Mengelola Sampah di Pusat Budidaya Maggot dari Binaan Anak Usaha Merdeka Copper

Anak usaha Merdeka Copper Gold yakni Bumi Suksesindo melalui program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (PPM) membantu lahirnya pusat budidaya maggot.

oleh Agustina Melani diperbarui 03 Nov 2024, 15:45 WIB
Kepala Pega Indonesia, Sundarianto. (Foto: Liputan6.com/Agustina Melani)

Liputan6.com, Jakarta - Siapa sangka berawal dari lalat membantu mengolah sampah dan dapat menjadi sumber cuan bagi masyarakat. Hal itu berawal dari Pusat Budidaya Maggot yang dibina anak usaha PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yakni PT Bumi Suksesindo.

Bumi Suksesindo melalui program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (PPM) membantu lahirnya pusat budidaya maggot yang berada di Desa Siliragung, Banyuwangi, Jawa Timur yang dikelola Komunitas Pemuda Etan Gladak Anyar (PEGA) Indonesia. Adapun komunitas PEGA ini dipimpin oleh Sundarianto.

Komunitas ini membantu masyarakat mengolah sampah sehingga dapat mengurangi bau dan limbah melalui budidaya maggot. Maggot meski seperti lalat tetapi berbeda dengan lalat yang biasa ditemui. Maggot seperti larva yang berasal dari telur serangga bernama black soldier fly (BSF) dan termasuk larva pemakan bahan organik seperti limbah sisa makanan dan rumah tangga.

Sundarianto menceritakan pihaknya menemukan maggot tak sengaja. Ia mengatakan selama ini mengolah sampah melalui bank sampah. Namun, ia menuturkan, mengelola sampah itu tidak hanya bahan plastik tetapi juga bagaimana mengurangi baunya.

"Tak sengaja temukan maggot. Jadi komunitas mengolah karena selama ini lebih ke bank sampah, belum maggot. Komunitas dulu ke unorganik. Pengolahannya untuk limbah organik pada 2017, kita konsep limbah organik,” ujar Sundarianto saat ditemui wartawan, Jumat, 25 Oktober 2024.

Sementara itu, Anggota Pega, Ardi Fendika menuturkan, satu kilogram (kg) maggot mengkonsumsi 10 kg limbah organic. Dengan demikian, satu minggu dapat hasilkan sekitar 100 kg maggot segar.  

Sundarianto menjelaskan, maggot tersebut mengkonsumsi limbah sampah. Limbah sampah ini dibedakan menjadi dua yakni sampah serat kas dan sampah serat halus. Sampah serat halus ini dari limbah organik dari sisa dapur, nasi, lauk pauk. “Sampah serat halus tersebut yang kita maksimalkan jadi makanan maggot,” ujar Sundarianto.

 


Olah Sampah dari Warga dan BSI

Pusat budidaya maggot di Pega Indonesia, Banyuwangi, Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/Agustina Melani)

Sampah yang didapatkan tersebut berasal dari warga sekitar wilayah Pesanggarahan dan juga ada suplai dari Bumi Suksesindo (BSI).

Sampah tersebut diolah di pusat budidaya maggot. Adapun setiap warga yang langganan dikenakan biaya Rp 25 ribu per bulan untuk diangkut sampahnya oleh komunitas tersebut. Sundarianto menuturkan, ada sekitar 10 pekerja yang aktif dalam komunitas tersebut.

Sundarianto menuturkan, sampah organik yang menjadi sumber pakan maggot juga menjadi tantangan. Lantaran satu kg maggot itu membutuhkan 10 kg sampah. Di sisi lain, pihaknya juga harus memilah sampah yang tepat untuk pakan maggot.

"Sampah banyak,oh iya banyak, kita enggak beli, tapi kalau terjun budidaya maggot, sampah organik itu sembunyi,kemana kita cari,” ujar Sundarianto.

Adapun di pusat budidaya maggot binaan BSI dapat menghasilkan sekitar 100 kg maggot per bulan. Maggot segar itu sebagian dijual kepada peternak mandiri hingga petani sebagai pakan ternak, unggas dan mancing. Maggot fresh yang dijual kepada peternak sekitar Rp 800 per kg.


Diolah Jadi Pupuk hingga Maggot Kering

Hasil produk dari pusat budidaya maggot di Pega Indonesia, Banyuwangi, Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/Agustina Melani)

Harga jual maggot ini akan lebih tinggi jika sudah diolah.Sebagian maggot tersebut diolah menjadi pupuk cair, pupuk padat, hingga maggot kering.  Sundarianto menuturkan, harga maggot kering Rp 70 ribu per kg, pupuk cair Rp 6.000 per kg. Ia mengatakan, harga maggot kering lebih mahal lantaran proses membutukan 5 kg maggot untuk 1 kg maggot kering dan diproses dengan microwave.

Setelah membudidayakan maggot ini, komunitas Pega juga menjadi konsultan dan trainee untuk bekerja sama memberikan edukasi dan konsultasi mengenai pengolahan limbah organik melalui maggot. Komunitas Pega juga sebagai konsultan saat berkolaborasi dengan pemerintah Norwegia. Hal ini seiring Norwegia menjalankan program pengelolaan sampah di desa di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

"Kita damping kerja sama dengan Norwegia. Sejak pemerintah replikasi, tiap desa diwajibkan ada limbah organik. Damping kerja sama dengan Norwegia ada 11 desa, dua kelurahan sebagai konsultan,” kata Sundarianto.


Program PPM BSI

Pusat budidaya maggot di Pega Indonesia, Banyuwangi, Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/Agustina Melani)

Sementara itu, Community External Affairs BSI, Adhyatma Damopolii menuturkan, melalui program PPM, pihaknya membangun pusat budidaya maggot ini. Pusat budidaya maggot ini bahkan menjadi salah satu etalase PPM Bumi Suksesindo. Saat ada tamu datang akan dibawa ke pusat budidaya maggot yang dikelola komunitas Pega ini.

"Unik Pega ini. Awal mereka nongkrong, hadang bis logistic BSI. Kita akhirnya bikin program pemberdayaan. Pak Sundarianto konsisten. Dari awal 2018 memberdayakan sampah organik,” ujar Adhyatma.

Adhyatman mengatakan, hingga kini pihaknya masih mendukung komunitas Pega. Salah satunya juga dengan menyediakan sampah sebagai bahan pakan maggot. Akan tetapi, pihaknya juga memiliki mimpi agar komunitas Pega semakin naik kelas. Saat ini juga komunitas pega telah menjadi konsultan untuk memberikan penyuluhan mengenai pengolahan sampah. Adhyatma juga mengakui butuh konsistensi untuk mengelola sampah.

"Jadi konsultan untuk pengelolaan sampah di Banyuwangi. Ini naik kelas. Mereka ajarkan memilah sampah dan bekerja sama dengan pemerintah,” tutur dia.

Infografis Jurus Pemerintahan Prabowo - Gibran Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya