaknya empat persoalan pokok dalam hilirisasi nikel. Empat masalah tersebut antara lain adalah ketidakadilan dana transfer daerah, keterlibatan pengusaha daerah yang minim, keterbatasan partisipasi perusahaan Indonesia dalam sektor hilirisasi bernilai tambah tinggi, dan belum adanya rencana diversifikasi pasca tambang,” ungkap Ravindra.

Ravindra mencatat, soal diversifikasi pasca tambang dalam diskusi internal yang digelar DPP AIMRI, sangat berkaitan dengan keberlanjutan ekosistem bisnis pasca mine-out suatu IUP OP. Sehingga tetap bisa memiliki manfaat bagi masyarakat.

“Masalah-masalah pokok dalam Hilirisasi Nikel tersebut memang persoalan yang benar-benar terjadi dalam Tata Kelola Pertambangan Nikel yang sering menjadi Diskusi di dalam Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Industri Mineral Republik Indonesia (DPP AIMRI) yang dipimpin oleh Ketua Umum Achyar Al Rasyid dan Sekretaris Jenderal Ali Zakkyudin,” beber dia.


AIMRI Siap Terlibat

Mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bahlil Lahadalia memberi hormat saat tiba di Istana, Jakarta, Selasa (22/10/2019). Bahlil dipanggil Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menempati salah satu pos kementerian di Kabinet Kerja Jilid II. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Maka dari itu, Ravindra memastikan demi menjawab berbagai persoalan tersebut, AIMRI siap terlibat dan sangat mendukung agar segera dilakukan pembentukan Satuan Tugas (SATGAS hilirisasi) yang dapat mengorkestrasikan implementasi kebijakan Hilirisasi yang memperkuat tata kelola kebijakan dan kelembagaan.

“Tujuannya agar dapat berkontribusi mewujudkan Hilirisasi yang berkeadilan dan berkelanjutan," dia menandasi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya