Liputan6.com, Jakarta - Oksigen adalah salah satu elemen yang paling vital bagi kehidupan di Bumi. Tanpa oksigen, tidak ada makhluk hidup yang dapat bertahan. Sebagian besar oksigen yang kita hirup dihasilkan oleh proses fotosintesis.
Selama ini oksigen yang kita hirup hampir setengahnya berasal dari laut, melalui proses fotosintesis yang dilakukan tumbuhan laut. Namun, baru-baru ini ilmuwan menemukan adanya produksi oksigen lainnya di laut dalam.
Sebuah studi yang terbit di jurnal Nature Geoscience pada 22 Juli 2024, menemukan "oksigen gelap" yang dihasilkan di laut dalam. Melansir laman Nature pada Selasa (29/10/2024), Profesor dari The Scottish Association for Marine Science, Prof Andrew Sweetman, mengatakan bahwa penemuan oksigen laut dalam ini sebenarnya pertama kali diketahui pada 2013.
Penemuan itu adalah sesuatu yang tak pernah terpikirkan. Pasalnya, oksigen tersebut bisa muncul tanpa keterlibatan organisme dan berbeda dari ilmu yang diketahui selama ini.
Baca Juga
Advertisement
Biasanya, oksigen di Bumi diproduksi secara alami melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan di daratan, plankton dan alga. Oksigen juga diproduksi melalui oksidasi amonia.
Namun, hal ini hanya menghasilkan sedikit oksigen dan langsung dihirup oleh makhluk sekitar. Proses penemuan ini terjadi lebih dari 10 tahun setelah sumber oksigen itu ditemukan.
Prof Sweetman dan rekan-rekannya meneliti laut dalam di wilayah antara Hawaii dan Meksiko. Kemudian, diketahui bahwa pada kedalaman 5 km yang tanpa sinar matahari, ada oksigen yang dihasilkan oleh "nodul".
Nodul adalah logam alami yang memecah air laut yakni H20 menjadi hidrogen dan oksigen. Nodul terbentuk ketika logam terlarut dalam air laut terkumpul pada pecahan cangkang atau puing-puing lainnya, yang memakan waktu jutaan tahun.
Nodul ini mengandung logam seperti litium, kobalt, dan tembaga, yang semuanya diperlukan untuk membuat baterai. Maka dari itu, banyak perusahaan pertambangan kemudian mengembangkan teknologi untuk mengumpulkan nodul dan membawanya ke permukaan.
Kondisi ini membuat para ilmuwan menganggap risiko penambangan bisa merusak ekosistem laut dan nodul. Para ilmuwan menemukan bahwa nodul bekerja seperti layaknya baterai.
Mereka mengukur tegangan pada setiap gumpalan logam dan menemukan bahwa nodul dapat menghasilkan arus listrik. Secara umum, tegangan yang dihasilkan oleh nodul hampir sama dengan tegangan pada baterai berukuran AA.
Tegangan ini menghasilkan oksigen dengan cara memecah air laut menjadi gelembung yang mengandung hidrogen dan oksigen. Menariknya, nodul ini sama sekali tidak memerlukan bantuan cahaya matahari seperti produksi oksigen pada umumnya.
Penelitian yang dipimpin oleh Sweetman menunjukkan, beberapa mineral memang menghasilkan oksigen meski tidak ada sinar Matahari. Temuan ini pada gilirannya juga menimbulkan pandangan baru mengenai asal-usul kehidupan di Bumi miliaran tahun lalu.
Bahkan, besar kemungkinan nodul juga dapat bekerja di Bulan maupun planet lain.
Konservasi Nodul
Survei Geologi AS (USGS) memperkirakan ada 21,1 miliar ton kering nodul polimetalik di zona ini. Kawasan ini memiliki lebih banyak logam kritis dibandingkan gabungan cadangan di dunia.
Sayangnya, penemuan nodul yang penting bagi ekosistem dan penelitian ilmuwan dibarengi dengan pertambangan. Otoritas Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority), berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, mengatur pertambangan di wilayah tersebut dan telah mengeluarkan kontrak eksplorasi.
Diketahui, berbagai perusahaan mencoba melakukan eksplorasi di sekitar Zona Clarion-Clipperton yang merupakan tempat penemuan nodul. Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA), telah mengecam berbagai upaya penambangan di dasar laut karena dapat merusak kehidupan dan habitat dasar laut.
Saat ini, setidaknya terdapat sekitar 800 ilmuwan kelautan dari 44 negara yang telah menandatangani petisi untuk menghentikan aktivitas penambangan di dasar laut.
(Tifani)
Advertisement