Liputan6.com, Jakarta - Bagi pecinta steak, wagyu menjadi salah satu jenis daging favorit. Untuk memperkenalkan wagyu lokal, Holycow dan Tokusen berkolaborasi menyajikan berbagai olahan steak menggunakan beragam potongan wagyu, yaitu wagyu sirloin, wagyu tenderloin, dan wagyu rib eye.
Sugiman, Head Beef Commercial Serang sekaligus Beef Indonesia Tokusen menjelaskan perbedaan wagyu lokal dan impor. Sapi lokal diberi pakan singkong, bukan jagung seperti biasanya untuk sapi impor.
Advertisement
"Sekitar 80 persen pakan diberikan berasal dari dalam negeri, khususnya dari tanah Sumatera. Dengan penggunaan singkong, karakteristik yang dihasilkan adalah tekstur marbling halus dan rasa lebih unik," kata Sugiman dalam jumpa pers di Jakarta pada Selasa, 29 Oktober 2024. Ia berharap lewat kolaborasi tersebut, rasa bangga terhadap wagyu lokal bisa bangkit di Indonesia.
Dayan Hadiningrat, Deputy Head SBU Jakarta Beef Indonesia Tokusen, menerangkan bahwa penggunaan pakan singkong membuat tekstur lebih empuk, halus, dan fine, meski skor marblingnya relatif rendah menurut standar Austrialia. Skor marbling wagyu lokal rata-rata berada di kisaran 4--5 dari rentang skor 1--12.
"Inilah keunikan sapi wagyu lokal yang membedakannya dari wagyu impor. Dengan pendekatan ini, kami mampu menghasilkan wagyu lokal yang tidak kalah berkualitas, namun tetap dengan harga lebih terjangkau dan rasa yang autentik," tambah Dayan.
Sementara dari segi potongan, pihaknya mengambil bagian premium dan populer untuk steak. "Semua potongan ini diambil dari bagian tubuh sapi yang paling tidak bergerak, berbeda dengan bagian kaki lebih keras. Potongan ini populer untuk steak agar dapat dimasak hingga medium atau medium rare, dan tetap memiliki kelembutan luar biasa berkat karakteristik marblingnya," Dayan menerangkan.
Dikembangkan Sejak 10 Tahun Lalu
Sugiman menyampaikan bahwa produk wagyu lokal yang dihasilkan Tokusen memiliki sistem traceability yang jelas karena menggunakan teknologi RFID. Setiap sapi yang diproduksi dapat ditelusuri, termasuk informasi tentang kapan dapat dipotong, kapan lahir, dan seluruh riwayat hidupnya, yang bisa dilacak kembali ke Australia dan Jepang oleh pihak Tokusen.
"Sejak 10 tahun lalu, kami mulai mengembangkan sapi wagyu yang berasal dari Australia. Kami mencoba untuk melihat bagaimana sapi wagyu ini dapat beradaptasi dengan iklim tropis, bukan sebagai sapi tropis. Kami akhirnya melakukan pembiakan sendiri dan kini terintegrasi mulai dari pengembangbiakan hingga pemotongan," kata Sugiman.
"Dengan integrasi ini, kami memastikan bahwa pakan yang diberikan, yang mayoritas berasal dari lokal, termasuk dari Sumatera dan Lampung, memenuhi standar kualitas yang kami jaga," lanjutnya.
Sapi-sapi yang disilangkan dan dibesarkan di sini untuk adaptasi, tetapi tetap mempertahankan karakteristik wagyu yang unik dan khas Indonesia, yang disebut artisan Sumatera. "Bisa dikatakan bahwa singkong dan gablet merupakan unsur penting yang menjadikan wagyu Tokusen sebagai produk artisan lokal. Ini juga menjadi faktor yang membedakan karakteristiknya dari wagyu lain di pasaran," kata Sugiman.
Advertisement
Tantangan dalam Menawarkan Produk Wagyu Lokal
Sugiman menyampaikan tantangan wagyu lokal yaitu cara mengelola penjualannya karena harganya lebih tinggi dibandingkan yang lain. Satu sapi tidak hanya menghasilkan potongan seperti tenderloin, striploin, dan rib eye, tetapi ada banyak bagian lain yang juga perlu dimanfaatkan.
"Solusi terbaik mengatasi tantangan ini dengan mengedukasi konsumen, seperti yang kami lakukan hari ini berkolaborasi dengan Holycow untuk menawarkan berbagai varian menu steak wagyu lokal. Kami perlu memberi tahu mereka tentang berbagai potongan daging," kata Sugiman.
Dia juga menyampaikan proses penyesuaian perawatan dalam wagyu lokal terus dilakukan untuk mencegah kematian sapi. Wagyu rentan terkena dehidrasi, sehingga perawatan di Lampung, khususnya daerah Bekri, selalu memberikan fasilitas terbaik.
"Mereka (sapi) biasanya hidup di empat musim, jadi ketika dibawa ke iklim panas Indonesia, mereka bisa mengalami dehidrasi yang sangat berisiko. Oleh karena itu, kami menambahkan blower agar menjadi sejuk dan nyaman layaknya AC alami. Kami juga selalu memberikan makanan sekitar 15-20 kilogram, saat ini di kandang kami di Lampung sudah puluhan ribu sapi dirawat," ia menerangkan.
Minat Masyarakat Terhadap Steak Wagyu Lokal
Winda Mardio, founder Steak Hotel by Holycow, menyampaikan hidangan steak mulai dari wagyu sirloin, wagyu tenderloin, dan wagyu rib eye sudah mulai tersebar di semua Holycow dan Steak.com. Ia menyampaikan bahwa steak ketiga steak masing-masing memiliki daya minat sesuai selera tiap konsumen.
"Kami menyajikan steak kepada pelanggan untuk merasakan kualitas dagingnya secara langsung. Jika dagingnya tidak enak, rasanya akan langsung terasa. Untuk kisaran harga, dimulai dari Rp 275.000 hingga Rp 345.000," kata Winda.
Ia menyatakan bahwa teknik memasak steak dengan wagyu lokal memiliki teknik kurang lebih sama pada umumnya. Holycow menggunakan gas grill untuk memasak steak dan mengutamakan rempah-rempah, sehingga lebih sehat dan tanpa residu. Selanjutnya, dikombinasikan dengan oven untuk memastikan tampilan steak lebih menarik.
Winda menyampaikan bahwa di Indonesia, steak yang sangat populer awalnya adalah sirloin dan tenderloin. Banyak orang berpikir bahwa sirloin memiliki lemak yang lebih banyak, sementara tenderloin lebih ramping. "Meskipun di tengah kepopuleran itu, saya pribadi menyukai ribeye karena sifatnya yang juicy, dengan lemak yang menyebar merata. Ribeye memiliki lemak yang benar-benar tersebar hingga ke tengah, sehingga bentuknya mirip mata tiga," kata Winda.
"Dari dulu hingga sekarang, Holycow selalu menyajikan sirloin. Namun, setelah pandemi, orang beralih ke tenderloin karena ingin menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Wagyu lokal, di sisi lain, memiliki kualitas berbeda dibandingkan sapi biasa, dengan marbling (OM3) yang lebih tinggi, sehingga ketika menikmati lemak dari wagyu lokal, pengalaman rasa menjadi berbeda dengan lemak tetelan biasa," imbuhnya.
Advertisement