Pengamat Ungkap 4 Tantangan dalam Hubungan China-ASEAN

Sejarah hingga keberagaman menjadi tantangan dalam meningkatkan hubungan antar masyarakat China dan ASEAN.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 01 Nov 2024, 17:00 WIB
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus Co-Founder FPCI Dewi Fortuna Anwar dalam acara Jakarta Forum on ASEAN-China Relations di Jakarta, Jumat (1/11/2024). (Liputan6.com/Benedikta Miranti)

 

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus Co-Founder FPCI Dewi Fortuna Anwar mengatakan ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam hubungan China dan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).

Ia mengungkapkan bahwa ada sejumlah faktor yang menjadi tantangan tersendiri dalam memaksimalkan hubungan antar masyarakat di dua kawasan.

Dewi Fortuna Anwar menilai, sepatutnya hal tersebut diperhatikan sebelum mengimplementasikan diplomasi antar masyarakat (people-to-people diplomacy).

"Dalam membangun hubungan antar manusia, kita perlu memiliki pandangan yang jernih. Karena untuk memiliki hubungan antar manusia yang sehat dan berjangka panjang, kita tidak boleh bersikap romantis dan memiliki harapan yang tidak realistis," kata Dewi dalam acara Jakarta Forum on ASEAN-China Relations yang diselenggarakan dengan bekerja sama dengan FPCI di Jakarta, Jumat (1/11/2024).

"Masalah harus diidentifikasi dengan jelas, tidak ditutup-tutupi, dan solusi yang memuaskan bagi kedua belah pihak perlu ditemukan. Jadi, menurut saya, kita perlu tahu bahwa ada masalah dan kita harus mampu mengidentifikasinya dengan jelas."

Dewi menuturkan sejumlah masalah utama yang harus disadari sebelum berupaya meningkatkan hubungan masyarakat.

Pertama adalah sejarah. Meskipun China dan negara di Asia Tenggara telah menjalin hubungan selama ribuan tahun, ada beberapa aspek sejarah yang cenderung negatif.

"Di masa lalu, negara-negara Asia Tenggara cenderung memandang Tiongkok sebagai ancaman. Kita tidak boleh melupakan sejarah ini, tapi kita justru harus memastikan bahwa kita tidak disandera oleh sejarah," jelas Dewi.


Tantangan Lain

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus Co-Founder FPCI Dewi Fortuna Anwar dalam acara Jakarta Forum on ASEAN-China Relations di Jakarta, Jumat (1/11/2024). (Liputan6.com/Benedikta Miranti)

Kedua adalah kesenjangan. Di masa lalu, China dan Asia Tenggara tidak berada dalam posisi yang tidak setara.

"Tiongkok adalah kerajaan tengah. Negara-negara di Asia Tenggara dianggap sebagai pembayar upeti. Banyak negara di Asia Tenggara mengirim perjanjian ke Tiongkok," ungkap dia.

Meski hubungan ASEAN dan China di era modern sudah jauh berbeda, namun perlu diakui bahwa China masih menjadi negara terbesar dalam hal ekonomi, populasi hingga kapasitas secara keseluruhan.

"Bahkan jika Anda menggabungkan semua negara ASEAN, negara-negara ASEAN masih lebih kecil daripada China," tutur Dewi, seraya menekankan bahwa negara anggota ASEAN perlu memiliki harga diri dan kepercayaan yang lebih besar dalam menjalin kemitraan dengan negara besar seperti China.


Harus Punya Tujuan Ganda

Jakarta Forum on ASEAN-China Relations di Jakarta, Jumat (1/11/2024). (Liputan6.com/Benedikta Miranti)

Ketiga adalah tantangan keberagaman.

Komunitas ASEAN saat ini masih dalam tahap pengembangan. Maka dari itu, Dewi menyebut bahwa pengembangan hubungan antar masyarakat China dan ASEAN seharusnya juga turut mengembangkan hubungan antar warga ASEAN itu sendiri.

"Jadi peluang untuk memiliki hubungan antar masyarakat ASEAN-Tiongkok harus memiliki tujuan ganda," ungkapnya.

Keempat adalah inklusivitas.

Dalam meningkatkan hubungan antar masyarakat, Dewi menekankan bahwa poin inklusivitas harus menjadi komitmen bersama.

"Kerja sama itu harus inklusif, termasuk juga perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, kaum minoritas, dan sebagainya," jelasnya.

"Hal ini terus dikatakan, namun terkadang jauh lebih sulit untuk mempraktikannya."

Infografis Pertemuan Menhan Prabowo dengan Presiden China Xi Jinping. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya