Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memiliki target yang sangat ambisius dalam menangani perubahan iklim. Tercatat, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89% tanpa syarat pada 2030 dan mencapai nol bersih pada 2060. Dampak perubahan iklim sudah terlihat saat ini. bumi yang semakin panas, anomali cuaca hingga banjir bandang di berbagai daerah.
Tentu saja, untuk mencapai semua ini tidaklah mudah. Pemerintah mendorong kerja sama semua pihak, terutama industri, untuk mendukung target pengurangan emisi dan nol bersih ini.
Advertisement
Sebelum pergantian kabinet ke Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah merumuskan rencana konkret untuk melakukan dekarbonisasi berdasarkan profil emisi.
"Ya, caranya dengan 'decarbonize the grid', jadi mengurangi ketergantungan pada batu bara dan membangun energi terbarukan serta transmisi. Lalu, 'electrify transportation', clean up industries, melindungi dan meremajakan alam, serta menyerap kelebihan karbon dari atmosfer melalui CCS," ujar Menko Luhut dalam acara Coaltrans Asia yang berlangsung pada Senin, 9 September 2024.
'Clean up industries' mendapat penekanan khusus karena sektor industri memang menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi di Indonesia. Dalam catatan lembaga kajian independen World Resources Institute (WRI) Indonesia, emisi yang dihasilkan oleh industri diperkirakan menyumbang tiga perempat dari total emisi Indonesia pada 2019. Angka ini berpotensi melonjak dua kali lipat pada 2030.
Untuk mencapai target nol bersih, industri-industri di Indonesia, baik yang besar maupun kecil, harus menyesuaikan bisnis mereka agar menjadi rendah karbon dan mengadopsi prinsip nol bersih.
Dari sudut pandang internal, industri dapat memperoleh manfaat dengan mengejar nol bersih, karena bisnis akan lebih tangguh terhadap risiko, baik dari dampak fisik krisis iklim maupun instrumen kebijakan iklim yang terus berkembang seperti pajak karbon.
PT Pertamina (Persero) menjadi salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah menjalankan dekarbonisasi dan sejauh ini mencapai perkembangan yang baik.
Pada acara Southeast Asia-Latin American Dialogues (SALA Dialogues) yang berlangsung di Singapura, Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, memaparkan peta jalan di bidang biofuel dan dekarbonisasi kepada pebisnis dan praktisi di Singapura.
Nicke menyatakan bahwa peta jalan Pertamina di kedua bidang tersebut dapat mengatasi tantangan Indonesia di masa yang akan datang.
“Indonesia melalui Pertamina telah mengimplementasikan inisiatif biodiesel sejak 2010. Kini, berhasil memproduksi dan memanfaatkan biodiesel B35 yang terbukti efektif menggantikan impor solar," ujar Nicke.
"Sejak April 2019, Pertamina tidak lagi mengimpor solar dan avtur. Selain itu, B35 juga mampu menurunkan emisi CO2 hingga 32,7 juta ton pada tahun 2023,” jelasnya.
Nicke juga menekankan bahwa biodiesel memiliki keunggulan lain, seperti kemudahan proses pencampuran (blending) bahan bakar fosil dengan biodiesel. Menurutnya, jika biofuel harus diproduksi di kilang berskala besar, biodiesel dapat dicampurkan di terminal akhir.
“Keunggulan biodiesel adalah kemudahan proses blending yang dapat dilakukan di terminal bahan bakar. Pertamina memiliki lebih dari 1.000 terminal bahan bakar di Indonesia," katanya.
"Ini akan mendorong pembangunan pabrik bioetanol yang tentunya akan turut meningkatkan ekonomi lokal serta menciptakan lapangan kerja,” tambah Nicke.
Realisasi Dekarbonisasi 2023
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyatakan bahwa perusahaan berhasil mencatat kinerja positif pada aspek Environmental, Social, Governance (ESG). Hal ini sejalan dengan inovasi dekarbonisasi yang dijalankan perusahaan sepanjang 2023, yang bahkan melampaui target. Tercatat, realisasi reduksi emisi scope 1 & 2 Pertamina mencapai 124% dari target yang ditetapkan pada tahun 2023. Pertamina berhasil melakukan dekarbonisasi sebesar 1,13 juta ton CO2e dari target 910 ribu ton CO2e.
Penurunan emisi tersebut dicapai sepanjang tahun 2023 melalui proses operasional di internal Pertamina Group. Selain itu, penjualan produk biodiesel B35 berhasil menurunkan emisi sekitar 28 juta ton CO2e per tahun.
Capaian ESG 2023 juga ditandai dengan kenaikan peringkat ESG Pertamina. Saat ini, Pertamina menempati posisi pertama pada subsektor Minyak dan Gas Terintegrasi dari 61 perusahaan dunia. Berdasarkan peringkat ESG Rating Sustainalytics, skor ESG Pertamina pada akhir 2023 naik menjadi 20,7 (Medium Risk) dari sebelumnya 22,1. Skor Sustainalytics yang lebih rendah ini mencerminkan tingkat risiko yang lebih baik.
“Dalam mendukung kinerja ESG, Pertamina menjalankan dua pilar, yaitu dekarbonisasi emisi dari aktivitas bisnis dan membangun bisnis hijau yang menghasilkan energi bersih dan ramah lingkungan,” ujar Fadjar.
Fadjar menegaskan bahwa Pertamina terus menjalankan berbagai inovasi dekarbonisasi dengan memproduksi energi ramah lingkungan yang berdampak positif bagi kinerja ESG perusahaan, sehingga Pertamina dinobatkan sebagai perusahaan nomor satu dunia dalam kinerja ESG.
Advertisement
Contoh Nyata
Beberapa contoh nyata dari upaya dekarbonisasi yang dijalankan Pertamina, salah satunya adalah proyek pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kilang Plaju sebesar 2,25 MWp.
Selain itu, Pertamina juga menerapkan teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) untuk menekan emisi karbon dan sebagai bagian dari upaya meningkatkan perolehan minyak dan gas (Enhanced Oil and Gas Recovery) di sumur-sumur Pertamina.
Di luar itu, Pertamina International Shipping (PIS) sebagai Subholding Integrated Marine Logistics juga berkomitmen tinggi untuk mendukung konsep pembangunan berkelanjutan.
Beberapa teknologi ramah lingkungan yang diterapkan pada kapal, seperti Stern Tube Air Seal Type untuk menghindari kebocoran bahan bakar kapal, serta Oily Water Separator (OWS) untuk memisahkan air dari minyak guna mencegah pencemaran.