Gus Baha Kisahkan Rasulullah yang Pernah Tidak Makan 3 Hari, Ini Hikmah di Baliknya

Gus Baha mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah tidak makan roti sampai tiga hari lamanya. Kondisi tersebut menggambarkan keteguhan hati Rasulullah dalam menghadapi kesulitan.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Nov 2024, 07:30 WIB
KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) (SS TikTok)

Liputan6.com, Jakarta - KH Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang akrab dikenal sebagai Gus Baha, ulama alim alamah asal Narukan, Rembang, Jawa Tengah, sering menggambarkan kesederhanaan Nabi Muhammad SAW, termasuk dalam hal makan.

Rasulullah biasa mengonsumsi makanan yang sederhana, seperti kurma, roti kasar, dan air. Bahkan, Rasulullah tidak pernah mengeluh dengan makanan yang dihidangkan, dan terkadang beliau tidur dalam keadaan perut kosong karena makanan yang tersedia tidak cukup.

Gus Baha menekankan bahwa kesederhanaan ini menunjukkan sifat qana'ah (merasa cukup) dan rasa syukur Nabi yang luar biasa, mengajarkan umatnya untuk tidak berlebihan dan selalu bersyukur atas rezeki yang Allah berikan, sekecil apa pun itu.

Kali ini Gus Baha membagikan kisah yang penuh hikmah tentang Rasulullah SAW. Kisah ini menggambarkan kesederhanaan Nabi Muhammad dalam menghadapi kehidupan, termasuk saat menjalani hari-hari tanpa makanan mewah.

Dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @ngajigusbaha, Gus Baha menceritakan bagaimana Rasulullah Muhammad SAW pernah tidak makan selama tiga hari.

Bagi masyarakat Indonesia, tidak makan nasi atau daging selama tiga hari adalah ujian berat. Namun, Rasulullah hanya mengandalkan kurma dan air putih sebagai asupan selama masa sulit tersebut.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Begini Kesederhanaan Nabi Muhammad SAW

Ternyata buah manis ini tidak hanya sekadar kaya asupan gizi untuk tubuh saja, tapi juga baik untuk rambut dan kulit. (Foto: iStockphoto)

Gus Baha mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah tidak makan roti sampai tiga hari lamanya. Kondisi tersebut menggambarkan keteguhan hati Rasulullah dalam menghadapi kesulitan.

Di hari ketiga, ada seorang sahabat yang dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang menyembelihkan kambing sebagai bentuk perhatian kepada Rasulullah.

Setelah kambing disembelih, dagingnya dimasak dan disajikan untuk Nabi Muhammad. Ketika daging tersebut dihidangkan, Rasulullah hanya memakan setengah piring.

Perilaku ini menimbulkan pertanyaan dari para sahabat yang heran, mengingat Nabi sebelumnya tidak makan selama tiga hari. Salah satu sahabat pun bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa Engkau berhenti makan? Bukankah Engkau sudah lama tidak makan?"

Nabi Muhammad SAW pun memberikan jawaban yang sangat menyentuh dan penuh makna. Rasulullah mengingatkan para sahabat dengan mengutip Surat At-Takatsur Ayat 8:

ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ

(tsumma latusalunna yaumaiżin 'anin-na'īm)

Ayat tersebut memiliki arti: "Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)."

Jawaban ini menunjukkan betapa besar rasa tanggung jawab Rasulullah atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.

 


Apa yang Kita Makan akan Dipertanggungjawabkan

Konsumsi olahan makanan cepat saji dapat meningkatkan kadar kolesterol jahat dalam tubuh (Foto: Unsplash,com/ Carles Rabada)

Gus Baha menjelaskan, Rasulullah tidak ingin berlebihan dalam menikmati makanan, bahkan setelah tiga hari tidak makan. Nabi merasa bahwa setiap nikmat yang diterima harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Dengan penuh kerendahan hati, Rasulullah mengingatkan bahwa kenikmatan duniawi seharusnya tidak membuat manusia lalai dari tugas-tugas spiritual.

Kesederhanaan Nabi Muhammad SAW menjadi teladan luar biasa. Gus Baha mengingatkan, jika konsep ini diterapkan di masyarakat saat ini, mungkin tidak akan populer.

“Kalau diterapkan di sini, kita tahu banyak orang yang tidak siap dengan konsep-konsep Qur’an,” tutur Gus Baha sambil menekankan pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam.

Gus Baha menambahkan, Nabi Muhammad SAW sangat menjaga hubungannya dengan Allah. Setiap tindakan, termasuk hal yang dianggap sepele seperti makan, selalu dipertimbangkan secara hati-hati. Kesadaran akan pertanggungjawaban di akhirat membuat Nabi berhati-hati dalam menikmati nikmat dunia.

Kisah ini tidak hanya menggambarkan kepribadian Rasulullah yang sederhana, tetapi juga mengajarkan umat Islam untuk lebih bijak dalam menggunakan kenikmatan dunia.

Gus Baha menegaskan, hikmah di balik kesederhanaan Nabi adalah pengingat bagi semua umat manusia tentang pentingnya tidak berlebihan dan selalu mensyukuri apa yang dimiliki.

Dalam ceramah tersebut, Gus Baha menyinggung bagaimana manusia cenderung terlena dengan kemewahan dan lupa akan hakikat hidup yang sesungguhnya. Menurut Gus Baha, konsep hidup sederhana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW harus menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Menghargai dan mensyukuri nikmat, tanpa melupakan tanggung jawab, adalah esensi dari ajaran ini.

Lebih jauh, Gus Baha menegaskan bahwa pemahaman Qur’an harus diresapi dengan hati yang lapang. Banyak orang yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi tidak siap menghadapi konsekuensinya.

"Ngaji Qur’an gayane banyak, tapi sering kali tidak siap dengan prinsip-prinsip yang ada," ujar Gus Baha dengan penuh penekanan.

Pesan ini, menurut Gus Baha, sangat relevan dengan kehidupan modern. Di zaman yang penuh dengan gemerlap dan kemewahan, banyak orang terjebak dalam sikap konsumtif yang berlebihan.

Sebaliknya, Rasulullah mengajarkan keseimbangan dan kepedulian terhadap kondisi spiritual diri, meski dalam kesederhanaan.

Gus Baha juga mendorong umat Islam untuk lebih banyak merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an. Sebagai ulama yang akrab dengan kajian tafsir, ia sering kali menekankan pentingnya menghayati makna ayat secara mendalam, bukan hanya membacanya. Kesadaran akan pertanggungjawaban di akhirat harus menjadi motivasi utama dalam menjalani kehidupan.

Di akhir ceramahnya, Gus Baha mengingatkan bahwa kesederhanaan Rasulullah adalah contoh terbaik bagi manusia. Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara.

Fokus utama seharusnya adalah mempersiapkan bekal untuk kehidupan di akhirat, di mana setiap kenikmatan yang pernah dirasakan akan dipertanggungjawabkan.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya