Zona Ekonomi Eksekutif dan Laut Lepas, Jawaban Swasembada Pangan

Pemerintah sedang mengintensifkan program swasembada pangan dan pemenuhan gizi bagi masyarakat.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 03 Nov 2024, 13:00 WIB
Ilustrasi terjaganya pantai apabila dilakukan pariwisata dengan sistem berkelanjutan. (Sumber foto : Pexels.com).

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah sedang mengintensifkan program swasembada pangan dan pemenuhan gizi bagi masyarakat.

Dalam hal ini, Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), Hendra Wiguna, menyampaikan bahwa sektor kelautan dan perikanan harus menjadi prioritas utama dalam mewujudkan cita-cita ketahanan pangan yang diamanatkan oleh pemerintah.

“Pembukaan lahan baru di daratan justru kerap memicu konflik dengan masyarakat setempat. Padahal, potensi perikanan di wilayah laut kita, terutama di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), belum sepenuhnya dimaksimalkan. Pemerintah perlu menyiapkan armada kapal perikanan yang memadai untuk mengoptimalkan potensi perikanan tangkap di ZEE,” ujar Hendra pada Minggu (3/11/2024).

Menurutnya, pengembangan sektor perikanan tangkap di ZEE, berbeda dengan pembukaan lahan pertanian di darat yang rentan konflik.

Optimalisasi ZEE bahkan akan memperkuat kedaulatan pangan dan mampu membuka lapangan pekerjaan.

Hendra menambahkan, program ini akan membantu menjawab masalah ketahanan pangan sekaligus memberikan peluang kerja bagi pemuda di sektor perikanan.

“Dengan mendorong pemuda bekerja di sektor perikanan domestik, mereka dapat memperoleh pekerjaan yang layak tanpa harus menjadi awak kapal asing. Hal ini juga memudahkan pengawasan serta perlindungan bagi mereka,” tambahnya.

Pentingnya Persiapan Armada dan Keterampilan SDM Perikanan

KPPMPI menekankan perlunya perencanaan matang dari pemerintah. Selain persiapan armada kapal perikanan, pelatihan keterampilan bagi para nelayan juga menjadi kunci. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2022, dari 893.258 unit kapal perikanan tangkap laut, sebagian besar masih merupakan kapal kecil berukuran di bawah 30 GT, dengan jumlah terbesar berada di bawah 5 GT, yaitu sebanyak 248.695 unit.

“Dari total kapal yang ada, kurang dari 1% adalah kapal besar dengan ukuran di atas 30 GT. Meskipun nelayan Indonesia dikenal tangguh, mengandalkan kapal kecil di ZEE dan laut lepas berisiko tinggi,” ungkap Hendra.

Selain itu, kondisi ini menimbulkan persaingan ketat di wilayah tertentu karena padatnya kapal perikanan kecil. Hendra menyoroti bahwa kapal besar yang beroperasi di zona nelayan kecil serta penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan merusak ekosistem perairan, membuat nelayan kecil semakin sulit meningkatkan taraf hidup mereka.

 


Perlu Persiapan Cold Storage dan Sistem Logistik

Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Surplus ini didapatkan dari ekspor September 2021 yang mencapai US$20,60 miliar dan impor September 2021 yang tercatat senilai US$16,23 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Hendra menambahkan, jika pemerintah ingin mengoptimalkan operasi kapal besar di ZEE dan laut lepas, fasilitas penunjang seperti cold storage dan distribusi logistik harus dipersiapkan. Pasalnya, hingga kini sistem logistik perikanan masih menjadi kendala yang menghambat pengembangan sektor ini.

“Jika pemerintah mampu mendorong operasi kapal perikanan di ZEE dan laut lepas, hal ini akan meningkatkan produktivitas ekonomi sektor kelautan dan perikanan. Negara-negara seperti Taiwan, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan telah menerapkan hal serupa dengan hasil yang positif,” pungkas Hendra.

Optimalisasi sektor kelautan dan perikanan di ZEE diyakini dapat mendukung swasembada pangan, meningkatkan lapangan kerja, dan membawa dampak ekonomi signifikan bagi masyarakat pesisir.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya