Malaysia Alami Kesulitan Hentikan Impor Sampah Plastik dari Eropa

Selain Malaysia, dua negara di Asia Tenggara juga termasuk negara pengimpor sampah Eropa terbesar, yaitu Indonesia dan Vietnam.

Oleh DW.com diperbarui 01 Nov 2024, 07:05 WIB
Sahabat Fimela bisa memulai dari diri sendiri untuk mengatasi permasalahan sampah plastik. (Foto: Freepik/teksomolika)

, Kuala Lumpur - Malaysia masih menjadi pengimpor sampah plastik dari Uni Eropa terbesar kedua di dunia, meski pemerintahnya telah bertekad untuk mencegah negara itu menjadi tempat pembuangan sampah global.

Menurut data Eurostat, jumlah sampah plastik yang diimpor dari Uni Eropa di tahun 2023 meningkat 35 persen dibanding 2022, dikutip dari DW Indonesia, Jumat (1/11/2024).

Uni Eropa mengekspor 8,5 juta ton kertas, plastik, dan kaca pada 2023, di mana lebih dari seperlima material itu ditujukan ke tempat pembuangan sampah di Malaysia.

Selain Malaysia, Indonesia dan Vietnam juga termasuk negara pengimpor sampah Eropa terbesar.

Sekitar 90 persen sampah Eropa sejatinya telah diolah secara lokal. Namun, ekspor sampah juga dilaporkan melonjak menjadi 72 persen sejak 2004, demikian menurut data Komisi Eropa.

Kritikus Mempertanyakan Etika Daur Ulang Uni Eropa

Uni Eropa kini telah sepakat untuk melarang ekspor sampah plastik ke negara-negara di luar Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), termasuk negara Malaysia, mulai pertengahan 2026.

Langkah ini bertujuan untuk mencegah material seperti plastik atau bahan kimia, dikirim ke negara-negara yang tidak dapat mengolahnya dengan baik.

Jan Dell, seorang insinyur dan pendiri sebuah kelompok pegiat lingkungan bernama The Last Beach Cleanup, mengatakan kepada DW bahwa larangan Uni Eropa ini merupakan "pengakuan" bahwa ekspor sampah plastik itu "berbahaya dan tidak etis."

Namun, ia juga mengkritik Uni Eropa karena "secara besar-besaran, telah meningkatkan pengiriman jumlah sampah plastik ke Asia saat ini."

"Ketika Uni Eropa mencoba mengajarkan dunia untuk memiliki ambisi ramah lingkungan yang tinggi, mereka justru secara terang-terangan bersikap munafik dan secara sembrono mengekspor bahkan berpura-pura bahwa sampah plastik itu daur ulang, daripada melarang penggunaan plastik sekali pakai atau membakarnya di dalam negeri dan menghitung karbon yang mereka hasilkan," tambahnya.

Negara-negara Asia Tenggara telah mengimpor lebih dari 100 juta ton sampah logam, kertas, dan plastik setiap tahunnya, yang bernilai sekitar 47 miliar Euro (sekitar Rp796,5 triliun) antara 2017 dan 2021, menurut laporan PBB yang diterbitkan tahun ini.

Ketika Cina telah melarang impor sebagian besar plastik dan bahan lainnya pada 2018 lalu, beberapa negara Asia Tenggara justru mengalami lonjakan. Pada 2021, Malaysia menjadi salah satu pengimpor utama sampah plastik di dunia.

Pemerintah Malaysia telah menyatakan selama bertahun-tahun bahwa negaranya ingin mengurangi impor sampah, tetapi tidak secara resmi melarangnya.

"Pemerintah Malaysia terus mengizinkan impor sampah plastik karena alasan ekonomi dan [karena] permintaan dari industri daur ulang lokal," kata Hema Sulakshana, juru kampanye Greenpeace Malaysia, kepada DW.

"Namun, sebagian besar plastik yang diimpor justru tidak dapat didaur ulang atau terkontaminasi, dan pada akhirnya dibuang ke tempat pembuangan sampah atau dibakar."

 


Dampak Terhadap Lingkungan

Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi menunjukkan kontainer berisi sampah plastik di Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (18/9/2019). Bea Cukai bekerja sama dengan KLHK dan kepolisian memulangkan sembilan kontainer berisi 135 ton sampah plastik impor bercampur limbah B3 asal Australia. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Di Malaysia, para pemerhati lingkungan punya perbedaan pendapat terkait manfaat ekonomi sirkular, yang bergantung pada penggunaan kembali bahan-bahan untuk meningkatkan keberlanjutan.

Beberapa orang melihat daur ulang sebagai kunci dalam mengurangi limbah dan konsumsi sumber daya. Organisasi Nirlaba The Circulate Initiative misalnya, memperkirakan bahwa pemulihan pada sistem daur ulang sampah plastik yang tepat di seluruh Asia Selatan dan Asia Tenggara, mampu mencegah sekitar 229 juta metrik ton emisi gas rumah kaca pada 2030, dan itu setara dengan emisi dari 61 pembangkit listrik tenaga batu bara.

Namun, para kritikus berpendapat bahwa daur ulang saja tidak cukup, karena masih banyak sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir atau dibakar, yang menyebabkan polusi dan emisi gas rumah kaca.

Pada 2020, tingkat daur ulang Malaysia hanya sebesar 30 persen, di mana angka itu hanya setengahnya dari negara tetangga Singapura, menurut berbagai sumber. Infrastruktur pengelolaan sampah yang tidak memadai juga dinilai turut memperparah pencemaran lingkungan di Malaysia.

Bukan hanya itu, pembakaran sampah akan melepaskan dioksin dan bahan kimia berbahaya ke atmosfer serta pasokan makanan manusia. Tahun lalu, kebakaran di tempat pembuangan sampah Cam Ly, Vietnam, menyebabkan asap beracun menyelimuti sebagian provinsi Lam Dong.

Meskipun Uni Eropa telah berkomitmen untuk melarang ekspor beberapa jenis sampah pada 2026, hal ini bukan berarti Eropa akan mengakhiri ekspor plastiknya sama sekali.

Plastik masih bisa diekspor jika syarat-syarat tertentu dipenuhi, kata Shiori Shakuto, yang merupakan seorang dosen di Universitas Sydney, kepada DW. Sampah nonplastik, termasuk tekstil, juga masih dapat dikirim ke negara-negara non-OECD.

Hal ini menjadi perhatian para pemerhati lingkungan, karena industri daur ulang tekstil di Eropa juga menghadapi tantangan yang signifikan akibat kelebihan pasokan tekstil bekas, serta menurunnya permintaan dari pasar ekspor.

 


Perlunya Penegakan Hukum

Polisi berjalan melintasi kontainer berisi sampah plastik di Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (18/9/2019). Bea Cukai bekerja sama dengan KLHK dan kepolisian memulangkan sembilan kontainer berisi 135 ton sampah plastik impor bercampur limbah B3 asal Australia. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Menurut Shakuto, Malaysia dan Uni Eropa perlu memperkuat regulator keduanya untuk memastikan bahwa limbah tidak beracun tidak diperdagangkan kembali dan mengekang perdagangan limbah ilegal yang menguntungkan suatu pihak.

Perlunya penegakan hukum yang lebih baik juga mendapat sorotan dari Komisi Eropa yang memperkirakan, 15% hingga 30% dari pengiriman limbah Uni Eropa adalah ilegal.

"Pengiriman yang tidak terlacak akan lolos dari pengawasan dan kemungkinan besar akan dibuang atau diolah dengan tidak benar, sehingga meningkatkan risiko dampak lingkungan. Perdagangan limbah ilegal juga berarti hilangnya kesempatan untuk mendaur ulang bahan," kata Komisi Eropa dalam sebuah pernyataan.

Uni Eropa kini telah menginisiasi pembicaraannya dengan Thailand, Malaysia dan Indonesia untuk mengatasi perdagangan limbah ilegal ini. Namun, penegakan peraturan yang lebih ketat juga diperlukan di masing-masing negara pengimpor

Sulakshana dari Greenpeace Malaysia mencatat bahwa Departemen Pengelolaan Limbah Padat Nasional Malaysia tidak terdaftar sebagai "Otoritas Kompeten" di bawah Konvensi Basel, yang mengatur perdagangan limbah internasional.

"Selain itu, Departemen Lingkungan Hidup juga tidak memiliki yurisdiksi untuk melakukan intervensi setelah pengiriman limbah itu tiba," tambahnya.

"Mengatasi hambatan-hambatan ini dan memperkuat kebijakan nasional itu sangat penting untuk mengendalikan impor limbah dan mengurangi dampak lingkungan di Malaysia dengan efektif."

Infografis 7 Tips Naik Gunung Minim Sampah. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya