Liputan6.com, Jakarta - Dalam menangani isu krisis iklim, semua pihak, seperti pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization (NGO), media, dan masyarakat, memiliki peran yang penting. Namun, peran-peran tersebut tidak bisa berjalan sendiri dan perlu kolaborasi setiap pihak, seperti dalam hal jurnalisme kolaboratif.
"Jurnalisme kolaboratif dalam memerangi krisis iklim memainkan peran penting. Kolaborasi ini tidak hanya terbatas pada jurnalis dan peneliti, tetapi juga komunitas lokal,” ujar Campaigner Auriga Nusantara, Hilman Afif, dalam kegiatan diskusi bertema “Pentingnya Kolaborasi dalam Jurnalisme Iklim”, yang dilaksanakan pada Selasa, 29 Oktober 2024 di @america Jakarta.
Advertisement
Hilman menjelaskan bahwa peran jurnalis sangat penting dalam mengkomunikasikan informasi dan data agar menjadi bermakna untuk khalayak umum. Ia menganggap bahwa, tanpa jurnalis, data yang ada menjadi “tidak bermakna”. Untuk mengilustrasikan poinnya, ia menunjukkan sebuah data deforestasi di Indonesia.
"Dalam konteks topik ini, data ini hanya akan menjadi sebuah gambar jika tidak diuraikan lebih lanjut oleh para jurnalis, dengan interpretasi angka-angka, interpretasi pola-pola... Jadi, jika tidak dielaborasi lebih lanjut, untuk menyelamatkan alam kita, sekedar melihat grafik ini menjadi tidak ada artinya," ucap Hilman.
Namun, menurut Hilman, jurnalis sendiri hanya melaporkan dan mengkomunikasikan informasi dan data. Para ilmuwan dan NGO lah yang mengumpulkan data dan informasi. Berkolaborasi dengan pihak-pihak tersebut, jurnalis kemudian mengolah informasi yang relevan agar dapat mencapai masyarakat umum dan membangun kesadaran mereka.
Hilman menerangkan, “(Mengumpulkan dan menganalisis informasi) adalah jenis pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh para peneliti dan NGO. Ketika kita berbicara tentang perubahan iklim, ada angka-angka dan istilah-istilah yang mungkin tidak dikenal oleh publik. Studi yang dihasilkan oleh para peneliti dan NGO tidak akan berarti apa-apa jika tidak disederhanakan ke dalam bahasa publik.”
Hal ini juga disetujui oleh salah satu pembicara lain, seorang jurnalis investigasi senior asal Amerika Serikat, Daniel Glick. Ia mengatakan, “Bagi saya sebagai seorang jurnalis, saya membutuhkan orang-orang seperti (Hilman) untuk memberi tahu kami apa yang sedang terjadi di lapangan, untuk membuat laporan, untuk membawa informasi semacam itu. Saya bukan seorang ilmuwan. Saya tidak tinggal di komunitas-komunitas ini. Tapi, jika dia mengatakan, 'hei, Anda harus memperhatikan ini', maka saya bisa belajar darinya.”
Jurnalisme kolaboratif antar pihak juga telah membuahkan hasil. Kolaborasi antara NGO, peneliti, jurnalis, dan komunitas lokal sukses membuat perubahan dalam bentuk kebijakan. Kerja sama pihak-pihak tersebut yang khawatir terhadap laju deforestasi yang dilakukan Perusahaan Mayawana membuat perusahaan tersebut diperintah untuk menghentikan aktivitas penebangan mereka di Kalimantan Barat oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari.
"Kami melakukan investigasi kolaboratif terhadap kasus-kasus ini. Akademisi dan LSM membuat laporan yang kemudian disebarkan oleh jurnalis. Dan akhirnya... Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memutuskan untuk menghentikan kegiatan (Mayawana) di Kalimantan Barat,” cerita Hilman.
Tidak hanya dengan pihak-pihak lain, jurnalis juga berkolaborasi dengan sesamanya. Glick mengatakan, "Ketika organisasi berita lain membuat sebuah berita, saya bisa mengembangkannya. Jadi, kami saling membangun dan bekerja sama.”
“Karena, sejujurnya, kita semua melakukan ini bersama-sama. Semua orang, di seluruh dunia, akan terpengaruh oleh perubahan ini, dan kita harus menemukan cara untuk bekerja sama," lanjutnya.
Adapun acara diskusi yang diselenggarakan @america ini mengulas kerja sama dalam menghadapi isu-isu global, seperti krisis iklim. Dalam hal isu perubahan iklim, AS pun berkomitmen untuk berkolaborasi dengan Indonesia.
“Pemerintah AS sangat berkomitmen terhadap isu lingkungan. Kami menemukan banyak kesamaan tujuan dengan Pemerintah Indonesia, dan kami berharap dapat terus bekerja sama sepanjang tahun peringatan 75 tahun ini dan seterusnya untuk menarik perhatian pada isu-isu penting tentang keberlanjutan dan memastikan planet ini tetap layak huni bagi semua orang,“ ujar Wakil Atase Pers Kedubes AS, Nicholas Geisinger, dalam kata sambutannya.
Kisah Masyarakat Jadi Strategi Kunci
Dalam jurnalisme kolaboratif yang fokus pada isu iklim, salah satu strategi kunci adalah untuk bekerja sama dengan komunitas lokal dan menyebarkan cerita mereka yang telah terdampak langsung oleh berbagai isu lingkungan.
Menurut Direktur Program Mongabay Indonesia, Ridzki Sigit, yang mengutip salah satu penelitian yang ia lakukan pada tahun 2022 bersama dua rekannya, Verselita dan Evelina, pemerintah menjadi sumber utama informasi mengenai perubahan iklim bagi media.
“Referensi utama bagi media adalah upaya pemerintah dalam mengatasi krisis iklim... Hampir 60% sumber berita berasal dari pemerintah,” ujar Ridzki. Dibanding itu, 12,4% sumber berasal dari observer, akademisi, dan peneliti, sedangkan 10,8% sumber berasal dari masyarakat.
Ridzki kemudian mengatakan, “Jika Anda ingin berbagi informasi tentang perubahan iklim, itu harus menjadi pengalaman pribadi masyarakat... Anda harus menjadikan isu ini sebagai isu harian.”
Menceritakan keadaan masyarakat yang merasakan dampak krisis iklim sangat penting dalam melaporkan isu tersebut, terutama untuk melibatkan masyarakat umum.
“(Untuk melibatkan masyarakat dalam isu iklim), kata kuncinya bagi saya adalah 'cerita'. Kami adalah jurnalis, tapi kami juga pembuat cerita... ini bukan hanya cerita ilmiah, tapi juga cerita manusia. Dan saya pikir kita sebagai jurnalis perlu menemukan kisah manusia untuk mencoba menyampaikan informasi tentang perubahan iklim dan bagaimana perubahan iklim mempengaruhi kehidupan di planet ini,” ujar Glick.
Menurut Glick, cerita-cerita komunitas lokal adalah awal yang penting untuk menggerakkan publik agar dapat mencapai perubahan yang berarti.
Ia mengatakan, “Saya pikir (cerita) adalah hal yang menggerakkan hati orang. Dan saya rasa kita perlu menggerakkan hati mereka sebelum kita dapat menggerakkan pikiran mereka dan sebelum kita dapat menggerakkan dompet mereka.”
“Karena kita perlu memberikan tekanan kepada orang-orang yang berada di posisi kekuasaan, kita perlu melakukannya melalui media, melalui publik, melalui orang-orang yang peduli,” lanjut Glick.
Advertisement