Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan penting pada Kamis, 31 Oktober 2024, yang mengubah arah Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Sebagian permohonan uji materi yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja dikabulkan, memberikan angin segar bagi pekerja.
Perkara ini diwarnai upaya keras dari kelompok buruh yang mengajukan gugatan atas ketidakadilan dalam norma UU Cipta Kerja. Beberapa poin penting dalam putusan MK memberikan perbaikan terhadap aturan yang menyangkut perjanjian kerja, outsourcing, dan hak-hak pekerja lainnya.
Advertisement
Keputusan ini tidak hanya berdampak pada revisi aturan, tetapi juga mengubah mekanisme hubungan kerja di Indonesia agar lebih adil dan berpihak pada kepentingan pekerja.
Lantas apa saja poin-poin penting dari gugatan itu? berikut selengkapnya:
Pemisahan UU Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja
MK menginstruksikan agar UU Ketenagakerjaan dibuat terpisah dari UU Cipta Kerja. Hal ini bertujuan agar norma-norma ketenagakerjaan lebih mudah dipahami dan tidak menimbulkan kebingungan hukum. Menurut hakim MK, Enny Nurbaningsih, “Dengan cara mengaturnya dalam undang-undang tersendiri... UU Ketenagakerjaan akan menjadi lebih mudah dipahami.”
MK juga memberi waktu dua tahun kepada DPR dan pemerintah untuk merampungkan UU Ketenagakerjaan yang baru. Proses ini harus melibatkan partisipasi aktif dari serikat pekerja agar substansi undang-undang benar-benar mengakomodasi hak buruh.
Advertisement
Aturan Durasi Kontrak Kerja Maksimal Lima Tahun
Salah satu norma yang dikabulkan adalah batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). MK menyatakan bahwa kontrak kerja harus memiliki batas waktu maksimal lima tahun, termasuk perpanjangannya. Hal ini untuk menghindari ketidakadilan akibat posisi tawar pekerja yang lemah.
Ketua MK Suhartoyo menegaskan bahwa peraturan ini bertujuan memastikan kejelasan dalam hubungan kerja sehingga hak pekerja lebih terlindungi.
Batasan untuk Pekerjaan Outsourcing
MK juga memperjelas batasan penggunaan tenaga alih daya atau outsourcing. Keputusan ini memastikan bahwa jenis pekerjaan outsourcing hanya boleh mencakup pekerjaan bukan inti, seperti layanan kebersihan dan keamanan. Pengaturan ini bertujuan melindungi buruh dari praktik outsourcing yang tidak jelas dan merugikan.
Keputusan ini memperkuat regulasi yang lebih adil bagi pekerja outsourcing, dengan aturan yang lebih transparan dan menghindari sengketa hukum.
Advertisement
Perubahan pada Pengaturan Upah
MK menghidupkan kembali peran dewan pengupahan yang sebelumnya dihapus dalam UU Cipta Kerja. Dewan ini akan berperan aktif dalam penetapan kebijakan upah di tingkat daerah, memberikan ruang bagi unsur serikat pekerja dalam proses pengambilan keputusan.
Selain itu, upah minimum sektoral (UMS) yang dihapus dalam UU Cipta Kerja dipulihkan agar pekerja di sektor khusus tetap mendapatkan perlindungan yang memadai.
Proses PHK Harus Melalui Putusan Final
MK menetapkan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) harus melalui proses perundingan bipartit dan hanya dapat dilakukan setelah putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hal ini untuk mencegah PHK sepihak yang merugikan pekerja.
"Dengan pengaturan ini, diharapkan tercipta keadilan yang lebih besar bagi pekerja dalam menghadapi permasalahan PHK," kata Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukumnya.
Advertisement