Gunung Fuji tanpa Salju, Pertama Kali Selama 130 Tahun

Gunung Fuji di Jepang, ikonik dengan saljunya, untuk pertama kalinya dalam 130 tahun tidak tertutup salju hingga akhir Oktober 2024. Fenomena ini mengkhawatirkan, menunjukkan dampak nyata perubahan iklim di Jepang dan dunia.

oleh Nurul Diva diperbarui 31 Okt 2024, 12:15 WIB
Gunung Fuji Jepang

Liputan6.com, Jakarta Gunung Fuji yang menjulang dengan megah di Jepang biasanya menampilkan puncak berselimut salju sejak awal Oktober. Namun tahun ini, tanda-tanda musim dingin tersebut belum muncul hingga akhir bulan. Ini menjadi rekor baru, mengingat lapisan salju pertama di Gunung Fuji biasanya terbentuk pada awal musim gugur, menandakan peralihan musim yang sudah berjalan selama lebih dari satu abad.

Para ahli cuaca Jepang telah menyebutkan bahwa suhu hangat yang tak biasa tahun ini menjadi salah satu penyebab utama tidak munculnya salju. Hal ini dipicu oleh musim panas yang luar biasa panas, memecahkan rekor suhu dan terus bertahan hingga musim gugur. Pada saat yang sama, curah hujan yang tinggi juga menghalangi terbentuknya salju di puncak gunung tersebut, menambah kekhawatiran terhadap dampak serius perubahan iklim.

Ketiadaan salju di Gunung Fuji bukan hanya menjadi perhatian bagi pencinta alam dan wisatawan, tetapi juga memicu kekhawatiran para ahli terhadap perubahan cuaca global. Dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan suhu yang drastis serta kondisi cuaca ekstrem semakin sering terjadi, memberikan dampak nyata terhadap kondisi lingkungan dan ekosistem Jepang. Berikut informasinya, dilansir Liputan6 dari berbagai sumber, Kamis (31/10).


Gunung Fuji Tanpa Salju, Rekor Baru Setelah 130 Tahun

Salju pertama yang biasanya turun di Gunung Fuji selalu dinantikan sebagai tanda datangnya musim dingin. Berdasarkan data Kantor Meteorologi Kofu, lapisan salju biasanya muncul pada awal Oktober. Namun, hingga akhir Oktober 2024, puncak Gunung Fuji tetap bebas dari salju, mencatatkan rekor baru dalam sejarah Jepang.

Menurut data sebelumnya, salju pertama di Gunung Fuji rata-rata turun pada 2 Oktober. Pada tahun lalu, meski salju turun pada 5 Oktober, kondisinya hanya bertahan beberapa minggu sebelum meleleh kembali akibat suhu yang masih cukup hangat. Hal ini menunjukkan perubahan iklim yang nyata, di mana suhu ekstrem mengakibatkan ketidakstabilan pola cuaca di Jepang.

Ketiadaan salju di Gunung Fuji kali ini tidak hanya melampaui rekor tertanggal 26 Oktober yang tercatat pada tahun 1955 dan 2016, tetapi juga menjadi cerminan serius akan peningkatan suhu global. Para ahli meteorologi dan pakar lingkungan menyoroti fenomena ini sebagai salah satu dari sekian banyak dampak perubahan iklim.


Penyebab Utama: Suhu Tinggi di Jepang yang Berkelanjutan

Menurut Badan Meteorologi Jepang, suhu musim panas 2024 merupakan yang terpanas dalam sejarah, mengalahkan rekor yang tercatat pada 2010. Suhu rata-rata antara Juni hingga Agustus tercatat 1,76 derajat Celcius lebih tinggi dari biasanya. Hal ini tidak hanya berdampak pada kondisi lingkungan, tetapi juga memperpanjang musim hangat hingga musim gugur.

Dampak dari musim panas yang panjang ini terus berlanjut hingga awal musim gugur, di mana 74 kota di Jepang mengalami suhu di atas 30 derajat Celsius pada minggu pertama Oktober. Analisis Climate Central menunjukkan bahwa suhu panas di bulan Oktober tiga kali lebih mungkin terjadi karena krisis iklim, memberikan peringatan nyata akan perubahan iklim yang kian terasa.

Shinichi Yanagi, seorang ahli meteorologi di Jepang, menyebutkan bahwa suhu tinggi berkepanjangan ini diperparah oleh curah hujan yang cukup tinggi, membuat udara di sekitar Gunung Fuji tetap hangat dan menghalangi turunnya salju.


