Indonesia Ingin Gabung BRICS, Pengamat: Bagi Prabowo Punya Banyak Opsi Lebih Baik daripada Hanya Kerja Sama dengan Barat

Menlu Sugiono menyatakan prioritas BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 26 Okt 2024, 08:00 WIB
Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Xi Jinping, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono dan sejumlah pemimpin negara/utusan khusus berpose saat menghadiri KTT BRICS di Kazan, Rusia, Kamis, (24/10/2024). (Alexander Nemenov, Pool Photo via AP)

Liputan6.com, Jakarta - Langkah mengejutkan diumumkan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (Menlu RI) Sugiono, yakni proses negara ini untuk bergabung menjadi anggota BRICS telah dimulai. Disebut mengejutkan karena hal ini terjadi dalam hitungan hari setelah pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto berkuasa dan sikap hati-hati yang ditunjukkan oleh pemerintahan sebelumnya.

"Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif," tutur Menlu Sugiono via pernyataan tertulis tertanggal 24 Oktober 2024. "Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum."

"Kita juga melihat prioritas BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih, antara lain terkait ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan ataupun pemajuan sumber daya manusia."

KTT BRICS di Kazan, Rusia, yang berlangsung pada 22-24 Oktober menjadi tujuan lawatan perdana Menlu Sugiono sejak dilantik pada Senin (21/10).

Lewat BRICS, kata Sugiono, Indonesia ingin mengangkat kepentingan bersama negara-negara berkembang atau Global South.

"Kita lihat BRICS dapat menjadi kendaraan yang tepat untuk membahas dan memajukan kepentingan bersama Global South," kata Menlu Sugiono.

"Namun kita juga melanjutkan keterlibatan atau engagement kita di forum-forum lain, sekaligus juga terus melanjutkan diskusi dengan negara maju."

Contoh konkret keberlanjutan sebut Sugiono antara lain, "Bulan depan bapak presiden akan ikuti KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil, sementara saya juga diundang menghadiri pertemuan tingkat Menlu kelompok negara maju G7 expanded session di Fiuggi, Italia. Hal ini menegaskan peran penting Indonesia sebagai bridge builder atau jembatan antara negara berkembang dan negara maju."

Lantas, bagaimana pengamat membaca situasi tersebut?

"Jadi, dari segi timing sebenarnya Indonesia memastikan bahwa kita tidak ketinggalan kereta terlalu jauh dengan segala yang berkembang di BRICS. BRICS itu dianggapnya sebagai opsi lain. Pak Prabowo itu pola pikirnya, kalau saya lihat sejauh ini, tidak mau ditutup kemungkinannya, tidak mau ditutup peluangnya, tidak mau ditutup jalannya. Jadi, bagi beliau itu punya beberapa opsi jauh lebih baik daripada hanya kerja sama dengan pihak Barat," terang pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja kepada Liputan6.com, Jumat (25/10).

BRICS adalah kelompok informal yang awalnya beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Kelompok ini pertama kali diinisiasi pada tahun 2006 untuk membahas isu-isu terkini global. Keanggotaannya diperluas pada tahun 2023 dengan bergabungnya Ethiopia, Iran, Mesir, dan Uni Emirat Arab.

"Dari sisi perbandingan dengan negara-negara lain, sebenarnya momen sekarang itu memang belum ada negara yang terlalu commit pada satu organisasi. Bahkan, yang sudah lama hidup dalam organisasi, seperti di Uni Eropa atau bahkan di ASEAN sekalipun, itu sudah mulai lirik-lirik mencari kemungkinan jalan yang lebih baik, situasi keuntungan yang lebih baik, coba juga join ke perkumpulan yang lain. Jadi, ini sedang dalam proses pembentukan era baru di tingkat global, di mana negara-negara dunia itu sedang dalam proses pembentukan grup-grup baru," tutur Dinna.

"Memang kalau ditengok lagi, selama lima tahun terakhir, bahkan 10 tahun terakhir, keadaan yang hari ini bukan tiba-tiba muncul. Namun, lahir dari satu situasi internasional, di mana organisasi-organisasi yang ada itu tidak bisa menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan buat semua negara. Jadi, ada negara-negara yang terpinggirkan dan di situlah akhirnya kumpul negara-negara BRICS. Kemudian, negara BRICS juga merepresentasikan negara-negara yang kalau tidak disukai oleh Barat maka mereka akan menemukan jalan sulit, dikunci jalannya, ditutup jalannya. Dengan mereka punya jalan alternatif bersama-sama maka ada solusinya."

Dinna lebih lanjut menggarisbawahi hubungan Indonesia dengan Eropa maupun Amerika Serikat (AS) secara ekonomi belum mengalami perkembangan yang cukup menguntungkan.

"Prospeknya itu belum kelihatan baik. Sejumlah hal justru kita malah mengalami kebuntuan negosiasi, seperti contohnya Indonesia-EU CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement). Dan dengan AS, kita juga belum jelas komitmen AS dari segi ekonomi, perdagangan, itu akan seperti apa," ujar Dinna.

"Keterlibatan di BRICS ini bukan melulu soal perdagangan dan ekonomi atau investasi saja sih sebenarnya, namun buat negara yang situasinya sangat penting untuk terus berkembang secara ekonomi, seperti Indonesia, itu menjadi salah satu faktor yang tidak bisa dinafikan."

Pengamat Hubungan Internasional Teuku Rezasyah menandai potensi yang mesti diwaspadai Indonesia bila bergabung dengan BRICS.

"Barat berpotensi menekan secara tidak langsung, antara lain di sektor investasi dan akses menuju pasar mereka," ungkap Rezasyah kepada Liputan6.com pada Jumat.

Di lain sisi, Rezasyah menyebut peluang percepatan dalam mengisi unsur kerja sama strategis yang selama ini tertunda dapat menjadi potensi keuntungan keanggotaan Indonesia di BRICS.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya