Liputan6.com, Jakarta - November hanya selang sehari, tapi tanda-tanda salju turun di puncak Gunung Fuji tetap belum terlihat. Situasi ini menciptakan rekor baru dalam 130 tahun terakhir.
Puncak gunung tertinggi di Jepang itu biasanya selalu berselimut salju putih pada awal Oktober. Rata-rata lapisan salju di Fuji mulai terbentuk pada 2 Oktober, sementara tahun lalu, tercatat pada 5 Oktober 2023, menurut Badan Cuaca Jepang. Itu pun sebagian besar salju mencair pada awal November karena suhu hangat, menurut laporan lembaga penyiaran publik NHK.
Advertisement
Hujan salju pertama menandakan datangnya musim dingin. Ini mengikuti musim pendakian musim panas, yang tahun ini berakhir pada 10 September 2024.
Karena hujan salju pertama tak kunjung turun di Gunung Fuji, Kantor Meteorologi Lokal Kofu Jepang, yang mengumumkan hujan salju pertama di Fuji setiap tahun sejak didirikan pada 1894, belum melakukannya tahun ini. "Karena suhu tinggi di Jepang terus berlanjut sejak musim panas dan hujan turun, tidak ada salju yang turun," Shinichi Yanagi, petugas meteorologi di kantor Kofu, mengatakan pada CNN, dikutip Rabu (30/10/2024).
Yanagi menyatakan, kurangnya salju pada 29 Oktober 2024 mengalahkan rekor sebelumnya pada 26 Oktober, yang terjadi pada 1955 dan 2016. Jepang mencatat rekor musim panas terpanas tahun ini sejak pencatatan dimulai pada 1898, kata Badan Meteorologi pada September.
Badan tersebut menyebut suhu rata-rata antara Juni hingga Agustus 2024 adalah 1,76 derajat Celcius di atas tingkat normal, melampaui rekor sebelumnya sebesar 1,08 derajat pada 2010. Tanpa salju jelang pergantian bulan, alarm peringatan tentang dampak nyata krisis iklim pada gunung yang dianggap sakral warga Jepang itu berbunyi kencang.
Pecahkan Rekor Panas Global
Suhu di Jepang tetap luar biasa hangat hingga musim gugur. Menurut analisis kelompok penelitian nirlaba Climate Central, 74 kota mencatat suhu 30 derajat Celcius atau lebih tinggi pada minggu pertama bulan Oktober.
"Iklim panas yang tidak biasa di bulan Oktober yang dialami Jepang jadi tiga kali lebih mungkin terjadi karena krisis iklim," demikian temuan Climate Central.
Musim panas ekstrem di Jepang bukanlah kejadian lokal. Musim panas ini memecahkan rekor panas global untuk tahun kedua berturut-turut, dengan 2024 jadi tahun terpanas dalam sejarah. Pola iklim alami El Nino turut mendorong lonjakan suhu, serta faktor-faktor yang disebabkan manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil yang merupakan penyebab utama krisis iklim.
Para ilmuwan telah lama memeringatkan bahwa dunia perlu membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat di atas tingkat pra-industri untuk mencegah dampak perubahan iklim paling dahsyat. Sebuah studi pada Januari 2024 menemukan bahwa krisis iklim telah mengurangi tumpukan salju di sebagian besar belahan Bumi utara dalam 40 tahun terakhir.
Advertisement
Indikasi Mengkhawatirkan Dunia
Hujan salju yang terjadi di Gunung Fuji nanti dapat jadi indikasi mengkhawatirkan mengenai arah dunia ini, dengan musim dingin yang hangat berdampak pada salju, pariwisata, perekonomian lokal, persediaan makanan dan air, bahkan alergi.
Terletak di prefektur Yamanashi dan Shizuoka di Jepang, gunung setinggi 3.776 meter ini adalah situs Warisan Dunia UNESCO dan ikon Jepang. Biasanya gunung ini tertutup salju hampir sepanjang tahun hingga musim pendakian tahunan dibuka pada Juli, menyambut jutaan pengunjung yang ingin mendaki ke puncak atau menyaksikan matahari terbit dari lerengnya yang terkenal.
Dalam beberapa tahun terakhir, gunung tersebut mengalami dampak pariwisata yang berlebihan. Pejabat di Jepang sebelumnya mengatakan pada CNN bahwa pengunjung membuang sampah sembarangan, membebani fasilitas toilet secara berlebihan, dan mendaki dengan perlengkapan yang tidak tepat, yang mengakibatkan kecelakaan atau cedera.
Pada Juli, pihak berwenang menerapkan pajak turis dan menerapkan peraturan baru untuk mengatur keramaian. Kini, pendaki harus membayar 2.000 yen (sekitar Rp204 ribu) per orang, dengan maksimal harian 4.000 pendaki per hari. Upaya itu berhasil mengurangi jumlah pendaki hingga 14 persen pada tahun ini.
Resor Ski Berguguran di Eropa
Tidak hanya di Jepang. Satu demi satu usaha resor ski di Eropa berguguran karena krisis iklim. Yang terbaru, ada resor ski Alpe du Grande Serre di wilayah Isere, Prancis tenggara, yang dikenal sebagai salah satu resor ski alpine besar di Prancis yang mengumumkan menutup tempat itu secara permanen.
Keputusan diambil setelah dewan lokal mengadakan pemungutan suara untuk menghentikan pendanaan bagi rencana mengakhiri ketergantungan pada olahraga musim dingin, kata presiden dewan tersebut kepada stasiun radio France Bleu. Pada Sabtu, 5 Oktober 2024, 47 anggota dewan Matheysine, yang mencakup resor ski, memilih untuk menghentikan kontrak dengan operator lift ski SATA Group.
Mengutip CNN, Kamis, 10 Oktober 2024, hanya 12 anggota yang memilih untuk tetap menjalankan operasi. Presiden Dewan Coraline Saurat mengatakan bahwa sekitar 2,8 juta euro (sekitar Rp48,2 miliar) telah diinvestasikan untuk mengubah kawasan tersebut menjadi resor sepanjang tahun sejak 2017.
Dia mengatakan bahwa dengan salju musim dingin yang semakin tidak dapat diandalkan, menyelesaikan tahun-tahun terakhir proyek ini berisiko terlalu besar. "Dampak dari berkomitmen untuk dua tahun lagi sangat besar dan tidak ada prospek di masa depan," katanya, berbicara kepada France Bleu pada Sabtu, pekan sebelumnya.
Baca Juga
Advertisement