Dampak yang Dikhawatirkan Akibat Ketiadaan Salju

Dampak ketiadaan salju di Gunung Fuji dikhawatirkan akan memengaruhi berbagai sektor, mulai dari pariwisata hingga lingkungan sekitar. Para ahli menyebutkan bahwa perubahan pola cuaca yang tidak menentu akan memengaruhi ekosistem, khususnya flora dan fauna yang bergantung pada perubahan musim.

Salju pertama di Gunung Fuji biasanya menjadi penanda musim dingin bagi banyak masyarakat Jepang. Namun, kondisi ini membuat khawatir para ahli terkait perubahan suhu yang mengancam sumber daya alam, termasuk ketersediaan air dan dampak pada iklim secara global. Ini juga dapat berdampak pada musim pendakian, di mana kondisi cuaca yang tidak stabil dapat meningkatkan risiko bagi pendaki.

Selain itu, kawasan sekitar Gunung Fuji yang bergantung pada industri pariwisata juga terancam dengan fenomena ini. Pendakian di musim dingin yang menjadi daya tarik utama akan mengalami perubahan jika suhu terus meningkat dan menghilangkan salju yang biasanya menghiasi Gunung Fuji sepanjang musim dingin.


Kontribusi Perubahan Iklim dalam Fenomena Ekstrem

Fenomena ketiadaan salju ini bukan hanya terjadi di Jepang, tetapi juga menjadi bagian dari masalah global akibat perubahan iklim. El Niño, yang berlangsung sepanjang 2024, menambah tekanan suhu pada berbagai negara di Asia, termasuk Jepang. Gelombang panas yang ekstrem di berbagai wilayah memperlihatkan betapa dampak krisis iklim dapat dirasakan oleh setiap negara.

Para ilmuwan memperingatkan bahwa tanpa tindakan yang serius untuk menekan pemanasan global hingga batas 1,5 derajat di atas level pra-industri, dampak buruk perubahan iklim akan semakin sulit dikendalikan. Pola cuaca ekstrem ini tidak hanya meningkatkan suhu, tetapi juga mengancam ketahanan pangan, pasokan air, hingga kesehatan masyarakat.

Ketiadaan salju di Gunung Fuji adalah bukti nyata bahwa perubahan iklim memiliki dampak yang jauh lebih signifikan daripada sekadar pergeseran cuaca biasa. Mengingat pentingnya Gunung Fuji sebagai ikon budaya, fenomena ini menjadi simbol betapa perubahan iklim tidak memandang perbedaan geografis dan budaya.


Gunung Fuji: Lebih dari Sekadar Destinasi Wisata

Gunung Fuji adalah simbol penting bagi masyarakat Jepang, dikenal sebagai situs Warisan Dunia UNESCO. Gunung yang berada di Prefektur Yamanashi dan Shizuoka ini selalu menjadi ikon yang menarik wisatawan dari seluruh dunia. Biasanya, pendakian Gunung Fuji dilakukan pada musim panas, namun ketiadaan salju di musim gugur tahun ini menjadi perhatian serius.

Pada Juli 2024, pemerintah setempat telah menetapkan pajak wisata dan regulasi untuk mengatur jumlah pendaki agar lebih terkendali. Dengan biaya 2.000 yen per orang, pendakian tahunan Gunung Fuji kini lebih terorganisir untuk mengurangi dampak overtourism. Namun, ketiadaan salju kali ini menambah kekhawatiran terhadap penurunan wisatawan, terutama di musim dingin.

Dengan terus meningkatnya suhu dan kondisi iklim yang tidak stabil, Gunung Fuji tetap menjadi pengingat kuat bahwa langkah global sangat dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim yang berimbas pada ikon-ikon penting dunia.


Mengapa Gunung Fuji tidak tertutup salju tahun ini?

Gunung Fuji tanpa salju

Suhu yang tak biasa hangat di Jepang serta curah hujan yang tinggi menghalangi turunnya salju di puncak Gunung Fuji hingga akhir Oktober 2024.


Apakah perubahan iklim berperan dalam fenomena ini?

Ya, para ahli mengaitkan kondisi ekstrem ini dengan krisis iklim, yang membuat suhu terus meningkat bahkan di musim gugur.


Apa dampak ketiadaan salju di Gunung Fuji?

Dampaknya signifikan, termasuk pada sektor pariwisata, ketahanan air, ekosistem lokal, dan peningkatan risiko bagi pendaki gunung.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya