10 Tips Siaga Menghadapi Bencana Gempa Megathrust

BMKG terus mewaspadai ancaman gempa megathrush di Indonesia. Mitigasi dan edukasi kepada masyarakat perlu ditingkatkan untuk menghadapi bencana tersebut. Berikut 10 tipsnya untuk menghadapi bencana gempa megathrust.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 28 Okt 2024, 19:00 WIB
Gempa di Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Suberut (M8,9) boleh dikata 'tinggal menunggu waktu' karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar. (Liputan6.com/ Dok BMKG)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terus mewaspadai ancaman gempa megathrush di Indonesia. Mitigasi dan edukasi kepada masyarakat perlu ditingkatkan untuk menghadapi bencana tersebut.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati meminta, pemerintah daerah agar menyiapkan tata ruang yang aman dan mampu menampung masyarakat sebagai upaya mitigasi bila gempa megathrust terjadi di Indonesia.

"Bagaimana menyiapkan masyarakat dan pemerintah daerah sebelum terjadi gempa dengan kekuatan tinggi yang mengakibatkan tsunami. Pemerintah daerah itu sudah diajak bersama-sama menyiapkan infrastrukturnya, menyiapkan sistemnya, adakah jalur evakuasi nya, adakah tempat shelter evakuasi," kata Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa 20 Agustus 2024 lalu.

Kemudian zona-zona rawan seperti daerah dekat laut dan pantai agar dikosongkan dan tidak didirikan banyak bangunan.

"Pemda-pemda diharapkan juga menyiapkan tata ruang di sana. Di pantai itu dibatasi, jangan dibangun bangunan-bangunan. Kalau sampai dibangun hotel, hotelnya harus siap menghadapi (Megathrust), diwajibkan bangunannya mampu tahan 8,5 magnitudo," katanya.

Lalu bagaimana langkah-langkah untuk menghadapi bencana gempa megathrust?

Dilansir dari Antara, Forum Pengurangan Risiko Bencana DKI Jakarta menyampaikan 10 tips untuk masyarakat Jakarta terkait kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana gempa bumi megathrust.

"Dengan memahami potensi risiko dan mempersiapkan diri dengan baik, kita dapat mengurangi risiko dari gempa bumi dan meningkatkan keselamatan masyarakat di Jakarta dan sekitarnya," kata Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DKI Jakarta, Achmad Lukman.

Ia mengungkapkan, beberapa tips atau sikap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana gempa megathrust. Pertama, masyarakat diharapkan tidak panik dan tetap tenang terhadap informasi yang sifatnya prediksi, termasuk kemungkinan adanya potensi gempa megathrust yang beredar di berbagai media.

"Masyarakat juga diminta tetap menjalankan aktivitas dan kegiatan sehari-hari dengan baik, namun disertai waspada dan siaga," ucap dia.

Kedua, masyarakat diingatkan untuk dapat memahami risiko gempa di Jakarta, meskipun Jakarta diprediksi tidak berada di zona sebagai pusat atau episentrum gempa megathrust yang paling aktif.

"Namun tetap merupakan wilayah berdampak yang juga memiliki risiko gempa dari aktivitas tektonik di sekitar wilayah Banten dan Jawa Barat dan sekitarnya," ujar Lukman.

Ketiga, pastikan bangunan tempat tinggal atau tempat kerja memiliki standar konstruksi yang memadai dan sesuai dengan peraturan bangunan tahan gempa. Masyarakat perlu mengetahui apakah bangunan tersebut ada perbaikan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan ketahanan bangunan terhadap gempa.

Keempat, rencanakan dan latihan evakuasi lingkungan. Masyarakat perlu menentukan rute evakuasi di lingkungan masing-masing, mulai dari rumah atau tempat kerja ke lokasi aman yang disepakati bersama.

"Pastikan rute tersebut tidak terhalang oleh bangunan tinggi atau objek lain, termasuk penyempitan akses yang dapat menimbulkan bahaya saat gempa menjadi berlipat ganda. Lalu, lakukan latihan evakuasi secara berkala bersama keluarga atau rekan kerja di lingkungan masing-masing," tutur Lukman.

Kelima, mempersiapkan tas siaga yang berisi air, makanan, obat-obatan, lampu senter, baterai cadangan, radio, dokumen penting dan berbagai perlengkapan dasar lainnya.

"Simpan tas siaga ini di tempat dengan prinsip 3M, yakni mudah diakses, mudah diketahui semua anggota keluarga letaknya dan mudah dijangkau pada saat melakukan evakuasi diri dan keluarga," kata Lukman.

Keenam, mengamankan barang-barang berbahaya seperti kaca, elektronik, perabotan berat dan barang yang dapat jatuh dan menimbulkan bahaya saat gempa. Pasang pelindung atau pengaman untuk perabotan besar dan rak.

Ketujuh, masyarakat harus memperhatikan dan menerima informasi dan peringatan gempa dari sistem peringatan dini atau aplikasi terkait. Terus mengikuti dan memantau informasi dan instruksi dari pihak berwenang melalui radio, televisi atau media sosial.

Kedelapan, mengikuti pelatihan atau seminar tentang kesiapsiagaan gempa yang sering diadakan oleh pemerintah atau lembaga penanggulangan bencana terkait. Lalu, edukasikan keluarga dan tetangga tentang langkah-langkah yang harus diambil saat gempa terjadi.

Kesembilan, saat menghadapi gempa hindari kepanikan dan berusaha tetap tenang, berlindung di bawah meja untuk menghindari benda-benda yang mungkin jatuh dan reruntuhan di dalam gedung.

"Segera keluar dari bangunan dengan tetap lindungi bagian kepala, jangan gunakan lift dan eskalator atau sejenisnya, menghindari berdiri di dekat tiang, pohon dan sumber listrik serta gedung yang mungkin roboh dan segera menuju area terbuka aman dan dataran tinggi," tutur Lukman.

Kesepuluh, pasca gempa, periksa kondisi sekitar dan pastikan tidak ada kerusakan struktural yang dapat membahayakan. Jika ada kerusakan atau bencana tambahan ikuti instruksi dari pihak berwenang dan hindari masuk ke area yang tidak aman.


Soal Gempa Megathrust Tinggal Tunggu Waktu, BMKG: Bukan Berarti Dalam Waktu Dekat

Banner Infografis BMKG Sebut Gempa Megathrust di Indonesia Tinggal Tunggu Waktu. (Desain: Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meluruskan informasi perihal gempa megathrust yang disimpulkan masyarakat akan terjadi dalam waktu dekat di Indonesia, usai keluarnya rilis perihal “Gempa di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut Tinggal Menunggu Waktu”.

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono menyampaikan, makna dari kalimat “tinggal menunggu waktu” muncul lantaran Selat Sunda dan Mentawai-Siberut memang dalam kondisi geografis yang dapat memicu gempa besar, namun belum juga terjadi dalam kurun waktu ratusan tahun.

"Tetapi bukan berarti segera akan terjadi gempa dalam waktu dekat. Dikatakan tinggal menunggu waktu disebabkan karena segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya sudah rilis gempa besar semua, sementara Selat Sunda dan Mentawai-Siberut hingga saat ini belum terjadi," tutur Daryono dalam keterangannya, Kamis (15/8/2024).

Daryono mengulas, pembahasan mengenai potensi gempa di Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebenarnya bukan hal baru. Pasalnya, kondisi tersebut sudah lama dibicarakan, bahkan sejak sebelum terjadi gempa dan tsunami di Aceh pada 2004 lalu.

“Munculnya kembali pembahasan potensi gempa di zona megathrust saat ini bukanlah bentuk peringatan dini atau warning yang seolah-olah dalam waktu dekat akan segera terjadi gempa besar. Tidak demikian,” jelas dia.

“Kita hanya mengingatkan kembali keberadaan Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebagai sebuah potensi yang diduga oleh para ahli sebagai zona kekosongan gempa besar atau seismic gap, yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Seismic gap ini memang harus kita waspadai karena dapat melepaskan energi gempa signifikan yang dapat terjadi sewaktu-waktu,” sambung Daryono.

Menurutnya, pembahasan potensi gempa di zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut yang kembali dilakukan sebenarnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan peristiwa gempa kuat magnitudo 7,1 yang berpusat di Tunjaman Nankai dan mengguncang Prefektur Miyazaki Jepang.

“Menariknya, gempa yang memicu tsunami kecil pada 8 Agustus 2024 beberapa hari lalu mampu menciptakan kekhawatiran bagi para ilmuwan, pejabat negara dan publik di Jepang akan potensi terjadinya gempa dahsyat di Megathrust Nankai. Peristiwa semacam ini menjadi merupakan momen yang tepat untuk mengingatkan kita di Indonesia akan potensi gempa di zona seismic gap Selat Sunda dan Mentawai-Siberut,” beber dia.

Sejarah mencatat, kata Daryono, bahwa gempa besar terakhir di Tunjaman Nankai terjadi pada 1946 dengan usia seismic gap 78 tahun, sementara gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757 dengan usia seismic gap 267 tahun dan gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut terjadi pada 1797 dengan usia seismic gap 227 tahun.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya