Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina resmi menaikkan sejumlah harga BBM nonsubsidi mulai 1 November 2024. Kenaikan harga BBM ini terjadi pada jenis BBM Pertamax Green 95 (RON 95), Pertamax Turbo (RON 98), Dexlite, dan Pertamina DEX. Sedangkan harga BBM Pertamax (RON 92) dan harga BBM Pertalite masih tetap.
Kenaikan harga BBM 1 November 2024 ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah dalam rangka mengimplementasikan Keputusan Menteri ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022.
Advertisement
Harga BBM Nonsubsidi Naik di DKI Jakarta
Untuk wilayah DKI Jakarta, harga BBM non-subsidi yang berlaku mulai 1 November 2024 adalah sebagai berikut:
- Pertamax (RON 92): Rp 12.100 per liter
- Pertamax Turbo (RON 98): Rp 13.500 per liter (naik Rp 250 dari Rp 13.250 per liter)
- Pertamax Green 95 (RON 95): Rp 13.150 per liter (naik Rp 450 dari Rp 12.700 per liter)
- Dexlite: Rp 13.050 per liter (naik Rp 350 dari Rp 12.700per liter)
- Pertamina DEX: Rp 13.440 per liter (naik Rp 290 dari Rp 13.150 per liter)
Penyesuaian Harga BBM Nonsubsidi di Seluruh Indonesia
Kenaikan harga BBM non subsidi tidak hanya berlaku di DKI Jakarta, tetapi juga di seluruh Indonesia. Berikut adalah beberapa contoh penyesuaian harga di daerah lain:
Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur:
- Pertamax: Rp 12.100 per liter
- Pertamax Turbo: Rp 13.500 per liter
- Pertamax Green 95: Rp 13.150 per liter
- Dexlite: Rp 13.050 per liter
- Pertamina DEX: Rp 13.440 per liter
Kalimantan Timur, Sulawesi, Maluku, Papua:
- Pertamax: Rp 12.400 per liter
- Pertamax Turbo: Rp 13.800 per liter
- Dexlite: Rp 13.350 per liter
- Pertamina DEX: Rp 13.730 per liter
Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara:
- Pertamax: Rp 12.650 per liter
- Pertamax Turbo: Rp 14.100 per liter
- Dexlite: Rp 13.650 per liter
- Pertamina DEX: Rp 14.020per liter
Harga BBM Subsidi
Sementara itu, harga BBM bersubsidi seperti harga BBM Pertalite dan Biosolar tetap tidak mengalami perubahan. Harga Pertalite masih dipatok di Rp 10.000 per liter, sementara Biosolar di Rp 6.800 per liter.
Subsidi BBM Jadi Beban Prabowo-Gibran, Negara Boncos Rp 120 Triliun
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa pembatasan BBM bersubsidi perlu segera diterapkan. Menurutnya, penyaluran BBM subsidi yang tidak tepat sasaran menyebabkan negara mengeluarkan dana berlebih hingga Rp120 triliun per tahun.
Rencananya, penataan penyaluran BBM subsidi tepat sasaran akan dilakukan mulai 1 Oktober 2024. Namun, pelaksanaannya tertunda karena pemerintah masih melakukan kajian lebih lanjut.
"Menurut saya, kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi ini sudah sangat mendesak untuk segera diterapkan," kata Fahmy kepada Liputan6.com, Jumat (4/10/2024).
Fahmy menjelaskan bahwa BBM bersubsidi banyak dikonsumsi oleh golongan yang dinilai tidak berhak, dan secara nominal jumlahnya sangat besar.
Berdasarkan perhitungannya, negara menanggung kelebihan penyaluran BBM subsidi sebesar Rp90 triliun pada tahun lalu, dan angka tersebut diperkirakan meningkat menjadi Rp120 triliun pada tahun ini.
"Subsidi BBM yang salah sasaran sudah mencapai jumlah yang sangat besar, sekitar Rp120 triliun. Jika tidak ada pembatasan, maka APBN akan terus menanggung beban ini," ujarnya.
Jadi PR PrabowoFahmy menilai bahwa beban subsidi yang besar ini dapat menjadi tantangan bagi pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto, terutama dengan adanya sejumlah program prioritas yang akan digenjot oleh Prabowo-Gibran.
"Ini akan menjadi beban bagi pemerintahan Prabowo dan bahkan dapat mengurangi alokasi dana APBN untuk program-program strategis yang mereka canangkan," jelasnya.
Advertisement
Jokowi Terlalu Khawatir
Lebih lanjut, Fahmy mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak menahan penerapan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, meskipun rencana tersebut sudah diumumkan akan dimulai pada 1 Oktober 2024.
"Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, sebelumnya menyatakan bahwa pembatasan akan diberlakukan mulai 1 Oktober, namun hingga sekarang belum terlaksana, dan beberapa kali dibantah oleh Jokowi. Ini menunjukkan bahwa Jokowi memang tidak menghendaki kebijakan pembatasan tersebut," katanya.
Fahmy menduga bahwa Jokowi khawatir pembatasan konsumsi BBM subsidi dapat memicu kenaikan harga dan inflasi, yang pada gilirannya akan berdampak pada daya beli masyarakat. Namun, Fahmy menilai kekhawatiran ini terlalu berlebihan.
"Jokowi sangat khawatir bahwa pembatasan ini akan berdampak langsung pada kenaikan harga BBM, yang dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli. Namun, hal ini tidak sepenuhnya benar, karena tidak semua harga akan naik," jelas Fahmy.