Liputan6.com, Jakarta - Penantian panjang Vietnam untuk mendapatkan status pasar negara berkembang akan segera berakhir.
Mengutip CNBC, Senin (28/10/2024), saat ini Vietnam diklasifikasikan sebagai pasar perintis dan telah masuk dalam daftar pantauan pasar berkembang FTSE sejak 2018. Penyedian indeks global FTSE Russell mengonfirmasi awal bulan ini kalau telah mempertahankan Vietnam dalam daftar pantauannya.
Advertisement
FTSE Russell menyoroti dukungan pemerintah Vietnam untuk reformasi pasar dan merekomendasikan lebih banyak pertemuan antara otoritas lokal dan investor asing.
Peningkatan status ke pasar berkembang dapat mendorong dana global mengalir hingga miliaran dolar Amerika Serikat (AS) ke pasar keuangan Vietnam. Saat ini, nilai pasar Vietnam sedikit di atas USD 200 miliar.
Kepada CNBC, Head of Equity Research Maybank Investment Bank Thanh Quan Trong menuturkan, peningkatan FTSE untuk status Vietnam ke pasar berkembang dapat terjadi paling cepat pada September 2025.
Itu adalah target serupa yang juga ditetapkan oleh Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh awal tahun ini seiring FTSE Russell merekomendasikan negara itu untuk tetap pada laju reformasinya saat ini jika ingin memenuhi tenggat waktu tersebut.
"Kami melihat kemajuan yang baik di Vietnam dalam memperbaiki hambatan regulasi untuk meningkatkan pasar ke status pasar berkembang,” ujar Trong.
Ia menuturkan, pemerintah Vietnam fokus pada ekonomi lagi yang membawa keuntungan. Adapun proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 6,2 persen pada 2025. Di sisi lain, Bank Dunia prediksi PDB tumbuh 6,5 persen pada 2025 didorong meningkatnya permintaan global dan pemulihan kepercayaan konsumen domestic.
Berdasarkan Vietnam’s Institute for Economic and Research Policy, pertumbuhan PDB pada kuartal IV 2024 diperkirakan mencapai 7,4 persen. Ini di atas target yang ditetapkan pemerintah sebesar 7 persen.
Kehebatan Chip
Trong tidak sendirian dalam memberikan penilaian positif yang lebih luas untuk prospek jangka menengah hingga panjang Vietnam.
Kepada CNBC, Christine Phillpotts dari Ariel Investments menuturkan, negara-negara seperti Vietnam memiliki posisi yang relatif baik seiring tidak terlalu bergantung kepada modal asing atau memiliki utang luar negeri yang lebih rendah. Ia menuturkan, dengan demikian, Vietnam telah menjadi tempat relatif lebih aman untuk investasi.
Pemerintah Vietnam mengandalkan perkembangan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, memanfaatkan kekuatannya dalam kapasitas perakitan, pengujian dan pengemasan karena memenuhi permintaan global untuk chip.
Adapun strategi nasional negara itu mencakup ambisi untuk berkembang menjadi pusat penelitian dan pengembangan solusi AI ASEAN pada 2030. Misalnya, negara itu telah menarik investasi sebesar USD 1 miliar dari manufaktur Korea Selatan hingga 2025.
Kemampuan chip Vietnam membuatnya bersaing dengan negara tetangganya Malaysia yang menarik banyak perusahaan semikonduktor global. Negara Asia Tenggara itu telah menjadi rumah bagi pusat manufaktur besar untuk Samsung dan Foxconn.
Advertisement
Dapat Keuntungan Perang Dagang AS-China
Meskipun terjadi pertikaian politik internal, negara tersebut telah diuntungkan dari perang perdagangan antara Amerika Serikat dan China karena perusahaan berupaya melindungi rantai pasokan mereka sebaik mungkin. Memang, Vietnam tampaknya akan terus memperkuat posisinya dalam rantai pasokan manufaktur global.
"Di satu sisi, Vietnam memiliki keuntungan geografis karena dekat dengan Tiongkok, sementara di sisi lain, memiliki akses terbuka ke pasar ekspor di negara-negara maju. Hal tersebut terjadi berkat adanya banyak perjanjian perdagangan bebas,” kata Ekonom Citi, Helmi Arman kepada CNBC.
Arman menuturkan, status Vietnam yang netral secara politik memberinya keuntungan untuk "memanfaatkan dinamika hubungan antara AS dan China" dengan menarik investasi dari perusahaan induk China untuk diekspor kembali ke AS.
"Secara keseluruhan, Vietnam berjalan cukup baik saat ini. Dalam beberapa hal, hal ini terkait dengan perlambatan di China, karena ada banyak hubungan China+1 yang terjadi. Perusahaan-perusahaan melakukan lindung nilai terhadap taruhan mereka dan mengalihkan ekspansi ke Vietnam. Hal itu membebani Tiongkok dan baik untuk angka pertumbuhan ekonomi Vietnam," kata Bill Hayton, rekan peneliti di program Asia-Pasifik untuk lembaga pemikir Chatham House yang berbasis di Inggris, kepada CNBC.
Risiko Vietnam
Di sisi lain, kekurangan tenaga kerja terampil dan masalah infrastruktur di Vietnam, khususnya kekhawatiran yang sudah lama ada atas stabilitas pasokan listriknya, merupakan rintangan bagi investor asing.
Sementara itu, reformasi besar-besaran telah menyebabkan tindakan keras pemerintah terhadap korupsi. Digambarkan sebagai "tungku api yang menyala-nyala" oleh media lokal, tindakan keras tersebut telah mengakibatkan penangkapan pejabat yang dituduh menerima suap.
"Mungkin ada beberapa turbulensi jangka pendek, tetapi hasil jangka panjangnya adalah berkurangnya korupsi, yang hanya akan baik bagi suatu negara," kata Pengacara Boris Hall yang berbasis di Vietnam di firma hukum Baker & McKenzie.
Hayton mengatakan kampanye antikorupsi bahkan membuat pejabat sangat takut sehingga "mereka takut untuk menyetujui apa pun, yang telah menghambat pembangunan infrastruktur."
Vietnam berada di peringkat ke-83 dari 180 negara dalam Indeks Korupsi Transparency International 2023, dengan skor lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga Asia lainnya, Thailand, yang berada di peringkat 108, Kamboja di peringkat 158, dan Laos di peringkat 136.
Meskipun Vietnam memanfaatkan AS seiring dampak dari perang dagang antara AS dan China, Hayton melihat Vietnam berada di bawah pengaruh perkembangan global seperti perang Rusia-Ukraina dan krisis yang sedang berlangsung di Timur Tengah. Selain itu, pemilihan umum (pemilu) AS pada November juga dapat berdampak negatif di Vietnam.
"Sikap yang lebih agresif terhadap kebijakan perdagangan luar negeri dari pemerintahan Trump yang potensial dapat mengubah arsitektur rantai pasokan regional dan global sehingga memengaruhi aliran investasi ke Vietnam,” ujar Arman.
Advertisement