Jumbo, Laut Filipina Barat Jadi Pusat Perdagangan Internasional Senilai USD 3,4 Triliun

Kekhawatiran para investor terhadap situasi di West Philippine Sea semakin meningkat, terutama mengingat posisi kawasan ini sebagai pusat lalu lintas perdagangan internasional yang mencapai nilai sekitar USD 3,4 triliun di South China Sea.

oleh Elyza Binta Chabibillah diperbarui 26 Okt 2024, 18:00 WIB
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri alias Kadin Indonesia versi Munaslub 2024-2029, Anindya Bakrie. Presiden Prabowo Subianto telah melantik 48 menteri dan 56 wakil menteri dalam jajaran Kabinet Merah Putih besutannya periode 2024-2029. Kabinet gemuk Prabowo ini turut mengundang tanggapan dari kelompok pengusaha.

Liputan6.com, Jakarta Kekhawatiran para investor terhadap situasi di West Philippine Sea semakin meningkat, terutama mengingat posisi kawasan ini sebagai pusat lalu lintas perdagangan internasional yang mencapai nilai sekitar USD 3,4 triliun di South China Sea.

Chairman Indonesian Chamber of Commerce and Industry (ICCI), Anindya Bakrie, menyampaikan bahwa angka ini mencerminkan pentingnya peran strategis kawasan dalam ekonomi global._

“South China Sea, termasuk West Philippine Sea, adalah jalur perdagangan yang sangat vital. Setiap tahun, nilai perdagangan yang melewati perairan ini mencapai USD 3,4 triliun, sehingga menjadikannya sebagai salah satu titik paling strategis di dunia untuk ekonomi internasional,” ujar Anindya.

Keamanan di wilayah ini sangat krusial untuk memastikan stabilitas pasokan global, mulai dari barang-barang konsumsi hingga sumber daya energi.

Kekhawatiran terhadap keamanan dan ketidakstabilan di West Philippine Sea menjadi perhatian utama bagi para investor. Sebagai bagian dari ASEAN, kawasan ini memainkan peran signifikan dalam menggerakkan roda ekonomi Asia Tenggara.

Anindya juga menekankan bahwa ASEAN memiliki ekonomi gabungan sebesar USD 3,6 triliun, dengan Indonesia dan Filipina berkontribusi besar dalam perekonomian kawasan tersebut.

“ASEAN, khususnya Indonesia dan Filipina, menyumbang lebih dari setengah ekonomi ASEAN, sehingga stabilitas di South China Sea bukan hanya soal keamanan, tetapi juga fundamental bagi ekonomi kita,” tambahnya.

Dengan nilai perdagangan yang begitu besar di kawasan ini, Anindya menekankan pentingnya kerjasama antarnegara ASEAN dalam menjaga stabilitas. Melalui ko-investasi dan perlindungan terhadap biodiversitas, Indonesia mendukung inisiatif-inisiatif Filipina dalam menjaga keseimbangan ekonomi dan lingkungan di West Philippine Sea.

 

 


Indonesia jadi Model Perlindungan Laut Filipina Barat

Philippine Business Club Indonesia (PBCI) sukses menyelenggarakan forum bertajuk “Dampak Laut Filipina Barat terhadap Perdagangan & Investasi ASEAN”

Philippine Business Club Indonesia (PBCI) sukses menyelenggarakan forum bertajuk “Dampak Laut Filipina Barat terhadap Perdagangan & Investasi ASEAN” di Hotel Westin Jakarta, Jum’at (25/10/2024). Acara ini menghadirkan tokoh-tokoh terkemuka yang membahas isu-isu utama terkait Laut Filipina Barat, serta dampaknya pada perdagangan, investasi, dan keamanan kawasan Asia Tenggara.

Pidato utama disampaikan oleh CEO dan Pendiri ASEAN International Advocacy and Consultancy, Shanti Shamdasani serta Presiden Pendiri Kerjasama Pembangunan Internasional & Keamanan dari Universitas Filipina, Chester B. Cabalza, PhD. Hadir pula HE Gina Jamoralin, PhD, dari Kedutaan Besar Filipina di Indonesia yang memberikan sambutan, serta Ketua PBCI Antonio Capati yang membuka forum.

Acara ini dihadiri oleh para perwakilan Komunitas Ekspatriat Filipina, komunitas diplomatik, serta pihak-pihak dari Philippine Trade & Investment Corp (PTIC) Jakarta. Fokus diskusi mencakup dampak ekonomi dari konflik Laut Filipina Barat, keputusan UNCLOS, hingga ketegangan yang dipicu oleh klaim tumpang tindih Tiongkok di Laut Cina Selatan yang juga diklaim beberapa negara ASEAN.

Forum ini juga menyoroti praktik terbaik dari perlindungan Indonesia terhadap Kepulauan Natuna. Pengalaman Indonesia dalam menjaga kedaulatan di wilayah tersebut dipandang sebagai model yang dapat diadopsi dalam melindungi Laut Filipina Barat. Para peserta juga menekankan pentingnya Kode Etik dalam menangani konflik maritim, yang dinilai dapat meredam ketegangan dan meningkatkan stabilitas di perairan yang diperebutkan.

Topik menarik lainnya adalah pembicaraan bertajuk “Apa yang Diinginkan Filipina? Melindungi Laut Filipina Barat (WPS) di Laut Cina Selatan (LCS).” Para pembicara menggarisbawahi pentingnya pengakuan tatanan berbasis aturan di kawasan maritim yang disengketakan, terutama dalam upaya menjaga keseimbangan antara kepentingan perdagangan dan keamanan di Asia Tenggara.

 

  


Isu Strategis

Bendera negara anggota ASEAN (Wikimedia Commons)

Pembahasan ini juga mengangkat isu strategis terkait peran Filipina dalam menghadapi ancaman keamanan eksternal, khususnya dalam konteks dinamika baru di kawasan Indo-Pasifik. Para pembicara menekankan bahwa Filipina tengah mengembangkan strategi pertahanan teritorial yang kuat untuk mengelola tantangan di perairan sengketa, sekaligus memperkokoh posisi ASEAN di kawasan tersebut.

Forum PBCI ini bertepatan dengan perayaan 75 tahun hubungan diplomatik antara Filipina dan Indonesia. Momentum ini dinilai dapat menjadi landasan yang kuat bagi kedua negara untuk memperkuat kerja sama dalam menjaga stabilitas di Laut Filipina Barat dan Laut Cina Selatan. 

Kerja sama dalam penyusunan dan peningkatan kode etik di kawasan maritim pun diharapkan dapat menciptakan hubungan yang lebih solid antara kedua negara sebagai sekutu strategis di Asia Tenggara.

 


Langkah Kohesif

Ilustrasi (AFP)

Dalam penutupan forum, para peserta sepakat bahwa ASEAN perlu mendorong langkah yang lebih kohesif dalam menghadapi isu Laut Filipina Barat. Upaya ini diharapkan dapat meminimalisir konflik dan membangun blok yang solid di antara negara-negara pengklaim di kawasan Laut Cina Selatan.

Filipina menyatakan harapannya agar Tiongkok menghormati dan mengakui hak kedaulatan Filipina di Laut Filipina Barat. “Kami membutuhkan bantuan ASEAN, Indonesia, agar kami bisa lebih baik mengartikulasi norma maritim ini ke China, dan China harus mengenali Arbitral Award 2016,” tutup Chester, sambil menambahkan bahwa dialog yang lebih terbuka diharapkan dapat membawa stabilitas bagi kawasan.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya