Ahli Iklim Temukan La Nina dan El Nino Atlantik, Tanda Bumi Makin Rusak?

Samudera Atlantik mirip dengan di perairan Pasifik, wilayah ini terletak di sepanjang garis khatulistiwa dan berbatasan di ujung timurnya dengan daratan yang signifikan.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 01 Nov 2024, 01:00 WIB
Selama bulan ini, di lepas Pantai Boynton, di pantai Atlantik Florida di utara Miami, para penyelam dibuat terkesima oleh ikan raksasa ini, yang panjangnya bisa mencapai 2,4 meter atau sekitar delapan kaki. (Jesus OLARTE / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - La Nina dan El Nino merupakan istilah yang digunakan para ahli untuk menggambarkan pola iklim berdasarkan suhu air Samudra Pasifik. Namun kini, istilah ini juga digunakan untuk menyebut fenomena serupa yang terjadi di Samudra Atlantik bagian timur.

Para ahli iklim mulai menggunakan istilah 'Atlantic Niño' dan 'Atlantic Niña' untuk menggambarkan suhu air yang lebih dingin atau lebih hangat di lepas pantai Afrika bagian barat. Dikutip dari laman Weather pada Kamis (31/10/2024), Samudera Atlantik mirip dengan di perairan Pasifik, wilayah ini terletak di sepanjang garis khatulistiwa dan berbatasan di ujung timurnya dengan daratan yang signifikan.

Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan, pendinginan signifikan di Atlantik timur selama musim panas 2024 telah memberi para ilmuwan kesempatan untuk menganalisis dan menentukan apakah Niña Atlantik terbentuk dan bagaimana dampaknya. Dikutip dari NOAA pada Kamis (31/10/2024), satelit NOAA menunjukkan bahwa perairan di selatan Liberia, di sepanjang garis khatulistiwa, mencapai satu derajat Celsius di bawah normal selama Juni hingga Juli.

Hal ini menciptakan gumpalan biru di lautan yang tadinya berair merah dan lebih hangat. Peneliti NOAA masih menunggu data selanjutnya untuk menentukan peristiwa itu terbentuk atau mereda.

Data yang dikumpulkan mendatang akan digunakan untuk menganalisis apa saja pengaruh potensial yang dapat terjadi pada suhu dan curah hujan musiman di wilayah tersebut. Serta, beberapa latar belakang tentang apa yang diketahui dan tidak diketahui tentang mengapa peristiwa ini terjadi dan apakah perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia diperkirakan akan memengaruhi pola tersebut.

Karena data ilmiah untuk penelitian ini masih terbatas, kriteria kejadiannya pun tidak seketat pola El Niño, La Niña, atau La Nada di Pasifik. Anomali suhu Atlantik ini berlangsung selama tiga bulan.

Anomali suhu air Atlantik hingga di atas +0,5 derajat Celsius dianggap sebagai Niño Atlantik. Sedangkan, suhu yang lebih dingin dari -0,5 derajat Celsius mengakibatkan Niña Atlantik.

Terjadinya Niña Atlantik dan Niño Atlantik lebih jarang terjadi dibandingkan dengan badai Pasifik, masing-masing hanya terjadi sekitar 6 kali sejak awal 1980-an. Kondisi serupa pada suhu di bawah atau di atas air juga jarang terjadi, terjadi secara bersamaan di Atlantik dan Pasifik.

Misalnya, jika La Niña terjadi di Pasifik, akan jarang terjadi La Niña Atlantik berkembang pada waktu yang sama. Skenario yang paling umum adalah Atlantik mengalami kondisi ekstrem, baik Niño Atlantik atau Niña selama periode tahap netral Osilasi Selatan El Niño di Pasifik.

 


Dampak Munculnya Nina Atlantik

Dampak Niña Atlantik terhadap aktivitas badai belum cukup dipahami sehingga lembaga-lembaga pemerintah tidak dapat mengukur seberapa besar dampaknya pada musim tersebut. Beberapa ahli cuaca menyebutkan munculnya Niña Atlantik sebagai salah satu penyebab utama musim badai.

Air laut yang lebih hangat menyediakan lebih banyak energi untuk membentuk badai yang lebih kuat dan merusak. Nina Atlantik juga memicu peningkatan curah hujan.

Uap air yang lebih banyak di atmosfer akibat penguapan yang lebih tinggi dapat menyebabkan curah hujan ekstrem. Arus laut memainkan peran penting dalam mendistribusikan panas di seluruh samudra, dan perubahan pada arus laut dapat memengaruhi suhu di berbagai wilayah.

(Tifani)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya