Investor Asing Serbu Konferensi Ekonomi Arab Saudi

Konferensi ekonomi ini merupakan bagian dari Visi 2030, rencana besar senilai triliunan dolar AS untuk memodernisasi dan mendiversifikasi ekonomi Arab Saudi.

oleh Satrya Bima Pramudatama diperbarui 01 Nov 2024, 13:00 WIB
Ribuan pemodal, pendiri, dan investor akan berkumpul di kota Riyadh untuk menghadiri Future Investment Initiative (FII) edisi kedelapan. (FOTO: MCH PPIH ARAB SAUDI 2023)

Liputan6.com, Jakarta - Ribuan pemodal, pendiri, dan investor akan berkumpul di kota Riyadh, Arab Saudi untuk menghadiri Future Investment Initiative (FII) edisi kedelapan.

Dikutip dari CNBC pada Jumat (1/11/2024) Konferensi ekonomi ini merupakan bagian dari Visi 2030, rencana besar senilai triliunan dolar untuk memodernisasi dan mendiversifikasi ekonomi Arab Saudi.

Jika sebelumnya Saudi dianggap sebagai sumber dana besar bagi investor asing, tahun ini suasananya berubah. Negara tersebut kini memperketat persyaratan bagi mereka yang ingin menggalang dana atau berinvestasi di sana. Selain itu, harga minyak rendah dan pengurangan produksi mempersempit ruang gerak anggaran negara. 

"Tidak diragukan lagi, persaingan untuk menarik uang dari kerajaan menjadi jauh lebih ketat," kata Omar Yacoub, mitra di ABS Global, perusahaan investasi yang mengelola aset hampir USD 8 miliar.

"Semua orang akan ‘bertemu’ di Riyadh," lanjutnya, merujuk pada konferensi ini.

Dia menambahkan, dengan warga Saudi cenderung lebih memilih investasi domestik, dan anggaran negara semakin ketat, berinvestasi internasional kini menjadi lebih selektif.

Fokus Saudi sekarang adalah menarik investasi yang membawa nilai lebih untuk negara. "Ini bukan lagi tentang 'ambil uang kami dan pergi' melainkan ini tentang menambah nilai," jelas mitra pendiri Amwal Capital Partners, Fadi Arbid.

"Itu berarti penciptaan lapangan kerja, produk baru, mendatangkan talenta, dan berinvestasi di pasar modal Saudi. Ini bukan hanya transaksi keuangan biasa." 

 

 


Harga Minyak Jadi Tantangan

Ilustrasi harga minyak dunia hari ini (Foto By AI)

Saudi sedang berupaya mengurangi pengeluaran, terutama karena harga minyak kini lebih rendah dari titik impas fiskal mereka. Untuk menyeimbangkan anggaran, IMF memperkirakan harga minyak harus mencapai USD 96,2 per barel pada 2024, sedangkan harga Brent saat ini hanya sekitar USD 72,75 per barel. 

"Saya rasa Saudi tidak lagi punya keleluasaan seperti dua tahun lalu," kata seorang investor anonim.

"Namun, mereka masih salah satu negara yang punya dana. Sekarang hanya lebih disiplin dan rasional." 

Beberapa manajer dana mengatakan bahwa bagi investor baru, mungkin sudah terlambat untuk masuk ke Saudi. "Anda seharusnya memulai dua atau tiga tahun lalu," ujar Arbid.

"Namun, bagi yang ingin mencoba sekarang, tetap ada peluang, karena ini adalah siklus. Tapi, Saudi kini mengharuskan komitmen penuh." 

Sebagai contoh, mulai Januari 2024, perusahaan asing harus memindahkan kantor pusat regional mereka ke Riyadh jika ingin bekerja sama dengan pemerintah Saudi. 

 

 


Stabilitas di Tengah Ketegangan Regional

Kolom asap hitam besar mengepul ke udara menyusul salah satu serangan Israel di wilayah Baalbek. (AFP)

Konferensi ini berlangsung di tengah situasi regional yang memanas, terutama setelah konflik antara Israel dan Hamas di Gaza. Ketegangan juga meningkat dengan serangan antara Israel dan sekutunya melawan Iran, Hizbullah, dan Houthi.

Pada 1 Oktober, Iran meluncurkan serangan rudal ke Tel Aviv. Sebagai tanggapan, Israel melakukan serangan militer ke Iran dan menyatakan siap melanjutkan operasi defensif maupun ofensif. 

Meski begitu, ekonomi Saudi tetap stabil. Harga minyak hanya turun sebesar 4% setelah serangan Israel. Salah satu alasan utama adalah kesepakatan damai antara Saudi dan Iran yang dimediasi oleh China pada Maret 2023.

 "Saudi telah melakukan pekerjaan fenomenal dalam melindungi diri dari dampak geopolitik," ujar Arbid. Kepercayaan investor lokal juga berperan penting dalam stabilitas ini. Indeks Tadawul All Shares, indeks utama bursa Saudi, naik 16,48% tahun lalu. 

 


Dibayangi Krisis Timur Tengah

Namun, beberapa analis memperingatkan krisis di Timur Tengah dapat memicu ketidakstabilan lebih lanjut. "Perang ini secara bertahap berkembang menjadi perang regional de-facto," kata Aziz Alghashian dari Observer Research Foundation. "Konflik ini bukan hanya masalah geopolitik, tapi juga bisa memicu radikalisasi lebih lanjut di kawasan." 

Menurut Alghashian, Saudi harus tetap fokus menarik investasi asing langsung (FDI) dan pariwisata sambil menjaga harga minyak pada tingkat yang diinginkan. "Proyek besar seperti NEOM dan rencana diversifikasi ekonomi Saudi hanya bisa berjalan jika ekonomi dan keamanan berjalan beriringan," ujarnya. 

 

Infografis Dampak Setahun Agresi Militer Israel ke Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya