Memafkan Tapi Tidak Mau Bertemu, Bagaimana Hukumnya dalam Islam? Begini Jawaban Ustadzah Oki

Penjelasan Ustazah Oki Setiana Dewi perihal hukum memaafkan orang lain namun menolak untuk bertemu secara langsung menurut islam.

oleh Putry Damayanty diperbarui 28 Okt 2024, 12:30 WIB
Ilustrasi memaafkan, memberikan dukungan dan semangat. (Image by jcomp on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam proses interaksi kehidupan sosial manusia tak jarang terjadi kesalahpahaman ataupun kekhilafan yang barangkali sulit untuk ditolerir dan dimaafkan begitu saja.

Padahal kita tentunya tahu bahwasanya Islam sangat memuliakan orang-orang yang dengan ikhlas memaafkan kesalahan ataupun perlakukan buruk dari orang lain terhadap dirinya. 

Sebab tak dipungkiri memaafkan lebih sulit untuk dilakukan daripada meminta maaf, terlebih jika hati merasa sangat tersakiti oleh orang lain yang melukai.

Bahkan ada yang sudah memaafkan namun memutuskan untuk tidak ingin berjumpa secara langsung dengan orang tersebut. Lantas bagaimanakah Islam memandang tentang hal ini? Berikut ulasannya dikutip dari genmusim.id.

Ustadzah Oki Setiana Dewi menjelaskan perihal masalah seseorang yang telah dilukai hatinya oleh orang lain.

 

Saksikan Video Pilihan ini:


Belajar dari Kisah Wahsyi

Lalu ia mencoba untuk ikhlas memaafkannya, namun karena masih teringat akan kesalahannya sehingga ia enggan untuk berjumpa dengan seseorang yang telah melukai hatinya itu diperbolehkan dalam Islam.

Karena hal tersebut telah terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw, ketika pada saat peristiwa perang uhud. Dimana Rasulullah melakukan perang uhud bersama pamannya yang bernama Hamzah bin Abu Muthalib, yang dikenal dengan sebagai singa-Nya Allah SWT.

Dan ada seorang wanita yang bernama Hindun, beliau adalah istri dari seorang pembesar Quraisy yang bernama Abu sufyan.

Pada suatu hari Hindun meminta kepada salah satu budaknya yang bernama Wahsyi dengan memberikan sebuah perintah yang begitu keji. Dimana Hindun memberikan perintah kepada Wahsyi, jika dirinya (wahsyi) bisa membunuh Nabi Muhammad, atau sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, atau Hamzah bin Abu Muthalib, maka dirinya (wahsyi) akan dibebaskan menjadi budak dan ia akan merdeka.

Tentu tawaran itu langsung diterima oleh Wahsyi, karena ia ingin merdeka dan agar terbebas dari budak. Sehingga, pada saat perang Uhud berlangsung, Wahsyi langsung mengincar Hamzah bin Abu Muthalib untuk dijadikan sasarannya pada kesempatan perang tersebut.

Dari kejauhan Wahsyi fokus untuk melihat gerak-gerik Hamzah bin Abu Muthalib, dan sampai dirasa pada saat yang tepat, Wahsyi langsung melemparkan tombaknya kea rah Hamzah bin Abu Muthalib. Dan tombak tersebut tepat mengenai perut Hamzah bin Abu Muthalib. Sehingga Hamzah menjadi syahid pada perang Uhud tersebut.


Memaafkan Tapi Menolak Berjumpa

Ilustrasi minta maaf, merasa bersalah, menyesal. (Image by user18526052 on Freepik)

Kejadian tersebut membuat hati Rasulullah teramat sakit dan sedih akibat wafatnya Hamzah bin Abu Muthalib pada perang uhud.

Bagaimana tidak? Ketika jenazah pamannya Hamzah bin Abu Muthalib akan kuburkan, Hindun datang dan langsung membuka jenazah Hamzah bin Abu Muthalib dan kemudian dibelah dadanya Hamzah bin Abu Muthalib dan dimakan jantungnya.

Ketika Rasulullah melihat keadaan wafat pamannya seperti itu, tentu rasa sedih yang begitu luar biasa dirasakan oleh Rasulullah SAW. Dan waktu terus berjalan, hingga sampailah pada peristiwa pada tahun 8 hijriah, yakni pada peristiwa Fathu Mekkah (pembebasan kota mekah).

Orang-orang berbondong-bondong untuk memasuki agama Allah, termasuk Wahsyi. Sehingga pada saat itu, Rasulullah pun langsung mengenali Wahsyi lalu bertanya kepadanya:

“Apakah engkau Wahsyi yang telah membunuh pamanku yang bernama Hamzah bin Abu Muthalib”?

Wahsyi pun menjawab sambil menundukkan kepalanya.

“Benar wahai Rasulullah”.

Lalu Rasulullah pun meminta dirinya untuk menceritakan kembali kepadanya, atas kejadian wafat pamannya yang bernama Hamzah bin Abu Muthalib yang telah dibunuh oleh dirinya. Dan Wahsyi pun lalu menceritakan kembali kronologinya kepada Rasulullah. Sehingga pada saat itu, Rasulullah pun teringat kembali atas kejadian itu, hingga membuat dirinya sedih atas wafat pamannya yang bernama Hamzah bin Abu Muthalib. 

Kemudian Rasulullah pun berkata kepada Wahsyi:

“Saya memaafkan engkau wahai Wahsyi, namun saya tidak sanggup untuk memandang wajahmu, karena setiap kali memandang wajahmu, akan teringat pada kejadian perang uhud dulu, maka jauhkanlah wajahmu dari hadapanku selamanya”, ucap Rasulullah.

Maka, dari kisah ini kita bisa belajar, bahwasanya jika kita telah memaafkan seseorang yang telah menyakiti hati kita tapi tidak mau untuk berjumpa itu sangat diperbolehkan dalam Islam. Karena untuk lebih menjaga hati kita, agar tetap bersih dan terhindar dari hal-hal yang mampu mengotori hati kita.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya