Liputan6.com, Jakarta Perundungan atau bulllying yang terjadi di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) menjadi catatan hitam di dunia pendidikan kedokteran.
Perundungan dari senior ke junior amat merugikan dan mengganggu proses belajar. Bahkan, bisa berujung kematian seperti yang diduga terjadi pada mahasiswi PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) dokter Aulia Risma Lestari.
Advertisement
Guna mencegah terjadinya hal serupa, kini Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengambil langkah serius. Kemenkes akan memantau grup-grup jaringan komunikasi yang berkaitan dengan kegiatan PPDS.
Hal ini disampaikan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes lewat surat edaran Nomor TK.02.04/D/45679/2024 tentang Pendataan Jaringan Komunikasi PPDS di RS Kemenkes.
Surat yang ditandatangani Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Azhar Jaya pada 25 Oktober 2024 itu berbunyi:
Sehubungan dengan Instruksi Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/1512/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Perundungan Terhadap Peserta Didik pada Rumah Sakit Pendidikan di Lingkungan Kementerian Kesehatan serta mengurangi angka kejadian bullying pada peserta didik PPDS, bersama ini disampaikan;
1. Setiap group Jaringan Komunikasi (whatsapp, telegram dan sebagainya) peserta didik PPDS harus terdaftar resmi pada Rumah Sakit dan di dalam grup tersebut harus ada Ketua KSM/Kepala Departemen sebagai perwakilan dari RS dan Ketua Program Studi sebagai perwakilan FK untuk memudahkan pemantauan.
2. Bila ditemukan adanya jaringan komunikasi yang tidak resmi dan tidak terdaftar maka akan diberikan sanksi kepada peserta didik paling senior yang ada di jaringan komunikasi tersebut.
Selanjutnya
3. Bila ditemukan adanya tindakan perundungan di jaringan komunikasi yang resmi maka Ketua KSM/Departemen dan Kepala Program Studi bersama pelaku perundungan akan diberikan sanksi
4. Sebagai langkah untuk memantau hal tersebut, diminta kepada Direktur Sumber Daya Manusia dan Pendidikan Rumah Sakit Kementerian Kesehatan mendata semua jaringan komunikasi tersebut dan data tersebut harus selesai dalam 1(satu) minggu setelah surat diterima.
Dengan demikian, tak ada celah untuk para senior membuat grup tidak resmi di luar grup resmi yang terkait dengan kegiatan PPDS.
Advertisement
Atur Jam Kerja PPDS
Pemantauan grup jaringan komunikasi antara senior dan junior di lingkungan PPDS bukan satu-satunya upaya Kemenkes dalam mencegah perundungan.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa bakal mengatur jam kerja mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di rumah sakit. Pengaturan jam kerja bakal dilakukan lewat kerja sama formal antara rumah sakit di bawah kementerian dan fakultas kedokteran.
"Supaya kita juga bisa bantu mengatur jam kerja dokternya. Karena dokternya ini kan sebelumnya bukan pegawai kita, jadi susah ngaturnya," kata Budi di Gedung Sate Bandung, Jawa Barat, September lalu, mengutip Antara.
Membuat Kontrak dengan Seluruh Peserta PPDS
Jika telah ada kesepakatan dengan fakultas kedokteran, pihak Budi melalui RS di bawah Kementerian Kesehatan bisa membuat kontrak dengan seluruh peserta PPDS agar bisa mengikuti aturan rumah sakit.
"Tujuannya agar ada berapa kali, kita kan kerja ada batas ya, seminggu berapa kali, kalau ada lembur besoknya bisa datang siang, jadi tidak ada kerja berlebihan," kata Budi.
Rumah sakit di bawah Kementerian Kesehatan yang diarahkan menjalin kerja sama dengan fakultas kedokteran, katanya, diminta dijadikan satu agar kebijakan bisa seragam.
"Kalau dulu sendiri-sendiri, sekarang jadi satu semua aja, biar aturannya sama," ucapnya.
Seperti diketahui, tindak perundungan PPDS tak hanya terjadi di Undip tapi juga di universitas lainnya seperti Universitas Padjadjaran (Unpad).
Dalam kesempatan itu, Budi mengapresiasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) yang langsung membuat tindakan ketika menemukan kasus perundungan.
"Bagus itu Unpad, sudah ketahuan, tidak usah disuruh langsung bisa disanksi, itu hebat," ucapnya.
Advertisement