Liputan6.com, Jakarta - Seorang tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan lima mantan tahanan Palestina mengungkapkan bahwa militer Israel telah menggunakan warga Palestina sebagai tameng manusia di Gaza. Praktik dikenal dengan protokol antinyamuk, melibatkan pemaksaan warga sipil untuk memasuki rumah dan terowongan yang berpotensi dipasangi jebakan, demi melindungi militer Israel dari bahaya.
Mengutip dari laman CNN, Sabtu (26/10/2024), kesaksian ini menyoroti praktik yang diduga tersebar luas di berbagai wilayah Gaza, termasuk Gaza utara, Kota Gaza, Khan Younis, dan Rafah. Skala dan cakupan pasti dari praktik ini masih belum diketahui, namun laporan ini memberikan pandangan mendalam tentang pelanggaran hukum internasional yang terjadi di lapangan.
Advertisement
Seorang tentara IDF, yang berbicara kepada CNN melalui organisasi Breaking the Silence, menjelaskan bahwa unitnya menggunakan dua tahanan Palestina sebagai tameng manusia untuk menyelidiki gedung-gedung berbahaya. "Kami menyuruh mereka untuk memasuki gedung sebelum kami, katanya. Jika ada jebakan, mereka akan meledak dan bukan kami," ungkapnya.
Prajurit tersebut mengaku terkejut dengan praktik ini, namun merasa tertekan untuk mengikuti perintah demi melindungi nyawa rekan-rekannya. Setelah dua hari, ia dan rekan-rekannya menolak melanjutkan praktik tersebut dan mengonfrontasi komandan senior mereka. Akhirnya, kedua warga Palestina tersebut dibebaskan, menandakan bahwa mereka tidak berafiliasi dengan Hamas.
Breaking the Silence juga menyediakan tiga foto yang menggambarkan militer Israel menggunakan warga Palestina sebagai tameng manusia di Gaza. Foto-foto ini memperlihatkan situasi yang mengkhawatirkan dan menambah bobot kesaksian prajurit tersebut.
Tanggapan Militer Israel dan Hukum Internasional
Dalam sebuah pernyataan, militer Israel menegaskan bahwa arahan dan pedoman IDF secara tegas melarang penggunaan warga sipil Gaza untuk operasi militer. Namun, kesaksian tentara dan mantan tahanan menunjukkan bahwa praktik ini tetap terjadi di lapangan.
Hukum internasional melarang penggunaan warga sipil untuk melindungi aktivitas militer. Pada tahun 2005, Mahkamah Agung Israel melarang praktik ini setelah kelompok hak asasi manusia mengajukan pengaduan tentang penggunaan warga sipil Palestina oleh militer untuk mengetuk pintu rumah-rumah tersangka militan di Tepi Barat. Hakim Aharon Barak menyebut praktik tersebut kejam dan biadab.
Penggunaan warga sipil sebagai tameng manusia oleh militer Israel menimbulkan pertanyaan serius tentang etika dan kepatuhan terhadap hukum internasional. Meskipun Israel menuduh Hamas menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia, kesaksian ini menunjukkan bahwa praktik serupa juga dilakukan oleh IDF.
Lebih dari 42.000 warga Palestina telah tewas di Gaza sejak Oktober tahun lalu, menurut Kementerian Kesehatan Palestina. Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa sebagian besar korban tewas adalah warga sipil.
Advertisement
Menambah Kompleksitas
Dalam konteks ini, praktik penggunaan tameng manusia oleh militer Israel menambah kompleksitas dan keprihatinan terhadap konflik yang berkepanjangan di wilayah tersebut. "Prajurit yang memberikan kesaksian menyatakan, Kami melihat Hamas menggunakan warga Palestina sebagai tameng manusia," kata Hakim Aharon.
"Tetapi bagi saya, itu lebih menyakitkan dengan pasukan saya sendiri. Hamas adalah organisasi teroris. IDF seharusnya tidak menggunakan praktik organisasi teroris. Kesaksian ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk meninjau dan mereformasi praktik militer di wilayah konflik," ungkapnya lagi.
Wawancara dengan lima mantan tahanan Palestina di Gaza sesuai dengan cerita tentara tersebut. Semuanya menggambarkan penangkapan oleh pasukan Israel dan dipaksa memasuki tempat-tempat yang berpotensi berbahaya sebelum militer.
Serangan udara Israel awal tahun ini memaksa Mohammad Saad (20), meninggalkan rumahnya di Jabalya, di Gaza utara. Dari rumah sementaranya di dekat Khan Younis, di antara selimut yang digantung di langit-langit, Saad menjelaskan bahwa ia dijemput oleh militer Israel di dekat Rafah, saat berusaha mendapatkan bantuan makanan untuknya dan adik-adiknya.
Warga Didandani dengan Seragam Militer
"Tentara membawa kami dengan jip, dan kami menemukan diri kami di dalam Rafah di sebuah kamp militer," katanya, seraya menambahkan bahwa ia ditahan di sana selama 47 hari, dan selama waktu itu digunakan untuk misi pengintaian guna menghindari menempatkan tentara Israel dalam risiko.
"Mereka mendandani kami dengan seragam militer, memasang kamera pada kami, dan memberi kami pemotong logam,” katanya.
Para tentara Israel juga akan meminta warga sipil melakukan hal-hal seperti, ‘pindahkan karpet ini,’ dengan mengatakan bahwa mereka sedang mencari terowongan. ‘Rekam di bawah tangga,’ kata mereka. Jika mereka menemukan sesuatu, mereka akan menyuruh kami membawanya keluar. Misalnya, mereka akan meminta kami untuk mengeluarkan barang-barang dari rumah, membersihkan di sini, memindahkan sofa, membuka kulkas, dan membuka lemari.”
Para tentara itu ketakutan, jelasnya, terhadap bahan peledak tersembunyi. "Saya biasanya mengenakan seragam militer, tetapi untuk misi terakhir, mereka membawa saya dengan pakaian sipil,” kata Saad.
Peluru berdenting saat ia mendekati tank, dan Saad mengatakan ia tertembak di bagian punggung. Ajaibnya, ia selamat, dan dibawa ke Pusat Medis Soroka, di Israel. Ketika ia diwawancarai oleh CNN dua minggu kemudian di Khan Younis, ia mengangkat bajunya untuk memperlihatkan luka tempat peluru menembus punggungnya.
Advertisement