Putusan Mardani H Maming Sesat Hukum, Mahfud Md : Brantas Mafia Peradilan

Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius, kata Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK tersebut.

oleh Tim Regional diperbarui 30 Okt 2024, 20:22 WIB
Mardani H. Maming.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus mantan Penjabat Eselon 1 Mahkamah Agung Zarof Rikard, merupakan secuil kasus dari ketidakadilan peradilan di  Indonesia.

Kasus ini menurut Prof Mahfud Md merupakan titik balik bagi pemerintah Indonesia untuk menegakkan kembali Marwah hukum negara ini.

Mengingat kasus ini melibatkan sejumlah perkara yang sudah diputus sejak tahun 2012 hingga 2022.

"Harusnya perkara ini ditelusuri, kejaksaan harus buka lagi perkaranya. Kalau bisa disidang kembali. Biar tidak ada korban yang dihukum karena hanya menjadi kambing hitam," ujarnya.

Ia menilai jika ada korban kambing hitam dalam sejumlah perkara yang terindikasi dalam kasus ini, jaksa bisa melakukan Peninjauan Kembali.

Kasus tersebut membuka fakta banyaknya perkara yang selama ini ditangani Mahkamah Agung terindikasi diputus secara tidak independen dan sarat intervensi.

Perkara yang cukup jadi perhatian dampak dari kasus ini, terkait dengan kesesatan putusan hakim yang mengorbankan kebenaran adalah kasus Mardani H Maming.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Prof Romli Atmasasmita menilai terdapat kekeliruan dalam penanganan perkara Mardani H. Maming.

"Setidaknya terdapat delapan kekeliruan serius dalam penanganan perkara Mardani H. Maming," ujarnya beberapa waktu lalu.

Ia menegaskan bahwa tuntutan dan putusan pemidanaan tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih didasarkan pada imajinasi penegak hukum.

Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius, kata Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK tersebut.

Senada dengan Prof Romli, Akademisi Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Muhammad Arif Setiawan, menilai kasus Mardani H Maming tanpa adanya bukti permulaan tapi sudah berstatus tersangka.

Hal ini menunjukkan kasus yang melibatkan mantan BPP HIPMI ini merupakan bukti kasus yang proses dan prosedurnya tidak benar.

"Mungkin gak, menetapkan tersangka pembunuhan padahal bukti matinya belum ada," ujarnya.

Dalam kasus ini ia melihat Mardani H Maming ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi tanpa adanya kepastian audit kerugian negara.

Sebagai ahli hukum acara pidana Arif menyebut, kasus seperti ini biasanya bersifat materil, berarti harus ada kerugian negara terlebih dahulu sebelum penetapan tersangka.

"Seharusnya kalau tidak ada pembuktiannya, tidak bisa dipaksakan. Karena untuk bukti ada hukum pembuktian," ujarnya.

Ia menerangkan dalam kasus ini, jika Mardani H Maming dituduh menerima suap haris ada dua pihak, baik pemberi dan penerima.

Dalam pembuktiannya pun harus ditemukan kesepahaman antara kedua belah pihak, sedangkan dalam kasus ini si penerima tidak bisa dibuktikan menerima.

"Sekarang gimana cara pembuktiannya, pihak pemberi sudah tidak ada. Jadi gimana cara membuktikannya," ujarnya.

Menurutnya pasal yang disangkakan pada Mardani H Maming tidak bisa dibuktikan apakah yang bersangkutan menerima hadiah atau mengeluarkan surat keputusan atas Izin Usaha Pertambangan.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya